Oleh: Muhammad Subhan


LITERASI organisasi adalah kemampuan untuk memahami, mengelola, dan mengembangkan sebuah organisasi secara efektif. Titik tolaknya, seluruh pengurus dan anggota harus literat.

Literat, tidak cukup hanya hadir sebagai anggota atau sekadar mengikuti arahan pimpinan. Literasi organisasi menuntut setiap individu memahami bagaimana organisasi dijalankan, siapa yang berperan, bagaimana keputusan diambil, serta bagaimana kontribusi setiap anggota membentuk keberlangsungan bersama. 

Literasi ini meliputi pemahaman visi dan misi, etika dan budaya kerja, komunikasi dan kolaborasi, struktur dan prosedur organisasi, kemampuan beradaptasi serta berinovasi, hingga kesadaran akan tanggung jawab dan kepemimpinan. 

Dalam berbagai organisasi, lebih khusus organisasi sosial, apa pun nama dan bentuknya, yang digerakkan secara swadaya, literasi organisasi menjadi pondasi agar setiap pengurus dan anggota benar-benar memahami perannya dan bergerak bukan sekadar formalitas.

Masalah dalam organisasi sering muncul dari perbedaan pandangan, komunikasi yang tidak efektif, kepemimpinan yang lemah, pembagian tugas yang tidak seimbang, hingga kurangnya rasa tanggung jawab dan komitmen anggota. 

Tidak jarang konflik lahir dari ego pribadi, ketersinggungan, kepentingan tertentu, atau ketidakterbukaan dalam pengambilan keputusan. 

Ketika tidak segera ditangani, hal-hal tersebut bisa menimbulkan kekecewaan, hilangnya kepercayaan, bahkan berujung pada perpecahan. 

Dalam organisasi sosial yang berlandaskan kepedulian dan gotong-royong, perpecahan bukan hanya mengurangi efektivitas, tetapi juga merusak semangat kemanusiaan yang menjadi landasan pembentukan organisasi itu sendiri.

Untuk mencegah konflik, literasi organisasi menjadi kunci. Komunikasi terbuka dan jujur antarpengurus dan anggota harus selalu diutamakan, dan prinsip musyawarah-mufakat wajib diterapkan dalam setiap pengambilan keputusan. 

Pada titik itu, semua pihak perlu merasa dihargai dan didengarkan. 

Pemimpin organisasi harus menjadi contoh di depan, teladan dalam sikap adil, sabar, dan bijaksana, mampu merangkul anggota tanpa memihak. 

Evaluasi rutin dan refleksi bersama menjadi praktik yang tidak kalah penting, sehingga permasalahan dapat dikenali lebih dini dan diselesaikan secara konstruktif. 

Dengan pemahaman yang sama terhadap tujuan bersama, perbedaan bisa menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.

AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) berperan sebagai pilar formal dalam organisasi. Dokumen ini bukan sekadar administratif, melainkan pedoman yang menjamin keadilan, ketertiban, dan keberlangsungan organisasi. 

AD mengatur dasar, tujuan, sifat, serta struktur organisasi, sedangkan ART mengatur mekanisme keanggotaan, pembagian tugas, rapat, pemilihan pengurus, dan aturan disiplin. 

Apa pun masalahnya, semua harus dipulangkan kepada AD/ART.

Tanpa AD/ART, organisasi berisiko berjalan tanpa arah, mudah disalahpahami, dan rawan konflik. 

Sebaliknya, dengan adanya AD/ART, setiap keputusan dapat diukur berdasarkan kesepakatan yang jelas, bukan atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. 

Organisasi sosial yang memiliki AD/ART yang baik cenderung lebih stabil dan mampu bertahan menghadapi dinamika internal maupun eksternal.

Dalam praktiknya, setiap organisasi juga harus siap menghadapi oknum pengurus atau oknum anggota yang menjadi “duri dalam daging”. Penanganan harus dilakukan dengan kebijaksanaan, ketegasan, dan komunikasi yang matang agar masalah tidak membesar dan merusak keharmonisan. 

Maka, dialog personal untuk memahami akar persoalan menjadi urgen, apakah disebabkan oleh kesalahpahaman, ambisi pribadi, atau ketidakpuasan terhadap kebijakan organisasi. 

Pimpinan atau pengurus inti juga perlu bersikap objektif dan tegas, menegakkan musyawarah, serta memastikan sanksi yang dijalankan sesuai AD/ART jika memang terindikasi adanya pelanggaran atau mengarah pada konflik internal. 

Pada saat bersamaan, penting untuk membangun solidaritas dan komunikasi antarpengurus atau antaranggota agar isu provokatif tidak memecah belah. 

Menjaga organisasi tetap utuh bukan sekadar menyingkirkan duri, tetapi juga memastikan nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, dan saling menghargai tetap subur di dalamnya.

Keutuhan organisasi membutuhkan komitmen bersama, komunikasi terbuka, dan kepemimpinan yang bijaksana. Niat awal berorganisasi menjadi landasan utama.

Setiap pegurus dan anggota perlu menempatkan tujuan organisasi lebih tinggi daripada kepentingan pribadi, sehingga perbedaan pendapat disikapi dengan musyawarah dan rasa hormat. 

Transparansi dalam pengambilan keputusan dan pembagian tugas yang adil mencegah timbulnya kecurigaan dan ketidakpuasan. 

Selain itu, rasa memiliki (loyalitas; cinta) terhadap organisasi bisa dibangun melalui rapat evaluasi, pelatihan bersama, atau kegiatan sosial yang mempererat kebersamaan, seperti “family gathering” atau sejenisnya. 

Pemimpin yang menjadi teladan integritas, kejujuran, dan kemampuan merangkul semua pihak akan membuat organisasi lebih kokoh menghadapi dinamika internal. Pun, anggota yang loyal menjadi penopang dalam organisasi agar kuat menghadapi tantangan.

Ketokohan dalam organisasi juga memegang peranan penting. Tokoh atau pemimpin yang memiliki integritas, visi yang jelas, dan kemampuan komunikasi yang baik mampu mempersatukan perbedaan, menumbuhkan rasa percaya, dan membangkitkan semangat anggota. 

Ketokohan ideal adalah yang mengayomi, memotivasi, dan menumbuhkan rasa memiliki, bukan yang mendominasi atau menciptakan jarak dengan anggota. 

Dengan demikian, organisasi yang literat—memiliki AD/ART yang jelas, komunikasi yang efektif, kepemimpinan yang bijaksana, serta tokoh yang inspiratif baik pengurus dan anggota—akan mampu bertahan, berkembang, dan memberi manfaat lebih besar bagi masyarakat.

Demikianlah, literasi organisasi bukan sekadar keterampilan administratif atau pengetahuan prosedural. Ia adalah kemampuan memahami dinamika manusia, mengelola konflik, menumbuhkan solidaritas, dan memastikan tujuan bersama tercapai tanpa merugikan siapa pun. 

Organisasi sosial yang literat akan menjadi ruang di mana setiap anggota tumbuh, belajar, dan berkontribusi secara optimal. Dengan penguatan literasi organisasi, perbedaan tidak lagi menjadi ancaman, tetapi justru modal untuk mencapai tujuan kolektif yang lebih besar, berkelanjutan, bermanfaat bagi seluruh anggota dan masyarakat yang dilayani. (*)







 
Top