Dr. Abdul Aziz, M.Ag
- Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
SUATU siang di Cirebon, seorang anggota DPRD melontarkan pernyataan yang membuat dahi berkerut.
Katanya, “Hadis Nabi tentang ar-rāsyī wal-murtasyī fin-nār — penyuap dan yang disuap masuk neraka — tidak berlaku dalam politik. Apalagi saat pemilu. Apa yang diberikan politisi kepada rakyat itu bukan suap, tapi mahar politik.”
Ucapan itu cepat menyebar seperti minyak di atas air, menimbulkan gelombang tanya di ruang publik. Benarkah syariat Islam memberi “pengecualian moral” bagi praktik politik uang? Ataukah ini sekadar akal-akalan untuk membungkus suap dalam selendang religius?
Mahar Politik
Kita tahu, pesta demokrasi di negeri ini sering berubah menjadi pesta uang. Uang mengalir dari kandidat kepada tim sukses, dari tim sukses ke pemilih. Istilahnya macam-macam: “biaya operasional”, “sumbangan kampanye”, “pengganti bensin”, atau “mahar politik”.
Semua terdengar sopan, tapi substansinya tetap satu. Uang sebagai alat untuk memengaruhi pilihan.
Dalam politik Islam klasik, istilah “mahar” justru digunakan dalam konteks pernikahan — hadiah suci dari suami kepada istri sebagai tanda kesungguhan, bukan transaksi dagang. Menyebut uang politik sebagai “mahar” sama saja meminjam istilah sakral untuk membungkus praktik yang profan.
Suap Menurut Syariah
Islam menempatkan keadilan dan amanah sebagai pilar utama kepemimpinan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat penyuap dan yang disuap.” (La‘anallāhu ar-rāsyī wal-murtasyī).
Kata rasywah (suap) berarti sesuatu yang diberikan untuk mendapatkan hak yang bukan haknya, atau menghalalkan yang haram. Dalam konteks politik, ketika seseorang memberi uang agar dipilih, ia sejatinya sedang membeli kekuasaan — bukan karena kemampuan atau amanah, tapi karena uang.
Dan ketika rakyat menerima uang itu, mereka menjual suara. Padahal suara dalam Islam adalah syahādah (kesaksian).
Ulama besar seperti Imam al-Ghazali menegaskan, suap haram dalam segala bentuknya karena merusak sistem keadilan. Ibnu Taimiyyah bahkan menyebutnya sebagai “pintu kehancuran negara”, sebab kekuasaan yang lahir dari suap pasti mengkhianati amanah rakyat.
Ar-Rasyi wal-Murtasyi fin-Nar
Hadis yang dikutip sang anggota dewan itu sangat jelas: penyuap dan yang disuap sama-sama terancam neraka. Tidak ada catatan kaki yang menyebut “kecuali kalau dalam politik”. Tidak pula disebut “halal jika demi kemenangan partai”.
Dalam pandangan fiqih, larangan ini bersifat mutlak (umum), kecuali dalam situasi sangat terbatas — misalnya seseorang terpaksa memberi untuk menyelamatkan haknya dari penguasa zalim. Itupun dosanya jatuh kepada pihak penerima, bukan pemberi.
Tapi dalam konteks politik pemilu, tidak ada unsur “terpaksa”. Semua dilakukan dengan kesadaran penuh dan harapan timbal balik. Maka ketika seorang politisi memberi uang agar dipilih, ia bukan sedang “menyebar rezeki”, tapi sedang menabur racun moral. Dan rakyat yang menerima bukan sedang “menerima sedekah” — tapi sedang menjual nurani.
Dari Suap ke Korupsi
Islam memandang kepemimpinan sebagai amanah, bukan peluang. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai tanggungjawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Ketika jabatan diperoleh dengan cara suap, amanah berubah menjadi barang dagangan. Dari sinilah korupsi bertunas. Karena kekuasaan yang dibeli, akan berusaha mengembalikan modal dengan cara apapun.
Tak heran, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sebagian besar kasus korupsi di Indonesia bermula dari “politik biaya tinggi”. Jalan menuju kekuasaan yang ditempuh lewat amplop, hampir pasti berakhir di jeruji.
Pernyataan bahwa uang politik adalah “mahar” sejatinya merupakan bentuk ta’wil bathil — penafsiran menyesatkan terhadap hukum syariat. Islam tidak mengenal transaksi dalam memilih pemimpin. Pilihan harus didasarkan pada amanah (kejujuran), kifā’ah (kompetensi), dan ‘adālah (keadilan). Al-Qur’an menegaskan: “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan janganlah kalian membawa urusan itu kepada penguasa supaya dapat memakan sebagian harta orang lain dengan dosa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).
Ayat ini bukan hanya melarang korupsi, tapi juga praktik politik uang. Sebab politik uang adalah bentuk pemindahan hak — suara rakyat — dengan cara batil.
Dalam pandangan Islam, politik (siyasah) adalah pengelolaan urusan umat untuk kemaslahatan bersama. Tujuannya bukan kekuasaan, melainkan keadilan. Nabi Muhammad SAW tidak pernah membayar siapa pun untuk mengikutinya. Beliau menaklukkan hati dengan akhlak, bukan dengan uang.
Jika sekarang sebagian politisi menganggap memberi uang sebagai “strategi”, maka itu tanda jauhnya kita dari teladan Nabi. Islam tidak menolak politik, tapi menolak politik yang kehilangan moral.
Jadi, politik uang bukan sekadar pelanggaran hukum pemilu. Ia adalah pengkhianatan spiritual. Ia menodai prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan menukar pahala dengan rupiah.
Maka ketika seorang pejabat berani berkata bahwa hadis tentang suap “tidak berlaku dalam politik”, sesungguhnya ia sedang menciptakan agama versi dirinya sendiri — agama yang membenarkan dosa asal kekuasaan.
Dan bila rakyat membiarkan tafsir semacam ini hidup, maka demokrasi akan menjadi neraka kecil di dunia: di mana uang menggantikan akhlak, dan neraka — sebagaimana sabda Nabi — menanti keduanya, si penyuap dan si yang disuap.
Kesimpulan
Dalam syariat Islam, tidak ada ruang abu-abu bagi suap, sekalipun dibungkus istilah “mahar politik”. Hukum haramnya jelas, ancamannya tegas. Politik yang benar dalam Islam bukanlah soal siapa yang paling banyak memberi, tetapi siapa yang paling layak dipercaya.
Meskipun suasana politik semakin pragmatis, kita tetap perlu mengingat satu kalimat pendek dari Imam Ali bin Abi Thalib: “Kekuasaan yang diperoleh dengan dosa, tidak akan bertahan dengan berkah.” (*)