Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
DI SEBUAH jalan sunyi di Teheran, berdiri bangunan tua yang tampak biasa—dinding bata, pagar besi, cat pudar dimakan waktu. Tapi siapa sangka, di balik tembok itu dulu berdenyut jantung intelijen paling ambisius di muka bumi. Inilah bekas Kedutaan Besar Amerika Serikat, yang pada tahun 1979 berubah dari kantor diplomatik menjadi sarang paling berisik dalam sejarah perang diam. Kini ia disebut US Den of Espionage Museum, museum sarang mata-mata Amerika. Namun bagi mereka yang tahu sedikit tentang dunia intelijen, tempat ini bukan sekadar museum, melainkan ruang otopsi bagi ide besar bernama dominasi global.
Rudy Chen, seorang YouTuber asal Medan, berdiri di depan gerbangnya. Ia tak sedang melancong, ia sedang menyentuh arteri sejarah. Di sinilah CIA pernah bercokol dengan pakaian diplomat, menyamar di balik kata sopan dan secangkir kopi diplomasi. Tapi kopi itu diseduh di atas kompor rahasia. Setiap cangkir mungkin punya mikrofon di dalamnya. Setiap senyum mungkin sudah direkam dalam pita magnetik. Dunia intelijen memang seperti itu—mereka tidak pernah sekadar berbicara, mereka mendengarkan dengan agresif.
Begitu Rudy melangkah masuk, suasana seperti menelan waktu. Di dinding tergantung mural besar Lady Liberty berkepala tengkorak, sebuah ejekan visual terhadap kebebasan yang ternyata suka menguping. Udara terasa berat, seperti penuh gema rahasia yang belum sepenuhnya mati. Di salah satu sudut, berdiri ruang legendaris, Crystal Room, ruang rapat anti-sadap yang menjadi legenda dunia spionase. Ruangan ini dibuat dari dua lapisan kaca akrilik dengan ruang hampa di antaranya, dilapisi aluminium foil agar suara tak keluar, getaran tak menular, dan frekuensi tak bisa diterjemahkan. Ini bukan ruangan untuk berdiskusi, tapi untuk bersekongkol dalam keheningan sempurna.
Bayangkan, wak! Tahun 1970-an, ketika dunia masih sibuk dengan mesin tik dan telepon putar, Amerika sudah punya ruangan yang tak bisa ditembus radar suara. Di sinilah agen-agen CIA berdiskusi tentang siapa yang harus didukung, siapa yang harus dijatuhkan, dan di mana demokrasi sebaiknya “diatur ulang.” Mereka menyebutnya diplomasi, tapi dunia intelijen tahu, itu operasi. Setiap kabel telepon di gedung ini adalah nadi pengawasan. Setiap laporan diplomatik yang dikirim mungkin menyembunyikan peta jaringan pengaruh.
Ketika mahasiswa Iran menyerbu kompleks ini pada November 1979, yang mereka temukan bukan sekadar arsip diplomatik. Mereka menemukan ratusan peralatan penyadapan, transmitter mungil, pemancar radio gelombang tinggi, kamera sebesar kancing, dan mesin penghancur dokumen yang berputar seperti amarah. Tapi yang paling menakjubkan, tumpukan kertas yang sudah disobek oleh staf kedutaan. Ribuan lembar, dirobek agar rahasia tidak bocor. Namun mahasiswa Iran, dengan kesabaran surgawi, menyusunnya kembali satu per satu seperti teka-teki ilahi. Dari situ, dunia tahu “kedutaan” itu bukan sekadar kantor perwakilan, melainkan terminal utama operasi CIA di Timur Tengah.
Kini semua itu dipajang di balik kaca museum. Ada kabel, mikrofon, dokumen yang dijahit kembali, dan sisa-sisa paranoia Amerika. Orang-orang datang, berfoto, tertawa, lalu pulang membawa suvenir. Tapi bagi yang memahami dunia intelijen, tempat itu bukan sekadar peninggalan sejarah. Ia adalah pengakuan tanpa kata, bahwa di balik senyum diplomatik, selalu ada telinga yang menguping.
Di dunia intelijen, kepercayaan adalah ilusi, dan persahabatan hanyalah bentuk pengawasan yang lebih halus. Amerika dulu menyadap musuhnya, dan kawan sendiri pun tak luput. Di ruang-ruang kedutaan seperti inilah, kebijakan dunia dirancang dengan alat dengar yang nyaris sempurna. Sekarang, sisa-sisanya berdiri diam di tengah Teheran, menjadi saksi bahwa bahkan kebebasan pun pernah bekerja paruh waktu sebagai mata-mata.
Semoga para followers saya paham dunia inteligen, dunia mata-mata. Selamat malam minggu semua. Minum kopi dengerin lagu. Semoga happy di malam minggu.
#camanewak