Oleh ReO Fiksiwan
“
Kita hidup, sering dikatakan, di zaman keemasan kebodohan…” — Stuart Jeffries (59), A Short History of Stupidity (2025).DI TENGAH arus deras informasi yang membanjiri lanskap kehidupan modern, manusia justru terjebak dalam paradoks epistemologis: kelimpahan pengetahuan tidak serta-merta melahirkan kebijaksanaan, melainkan memperluas lanskap kedunguan.
Fenomena ini bukan sekadar ironi zaman, melainkan krisis mendalam yang menyentuh akar kebudayaan dan cara manusia memahami dirinya serta dunia.
Dalam A Short History of Stupidity, Stuart Jeffries, aktif sebagai kontributor lepas untuk berbagai media seperti The Guardian, Financial Times, Spectator, dan London Review of Books, menggarisbawahi bahwa kita hidup di era keemasan kedunguan, di mana kebodohan bukan lagi sekadar kekurangan pengetahuan, melainkan bentuk aktif dari penolakan terhadap kompleksitas dan refleksi kritis.
Kedunguan menjadi gaya hidup, bahkan identitas politik dan budaya, yang dirayakan dalam algoritma media sosial dan narasi populis.
William Chittick (82), Profesor Emeritus di Departemen Studi Asia dan Asia-Amerika di Stony Brook University dalam Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (2013) menyentuh akar spiritual dari krisis ini.
Ia menegaskan bahwa dalam tradisi Islam, pengetahuan bukan sekadar akumulasi data, melainkan jalan menuju pemahaman diri dan Tuhan. Ketika ilmu dipisahkan dari jiwa dan kosmos, maka yang tersisa hanyalah informasi tanpa makna.
Chittick menyebut bahwa modernitas telah menggantikan tahqîq (verifikasi spiritual) —pengetahuan yang lahir dari kontemplasi—dengan taqlîd (peniruan) digital, di mana manusia meniru tanpa memahami, mengulang tanpa menyelami.
Dalam konteks ini, surplus informasi justru menjadi ladang subur bagi kedunguan yang sistemik. Seperti mengutip Chittick, “The traditional Islamic view sees knowledge not as information, but as a mode of being.”
Manuel Castells (83), Profesor Emeritus di University of California, Berkeley — sosiolog komunikasi — dalam analisisnya tentang masyarakat jaringan(Lihat End of Millennium, 1998), menyebut abad ini sebagai era informasi yang bermasalah.
Informasi tidak lagi netral, melainkan dikonstruksi dalam medan kuasa dan algoritma. Pengetahuan menjadi komoditas, dan kebenaran ditentukan oleh viralitas.
Dalam perspektif ini, kedunguan bukan sekadar ketidaktahuan, melainkan hasil dari manipulasi sistemik terhadap persepsi dan nalar publik.
Castells menunjukkan bahwa ketika informasi menjadi alat dominasi, maka kebodohan menjadi produk budaya yang dirancang dan dipelihara.
Sementara, Reiner Emyot Ointoe dalam Tuhan dan Senjakala Kebudayaan (2025) mengajukan kritik tajam terhadap krisis epistemologi kebudayaan.
Ia menyoroti bagaimana kebudayaan kontemporer telah kehilangan orientasi transenden, terjebak dalam relativisme dan konsumsi simbolik. Tuhan menjadi metafora yang kabur, dan kebudayaan menjadi panggung simulakra.
Dalam senjakala ini, kedunguan bukan sekadar kegagalan intelektual, melainkan kehampaan spiritual yang merayakan absurditas.
Ointoe menegaskan bahwa krisis ini bukan hanya soal pengetahuan, tetapi tentang hilangnya makna dan arah dalam kehidupan manusia.
Surplus kedunguan adalah gejala zaman yang menuntut refleksi filosofis mendalam. Ia bukan sekadar masalah pendidikan atau teknologi, melainkan krisis ontologis tentang apa artinya menjadi manusia di tengah kelimpahan informasi.
Ketika pengetahuan tidak lagi mengarah pada kebijaksanaan, dan ketika informasi tidak lagi membawa pemahaman, maka kita hidup dalam era di mana kedunguan menjadi norma, bukan pengecualian.
Dalam lanskap kebudayaan ini, tugas filsafat bukan hanya mengritik, tetapi menghidupkan kembali pencarian makna yang telah lama ditinggalkan. Atau, menemukan kembali akar epistemologi yang lebih mutakhir dan relevan. (*)
#coversongs: “Don’t Let Stupidity Win (Acapella)” oleh PerOla Hammar (39) dirilis pada 6 Maret 2025 dan merupakan bagian dari single yang juga tersedia di berbagai platform musik digital seperti YouTube, Apple Music, dan Mdundo.
Lagu ini beresonansi sebagai seruan moral dan sosial untuk melawan kebodohan yang merajalela di tengah masyarakat modern.
Dengan gaya acapella yang minimalis namun kuat, PerOla Hammar menyampaikan pesan bahwa kedunguan bukan hanya soal kurangnya pengetahuan, tetapi juga tentang sikap pasif terhadap ketidakadilan, manipulasi informasi, dan penolakan terhadap nalar kritis.
Lagu ini bisa disimak sebagai refleksi atas zaman yang dipenuhi oleh informasi tetapi miskin kebijaksanaan.(*)