PADANG -- Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Sumatera Barat (BPK Sumbar) menemukan adanya kelebihan pembayaran atas biaya penginapan perjalanan dinas pada Sekretariat DPRD Provinsi Sumbar tahun 2024. Total kelebihan pembayaran yang dibebankan kepada negara mencapai Rp238.911.600.

Temuan ini tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Nomor 47.A/LHP/XVIII.PDG/05/2024 tanggal 17 Mei 2024 atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Dalam laporan tersebut, BPK mengungkapkan bahwa terdapat pembebanan biaya penginapan melebihi tarif resmi yang berlaku. Hal ini disebabkan oleh adanya fasilitas tambahan yang dimasukkan dalam tagihan penginapan, seperti makan siang, makan malam, serta paket makanan dan minuman yang disediakan di kamar.

“Fasilitas-fasilitas tambahan ini seharusnya tidak dibebankan ke dalam biaya kamar, karena pelaksana perjalanan dinas telah menerima uang harian sebagai pengganti kebutuhan sehari-hari,” tulis BPK dalam laporan tersebut.

Berdasarkan hasil konfirmasi dengan pihak hotel dan pengujian atas pertanggungjawaban perjalanan dinas tahun 2024, ditemukan bahwa praktik ini masih berlangsung sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Istilah kata, temuan modus billing hoteo ini merupakan sequel dari praktik serupa tahun ke tahun. 

Berikut rincian pembebanan biaya penginapan lebih tinggi dari tarif resmi:

No. // Nama Hotel // Volume Perjalanan Dinas // Jumlah Pembayaran (Rp) // Hasil Pengujian (Rp) // Kelebihan Pembayaran (Rp)

1. GE 10 96.000.000 64.320.000 31.680.000

2. SAK 13 78.900.000 32.400.000 46.500.000

3. TAJ 68 273.750.000 112.018.400 161.731.600

Jumlah 91 448.650.000 209.738.400 238.911.600

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) sebenarnya telah mengeluarkan Surat Edaran melalui Sekretariat Daerah Nomor 900.1.3.3/107/APKD/BPKAD-2024 tanggal 9 Oktober 2024, yang menindaklanjuti Surat Edaran Bersama antara DJPK Kementerian Keuangan dan Ditjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Surat tersebut menegaskan bahwa, terhitung sejak 8 Oktober 2024, pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas kembali menggunakan sistem at cost atau biaya riil, sesuai Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020.

Dalam sistem at cost, hotel maupun pelaksana perjalanan dinas tidak dibenarkan membebankan biaya tambahan seperti makan, minum, dan laundry ke dalam tarif kamar. Hal ini karena ASN dan pejabat telah memperoleh uang harian yang mencakup pengeluaran tersebut.

BPK menegaskan bahwa pembayaran melebihi harga kamar resmi tersebut tidak dapat diterima dan mengakibatkan kerugian keuangan daerah senilai Rp238.911.600.

Menanggapi hal ini, Dra. Hj. Sastri Yunizarti Bakry, M.Si., Akt., mantan Direktur Perencanaan Keuangan Daerah Kemendagri, menekankan pentingnya ketegasan dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK oleh semua pihak, terutama legislatif dan aparat penegak hukum.

“Semua laporan LHP BPK RI bukan hal yang mesti disembunyikan. Semua hasil BPK yang potensial fraud harus disaksikan oleh DPRD,” ujarnya.

Menurutnya, DPRD sebagai lembaga pengawasan wajib bersikap tegas terhadap setiap persoalan keuangan daerah yang ditemukan BPK.

“DPRD harus punya nilai dalam dirinya untuk menindaklanjutinya, karena untuk menindaklanjutinya harus adanya rekomendasi apakah kepada aparat penegak hukum atau ke inspektorat,” katanya.

Sastri juga menyinggung bahwa selama ini banyak temuan yang selesai tanpa proses hukum karena cukup dikembalikan ke kas daerah.

“Kalau seperti itu orang akan berpikir: korupsi saja dulu, nanti bisa dikembalikan. Jadi BPK harus jelas, tindak lanjutnya pun harus benar-benar, diberikan kepada DPRD,” ujarnya lagi.

Lebih jauh, ia mempertanyakan kesiapan DPRD untuk menangani masalah yang menyentuh institusinya sendiri.

“Pertanyaannya, DPRD mau tidak menindaklanjuti permasalahan yang ditemukan BPK?, karena permasalahan itu ada dalam dirinya sendiri,” tambahnya.

Sastri juga memberikan saran tegas kepada aparat penegak hukum agar segera memberikan sinyal keras terhadap penyimpangan yang telah ditemukan.

“Segera berikan warning, karena tindakan korupsi sudah extra ordinary crime, apalagi sudah muncul ke permukaan,” tegasnya.

Di akhir pernyataannya, Sastri mempertanyakan pula konsistensi arah kepemimpinan dari Gubernur Sumbar dalam komitmennya memberantas korupsi.

“Konsisten tidak mindset dalam dirinya dari dulu hingga sekarang soal korupsi ini? Kalau dilihat dari sisi kebudayaan dan pariwisata cukup konsisten. Apa yang dulu disebut dengan sekarang, sama. Maka, bagaimana dengan korupsi?,” tutup Sastri.

#tim/sumber: lhp bpk ri 2024 




 
Top