NIASSELATAN, SUMUT – Sebuah peristiwa budaya sarat sejarah tengah berlangsung di Desa Hilisimaetano. Di tengah semaraknya Maniamölö Fest 2025, Proyek "Suara yang Pulang" hadir dengan Pameran Eksibisi Multimedia Material Jaap Kunst.

Pameran ini menyuguhkan arsip rekaman suara, gambar dan film bisu dari Nias. Material ini dikumpulkan oleh etnomusikolog Belanda Jaap Kunst pada tahun 1930.

Sebagai salah satu sorotan utama Maniamölö Fest, pameran ini dibuka sejak 15 Juni dan akan berlangsung hingga 22 Juni 2025. Inisiatif ini menjadi jembatan waktu yang menghubungkan masa lalu dengan realitas masa kini bagi masyarakat Nias, khususnya di Nias Selatan.

"Suara yang Pulang" adalah inisiatif luar biasa yang menggarisbawahi pentingnya repatriasi dan apresiasi warisan budaya yang telah terpisah jauh dari tanah asalnya. Inti dari proyek ini adalah mengembalikan makna dan relevansi arsip-arsip berharga tersebut kepada komunitas asli Nias.

Ini bukan sekadar pemutaran atau penayangan arsip biasa, melainkan sebuah proses penghidupan kembali ingatan kolektif. Tujuannya adalah meregenerasi hubungan spiritual antara generasi sekarang dengan leluhur mereka melalui bunyi dan citra yang berusia hampir satu abad. Keberadaan pameran ini di Maniamölö Fest 2025 semakin memperkuat visi festival untuk melestarikan dan mempromosikan kekayaan budaya Nias.

Dari Pengantar Tidur Hingga Repatriasi Bunyi

Gagasan di balik "Suara yang Pulang" lahir dari pemikiran Doni Kristian Dachi. Ia adalah seorang peneliti independen asal Nias.

Kecintaan Doni terhadap sejarah dan budaya leluhurnya telah terpupuk sejak usia dini. Ia terinspirasi oleh cerita-cerita pengantar tidur dari sang ayah. Cerita itu selalu bertutur tentang kisah-kisah para pendahulu. Ketertarikan mendalam ini membimbingnya pada penelusuran panjang tentang warisan Nias.

Etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst, diketahui telah merekam total 53 suara dari 11 lokasi berbeda di Nias pada tahun 1930. Ia tiba di Gunungsitoli, Nias, pada 1 April 1930 dan melanjutkan kegiatan perekaman hingga bulan Mei di tahun yang sama.

Dari perjalanan tersebut, 21 rekaman diambil di Desa Hilisimaetano, tempat pameran ini kini berlangsung. Doni sudah mengetahui keberadaan rekaman Jaap Kunst di Nias sejak membaca buku "Music in Nias" sekitar tahun 2013.

"Namun, saat itu tidak ada petunjuk sama sekali mengenai lokasi penyimpanan arsip-arsip tersebut," tutur Doni dengan antusias. "Rasanya seperti mencari harta karun tanpa peta, sebuah teka-teki yang terus menggantung dalam pikiran saya."

Titik balik krusial terjadi sekitar Oktober 2024. Doni, secara tidak sengaja, menemukan berita di Facebook tentang repatriasi arsip Jaap Kunst di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penemuan ini sontak memicu pemikiran yang kuat: "Jika rekaman suara NTT ada, mengapa rekaman suara Nias tidak?" Sebuah percikan harapan dan determinasi pun menyala, mendorongnya untuk bertindak.

Dari informasi tersebut, Doni berhasil menemukan nama etnomusikolog Barbara Titus. Barbara kerap muncul dalam konteks penelitian Jaap Kunst.

Tanpa ragu, Doni mencari alamat email Barbara di Google dan segera mengirimkan pesan. Ia menjelaskan niatnya untuk menelusuri arsip Nias. Respon yang didapatkan sungguh di luar dugaan Doni.

Barbara merespons dengan cepat dan menunjukkan ketertarikan yang sama terhadap gagasan ini. "Awalnya saya memberanikan diri saja untuk menghubungi beliau secara langsung," kenang Doni. "Tapi ternyata Barbara sangat terbuka dan responsif terhadap gagasan yang saya sampaikan."

Setelah itu, mereka menjadwalkan pertemuan virtual dan komunikasi terus terjalin intens. Mereka membahas berbagai kemungkinan untuk mewujudkan proyek ini.

Hubungan kolaboratif ini kemudian berlanjut ke pertemuan langsung yang lebih signifikan. Pada awal tahun 2025, Doni Kristian Dachi berkesempatan mengunjungi Barbara Titus di Amsterdam, Belanda.

Pertemuan ini menjadi krusial dalam kemajuan proyek. "Saat di Amsterdam, saya melihat langsung bagaimana arsip-arsip tersebut tersimpan," jelas Doni.

"Barbara tidak hanya memberikan akses penuh terhadap rekaman-rekaman itu, ia juga melakukan inisiatifnya agar rekaman-rekaman untuk Nias dapat menjalani proses restorasi berbasis kecerdasan buatan,” Ia menambahkan, "Proses ini bertujuan untuk mengurangi artefak suara, derau (noise), serta distorsi seperti pecahnya suara, sembari mempertahankan karakter orisinal rekaman sebanyak mungkin.”

Inisiatif yang dilakukan Barbara ini memastikan bahwa "suara-suara yang pulang" dapat dinikmati dengan kualitas terbaik. Sehingga masyarakat Nias merasakan pengalaman yang lebih otentik dengan warisan bunyi leluhur mereka.

“Namun lebih jauh lagi, bentuk kepulangan seperti ini tidak mungkin terjadi tanpa keterbukaan, kerendahan hati, dan kemurahan hati dari mereka yang saat ini menjadi pemegang arsip.”, lanjut Doni. “Andaikan para pemegang arsip tidak secara sadar berupaya menunjukkan bahwa arsip ini dapat dijangkau, maka pengembalian akan menjadi susah. Walaupun keinginan dari komunitas asal untuk menjangkaunya begitu besar. Suara yang Pulang bisa terwujud karena adanya kesediaan untuk membuka arsip, untuk mendengarkan, dan untuk berkolaborasi.”

Kolaborasi antara Doni Kristian Dachi dan Barbara Titus ini menjadi tulang punggung Proyek "Suara yang Pulang". Hal ini menunjukkan bagaimana inisiatif individu dengan semangat tulus dapat membuka pintu kolaborasi internasional signifikan untuk kepentingan pelestarian budaya. Ini juga menjadi contoh nyata bagaimana teknologi komunikasi modern dapat memfasilitasi upaya pelestarian warisan budaya lintas benua.

Pameran Eksibisi Multimedia di Jantung Maniamölö Fest 2025

Pameran Eksibisi Multimedia Material Jaap Kunst di Desa Hilisimaetano bukan hanya sekadar etalase artefak sejarah. Ini adalah pengalaman imersif.Pameran ini dirancang untuk mengundang pengunjung merasakan koneksi mendalam dengan masa lalu. Ini juga menjadi bagian integral dari Maniamölö Fest 2025.

Lokasi pameran di desa ini dipilih secara sengaja. Tujuannya untuk mendekatkan arsip-arsip ini dengan masyarakat yang memiliki ikatan langsung dengan warisan budaya tersebut. Penempatan ini sekaligus memaksimalkan partisipasi pengunjung festival.

Para pengunjung pameran memiliki kesempatan langka untuk mendengarkan kembali melodi-melodi kuno. Rekaman ini dibuat hampir seabad yang lalu – sebuah simfoni masa lalu yang kini kembali bergema di tanah asalnya.

Mereka dapat melihat potret-potret kehidupan masyarakat Nias Selatan di masa lampau. Pengunjung bisa mengamati detail-detail keseharian, upacara adat, dan ekspresi wajah yang menangkap jiwa zaman itu.

Tidak hanya itu, film bisu yang merekam tradisi dan kegiatan sehari-hari pada era 1930-an turut diputar. Ini memberikan gambaran visual yang hidup tentang bagaimana leluhur mereka hidup dan berinteraksi.

Setiap elemen dalam pameran ini dirancang untuk menciptakan pengalaman yang mendalam. Ini memungkinkan pengunjung tidak hanya melihat dan mendengar, tetapi juga merasakan denyut nadi sejarah.

Yang membuat pameran ini semakin bermakna adalah keterlibatan generasi muda lokal. Sejumlah anak muda dari desa serta mahasiswa dari Universitas Nias Raya ikut berperan sebagai pemandu pameran. Mereka bukan hanya menjelaskan konteks arsip kepada para pengunjung, tetapi juga menunjukkan bahwa warisan ini kini dijaga oleh tangan-tangan muda dari komunitas asalnya.

"Ini adalah momen yang sangat mengharukan bagi saya dan bagi masyarakat Nias Selatan," ungkap Doni Kristian Dachi, saat ditemui di lokasi pameran. "Saya ingin suara-suara ini tidak hanya menjadi arsip yang tersimpan rapi di rak-rak museum di luar sana, tetapi hidup kembali di tengah-tengah kita, di mana mereka seharusnya berada, menjadi bagian dari narasi hidup kita sehari-hari."

Doni menambahkan, dengan penuh harap, "Melalui pameran ini, kami berharap generasi muda dapat lebih mengenal dan mencintai warisan budaya mereka."

"Kami ingin mereka merasakan koneksi yang kuat dengan para leluhur melalui bunyi-bunyi ini, menyadari bahwa setiap nada, setiap gambar, adalah bagian dari cerita mereka, bagian dari identitas mereka, dan bahwa identitas ini terus hidup melalui generasi."

Maniamölö Fest 2025: Perayaan Warisan Nias

Pameran "Suara yang Pulang" merupakan salah satu daya tarik utama dari Maniamölö Fest 2025. Festival budaya ini diinisiasi oleh Desa Hilisimaetano dan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Nias Selatan. Festival ini diselenggarakan untuk menonjolkan potensi pariwisata, budaya, dan ekonomi kreatif desa.

Maniamölö Fest juga telah terpilih sebagai bagian dari 110 Karisma Event Nusantara 2025. Selain pameran yang menggugah memori ini, Maniamölö Fest 2025 juga menghadirkan beragam kekayaan budaya Nias. 

Salah satu yang paling dinanti adalah ritual Famadaya Harimao, sebuah upacara adat sakral yang hanya digelar setiap 14 tahun sekali. Ini menunjukkan kedalaman spiritual dan tradisi yang masih terjaga.

Pengunjung juga dapat menyaksikan berbagai pertunjukan seni dan budaya tradisional lainnya. Ini termasuk Hoho (puisi lisan), Lomba Maena Kreasi, Tari Kreasi, Paduan Suara, hingga Vokal Grup Ansambel Musik.

Tidak ketinggalan, atraksi Fahombo Batu (lompat batu) yang ikonis juga akan memukau para penonton. Ini melambangkan ketangkasan dan kedewasaan pemuda Nias.

Berbagai pameran kesenian dari komunitas dan sekolah lokal, serta stan kuliner dan UMKM khas Nias, turut memeriahkan festival. Ini memberikan pengalaman lengkap tentang kekayaan budaya Nias Selatan.

#adv/ede




 
Top