Cerpen Warsit MR | Cerpenis


SABILA gadis manis di Dusun Turgo cintanya sedang mekar bagai bunga. Hatinya bergejolak, ia tergoda atas kehadiran seorang pemuda yang sedang Kuliah Kerja Nyata di desanya. Pemuda itu bernama Prasetyo yang empat bulan ke depan akan hidup berdampingan dengan masyarakat di Dusun Turgo. Bagai gayung sedang bersambut, diam-diam Prasetyo juga menaruh hati pada Sabila. Waktu empat bulan tidak disia-siakan oleh Prasetyo ibarat pepatah, sambil menyelam minum air. Selain menjalankan tugas KKN Prasetyo juga menjalin cinta dengan Sabila. Sementara itu sebagai gadis desa, Sabila merasa tersanjung karena mendapat perhatian khusus dari seorang mahasiswa.

Turgo adalah sebuah bukit yang di lerengnya terdapat sebuah Dusun Turgo. Berada dekat dengan Gunung Merapi, di sebelah barat Kaliurang. Di Dusun Turgo inilah Sabila lahir dan dibesarkan. Bukit Turgo dimanfaatkan sebagai kawasan wisata. Kawasan ini sangat disukai para wisatawan, karena udaranya sejuk, pemandangannya indah, dikelilingi hutan pinus dan cemara. Dari lereng bukit Turgo para wisatawan bisa memandangi indahnya Gunung Merapi yang menyimpan penuh misteri.

Dusun Turgo juga sering dijadikan lokasi Kuliah Kerja Nyata-KKN- oleh beberapa perguruan tinggi khususnya dari Jogjakarta. Prasetyo bersama dengan kelompoknya sedang KKN selama empat bulan di Dusun Turgo. Selama KKN mereka tinggal di rumah Pak Panut, Kepala desa Dusun Turgo. Di tempat inilah Prasetyo mengenal gadis dusun bernama Sabila, putri Pak Panut.

Sabila sebagai putri pertama dari pasangan Pak Panut dengan Ibu Katiyah. Gadis sweet seventeen itu memiliki paras yang cantik lagi memesona. Kulit kuning langsat, mata bulat, dan rambut lebat sebahu, sahaja pribadinya, serta manis senyumnya. Maka tak heran bila di DusunTurgo, Sabila mendapat julukan sebagai bunga desa. Itulah yang membuat Prasetyo jatuh hati pada Sabila.

Satu bulan masa KKN Prasetyo telah berlalu, ia semakin akrab menjalin kasih dengan Sabila. Setiap Prasetyo pulang dari Jogja dan kembali ke pos KKN selalu membawakan bingkisan khusus buat Sabila.

“Ini oleh-oleh khusus buat Sabila.” Ucap Prasetyo.

“Terima kasih banget Kak Pras, ngrepotin aja.” Jawab Sabila sembari tersenyum manja.

“Nggak kok, nggak ngrepotin, kakak berharap Sabila suka,” timpal Prasetyo.

Sudah berkali-kali Prasetyo memberikan berbagai bingkisan kepada Sabila, peristiwa demi peristiwa oleh Sabila dibisikkan kepada ibunya.Tak pelak naluri seorang ibu memahami apa yang dilakukan Prasetyo kepada putrinya.

“Sebagai seorang wanita, ibu memahami, Nak Pras itu nampaknya mencintai kamu Nduk.” Ujar Ibu Sabila, terkesan GR –gedhe rumangsa.

“Saya juga merasakan seperti itu Bu, tetapi Kak Pras belum pernah menyatakan cintanya pada saya,” jawab Sabila dengan polos.

“Ya…mungkin dia masih malu-malu sama kamu, karena baru satu bulan tinggal di sini.”

“Sabar ya Nduk, kalau Nak Pras memang serius mencintai kamu, suatu saat nanti pasti akan mengungkapkan isi hatinya,” lanjut Ibunda menenangkan hati Sabila.

“Sebaiknya tidak perlu buru-buru menerima pernyataan cinta dari Nak Pras Nduk.” Sela Ibu Katiyah lagi.

“Knapa Ibu bilang begitu?”

“Prasetyo itu keluarganya kan tinggal di kota, ada kalanya anak dari kota itu memiliki gaya hidup yang berbeda dengan anak desa. Perlu waktu untuk mempelajari lebih jauh, seperti apa pribadi Nak Prasetyo yang sebenarnya,” wanti-wanti Ibu Katiyah. Ia khawatir pada putrinya yang masih berusia 17 tahun dan masih polos hatinyaitu. Sabila akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh ibunya. “Intinya Ibu tidak melarang saya untuk menerima cinta Kak Prasetyo, tetapi perlu bersikap lebih hati-hati. Agar tidak kecewa di kemudian hari,” guman Sabila de hadapan ibunya.

Tugas KKN Prasetyo di Dusun Turgo sampailah pada bulan ke-dua. Banyak kenangan yang dicatat dalam buku hariannya. Selain kenangan indah bersama Sabila, dirasakan pula kenangan yang cukup getir. Selama bulan ke-dua ia hidup bersama dengan masyarakat Dusun Turgo. Dirinya merasakan betapa pahit getirnya hidup di desa, Dusun Turgo. Warga mengalami keterbelakang dalam hal pendidikan, kesulitan dalam hal sarana dan prasarana transportasi. Belum lagi masalah air bersih yang masih sangat sulit didapatkan.

Satu-satunya sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, warga menyalurkan melalui pralon dari sumber mata air Bukit Turgo. Jaraknya cukup jauh, pun melalui lereng-lereng bukit dengan medan yang sangat terjal. Namun demi untuk membantu masyarakat, sebagai mahasiswa KKN Prasetyo bersama kelompoknya secara rutin ikut aktif bersama warga mengontrol keberadaan aliran air dari bukit Turgo.

Sore itu Prasetyo bersama kelompoknya pulang dari pembinaan kelompok ibu-ibu PKK. Kebetulan Sabila sebagai kader desa Dusun Turgo ikut mendampingi para mahasiswa yang berkegiatan sore itu. Perjalanan pulang dari Kantor Desa ditempuh dengan berjalan kaki. Prasetyo nampak bercandaria berjalan berdampingan bersama dengan Sabila. Persahabatan mereka nampak semakin akrab seakan tak da jarak yang berarti. Gelak tawa membarsamai mereka berdua, hingga sempat membuat iri kawan-kawan KKN lainnya.

“He… Pras, rupanya kamu jatuh hati sama Sabila ?” Tanya salah seorang kawan KKN beregurau menggoda. Ditanya demikian Prasetyopun menjawab hanya dengan senyuman, pertanda dirinya menyukai Sabila. Itu sekaligus memberi sinyal kepada kawan-kawannya agar tidak menggoda sabila.

“Kalau lu emang cinta sama Sabila kami dukung Pras.” Celoteh kawan yang lain sekenanya. Sehingga membuat kelompoknya sepontan ketawa bersama.

Tiga bulan sudah Prasetyo bersama dengan kawan-kawannya menjalankan tugas KKN di Dusun Turgo. Dari minggu ke minggu hubungan Prasetyo dengan Sabila nampak semakin mesra. Tak pelak kemesraan mereka dicurigai oleh Prayoga, pemuda Dusun Turgo yang lebih dahulu mencintai Sabila sebelum kehadiran Prasetyo. Sayangnya Prayoga selama ini belum pernah menyatakan cintanya kepada Sabila. Sementara itu Sabila sudah terlanjur menerima cinta Prasetyo, bahkan telah berjanji untuk sehidup semati.

Merasa cintanya telah direnggut oleh Prasetyo, Prayoga menyusun niat jahatnya. Ia bermaksud untuk menghabisi Prasetyo. Prayoga sempat mengumpulkan teman-temannya, ia menyusun stretegi untuk melakukan pengroyokan terhadap Prasetyo. Kawan-kawan Prayogapun sepakat mendukung rencana tersebut, dan telah membagi tugas masing-masing serta menentukan tempat dan waktu untuk melakukan penghadangan kepada Parasetyo. Namun rencana jahat Proyoga dan kawan-kawannya keburu terendus oleh Pak Panut sebagai Kepala Desa Dusun Turgo.

Sempat terjadi adu mulut antara Prayoga dengan Pak Panut. Namun karena Pak Panut lebih bijaksana dalam memberikan saran dan arahan kepada Prayoga dan rekan-rekannya, akhirnya kemarahan mereka mereda dan bisa menerimanya. Meski dalam hati kecil Prayoga masih menyimpan rasa kecewa.

“Saya sarankan kalian jangan sampai membuat onar di dusun kita ini.” Pinta Pak Panut dengan sabar hati.

“Keamanan dan ketentraman Dusun Turgo ini menjadi tanggung jawab kita bersama,” lanjutnya. Di hadapan Prayoga dan kawan-kawannya Pak Panut yang sudah 8 tahun menjabat sebagai Kepala Dusun Turgo juga menjelaskan bahwa, Dususn Turgo selama ini menjadi perhatian banyak perguruan tinggi untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata. “Jangan sampai kondisi dusun yang selama ini sudah kondusif, tercemar oleh perbuatan warga yang semestinya tidak perlu terjadi,” tegas Pak Panut.

Waktu untuk KKN Prasetyo bersama kawan-kawannya sudah genap empat bulan. Mereka merencanakan untuk mengadakan acara perpisahan dengan pamong desa bersama dengan warga Dusun Torgo. Setelah diadakan musyawarah bersama antara para mahasiswa KKN, para tokoh masyarakat dan pamong desa, disepakati waktu dan tempat acara perpisahan. Acara perpisahan digelar di balai desa Dusun Turgo. Perangkat desa Dusun Turgo menyampaikan ucapan terima kasih dan meresa terkesan kepada para mahasiswa KKN yang dikoordinir oleh Prasetyo, karena hasinya tidak mengecewakan warga.

Di sela-sela acara perpisahan malam itu, sempat bercengkrama antara Sabila dengan Prasetyo. Mereka saling melepas rindu berjanji untuk saling setia. Prasetyo sempat memeluk Sabila dengan erat sembari membisikkan ucapan kasih dan cintanya.

“Aku mencintaimu Sabila,…. di waktu lain nanti aku akan kembali ke sini,” bisik Prasetyo dengan lembut dan mesra.

“Aku juga mencintai Kak Pras, …..jangan tinggalkan aku Kak.”

Dekapan Prasetyo semakin erat, dan Sabilapun merasakan kehangatan cinta yang selama ini belum pernah ia rasakan. Tak kuat menanggung rasa pedih di hati, air mata Sabila tak terbendung mengalir membasahi kedua pipinya. Prasetyo memandangi wajah Sabila, ia tak sampai hati untuk meninggalkannya kemudian mengusap air mata kekasihnya. “Dindaku Sabila selamat tinggal, kuatkan hatimu, aku berjanji esok hari kukan kembali.” (*)

Semarang, Oktober 2025.


Bionarasi Penulis

Warsit MR, lahir di Gunungkidul Yogyakarta. Jebolan dari UNILA Lampung dan IKIP Negeri Semarang. Pernah menjadi guru SMP dan SMA, wartawan surat kabar, Tabloid dan Majalah. Menulis antologi puisi lima buku, antologi Cerpen baru empat buku, antologi Cernak-pernah menjadi juara pertama- yang diselenggarakan oleh penerbit Gapura Pustaka bekerja sama dengan Sukoharjo Literasi-judul buku “Anak yang Lupa Jalan Pulang”, judul Cernak “Suku Samin dan Seribu Kelelawar”,menulis antologi esai : “Bencana dari Berbagai Perspektif” –Satupena Jawa Tengah, “Pilpres 2024 Kesaksian Para Penulis”, “Suara Penulis Soal Pemilu dan Demokrasi 2024”, Satupena pusat. Anggota Satupena Jawa Tengah, E-mail : warsitsri@gmail.com





Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top