Cerpen Warsit MR | Cerpenis


GERIMIS malam itu menambah genangan air di sepanjang jalan pedesaan yang seharian telah diguyur hujan lebat. Jalan berlumpur bercampur kerikil menjadi licin dan tidak nyaman untuk dilewati. Kondisi demikian itu sudah dianggap biasa, warga hanya bisa menikmati apa adanya. Meski cuaca sedang gerimis disertai jalanan licin berlumpur tak menyusutkan niat Bakat pergi ke tempat perjudian yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Desa kecil tempat tinggal Bakat seakan luput dari pengawasan aparat keamanan. Perjuadian di desa tersebut berjalan masif, seharusnya tidak sulit untuk diberantas, tapi terkesan diabaikan. Ditengerai ada oknum yang justru ikut memancing di air keruh. Tak Pelak warga yang suka berjudi bisa leluasa menyalurkan hobi judinya.Termasuk Bakat, meski belum cukup dewasa ia sudah mulai suka bermain judi.

Mereka melakukan judi konvensional, yaitu kartu ceki dan dadu kopyok. Di desa di mana Bakat tinggal, terdapat kelompok warga penyuka judi. Hampir setiap malam kerjanya hanya judi dan judi, seakan tiada hari tanpa judi. Bakat menjadi pemada desa yang hidupnya telah terkontaminasi dengan judi. Ia tidak sempat mengenyam pendidikan formal meski orang tuanya cukup kaya. Selain orang tua Bakat tidak memperhatikan pendidikan, masyarakat sekitarnya juga tidak mendukungnya.

Bakat dilahirkan di dalam keluarga petani yang kaya raya sehingga secara finansial tidak mengalami kekurangan. Orang tua Bakat memiliki puluhan ekor kerbau, sapi, kambing, serta puluhan hektar tanah ladang. Selain itu juga memiliki seperangkat gamelan dan wayang kulit. Warga desa sekitarnya menyebut orang tua Bakat sebagai keluarga yang terkaya di desanya.

Sayangnya kedua orang tua Bakat kurang memperhatikan masalah pendidikan terhadap anak-anaknya. Bakat dididik untuk bertani dan beternak, ia bebas bersosialisasi dengan lingkungannya. Namun karena kurang pengawasan dari orang tua, Bakat akhirnya terjerumus bebas bermain dengan kelompok penjudi di desanya.

Setelah dewasa Bakat mulai kecanduan main judi, hampir setiap malam ia mencuri waktu untuk judi dengan berpindah-pindah tempat. Bahkan bersama dengan kawannya Bakat sudah berani pergi ke tetangga desa hanya sekedar untuk berjudi. Kelakuan Bakat akhirnya diketahui oleh kedua orang tuanya serta adik-adiknya. Meski sudah diperingatkan berulangkali, Bakat tak mau mengindahkannya.

Pagi hari saat Pak Darmo, ayah Bakat mengeluarkan puluhan ekor kambing dari kandangnya, sempat kaget, karena jumlah kambingnya berkurang satu ekor. Pak Darmo mencoba menghitung jumlah kambingnya berulangkali dengan cermat, hasilnya tetap sama. “Satu ekor kambing jantan warna hitam tidak ada ke mana ya ?” Guman Pak Darmo dalam hati. Ia mencurigai, kambing yang hilang itu dijual oleh Bakat.

“Kat,… kamu tahu kambing jantan warna hitam kok gak ada ke mana ?” Tanya ayah Bakat curiga.

Bakat terdiam tidak berani menjawab pertanyaan dari ayahnya. Setelah didesak berulang kali baru dia mengaku bahwa kambing yang dimaksud ayahnya telah ia jual.

“Uang hasil penjualan kambing kamu pakai untuk judi ya !?” Sergah ayah Bakat dengan hati dongkol. Mendengar pertanyaan dengan nada keras dari ayahnya, Bakat kembali terdiam tak berkutik. Namun tidak ada rasa penyesalan pada dirinya, ia sudah benar-benar kalap terpengaruh oleh judi.

Kenakalan Bakat dalam keluarga semakin lama semakin menjadi-jadi, selain menjual kambing milik ayahnya ia juga berani mencuri perhiasan milik ibunya. Uang dari hasil menjual kambing dan perhiasan ibunya habis dipergunakan Bakat untuk berjudi serta berpoya-poya. Perlakuan Bakat sudah keterlaluan, membuat orangtuanya emosi dan suka marah-marah. Sehingga membuat suasana keluarga Pak Darmo menjadi tidak harmonis.

“Kamu sekarang sudah dewasa, saatnya kamu memikirkan untuk berkeluarga Kat.” Saran ayahnya kepada Bakat.

“Iya Pak,…. Tapi saya kan belum punya uang untuk biaya nikah. Apa Bapak mau menanggung semua biaya pernikahan saya nanti ?” Bakat balik bertanya.

“Sebagai orang tua, saya akan bertanggungjawab atas semua biaya yang dibutuhkan untuk pernikahanmu nanti. Bapak juga akan membuatkan rumah untuk keluarga barumu nanti.” Kemudian Pak Darmo cepat-cepat melengkapi ucapannya. “Dengan syarat, setelah menikah kamu harus berhenti berjudi.”

“Bagaimana, Ibu setuju kalo Bakat bisa segera menikah ?” Tanya Pak Darmo kepada Samiyem isterinya.

“Setuju Pak, biar Bakat belajar hidup mandiri. Dan yang lebih penting, agar bisa merubah kelakuannya.” Jawab Ibu Bakat dengan penuh harap.

Bakat akhirnya menyunting putri Kepala Dusun dari desa sebelah bernama Subekti. Setelah menikah keluarga Bakat tinggal di rumah baru pemberian dari ayahnya. Ia merasa nyaman hidup di desa, setiap hari bekerja sebagai petani mengolah sawah warisan dari orang tuanya. Di rumah yang baru itu Bakat didampingi oleh Subekti sebagai isteri setianya.

Setelah lima tahun berkeluarga dan telah dikaruniai seorang anak, penyakit lama Bakat kambuh lagi. Hampir setiap malam ia berpindah-pindah mendatangi tempat-tempat perjudian. Bahkan sempat beberapa hari tidak pulang ke rumah, sehingga isteri dan anaknya sempat kebingungan.

Akhir-akhir ini selain judi ceki dan dadu kopyok, Bakat mulai merambah melakukan judi online. Untuk Judol tentu membutuhkan uang yang banyak, dan untuk keperluan itu Bakat menjual sebagian ladang warisan dari orang tuanya. Kebiasaan Bakat semakin lama semakin tergila-gila dengan judi ceki dan judol. Isterinya sudah berulang kali memperingatkan agar berhenti berjudi, tapi Bakat seakan tutup telinga.

Pagi itu ketika isteri dan anak Bakat sedang terlelap tidur, dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Setelah pintu dibuka, ternyata di depan pintu berdiri seorang laki-laki yang tidak asing bagi Subekti, dia adalah Danu teman Bakat.

“Ada apa Mas Danu, masih pagi buta membangunkan saya ?” Tanya Subekti sambil menatap curiga.

“ma….ma…. maaf Mbak, ada kabar yang tidak menyenangkan.” Jawab Danu tergopoh-gopoh.

“Kabar apa ?”

“Anu…., Inna….. inna lillahi wainnaillaihi roji’un.” Keduanya berdiri di depan pintu yang telah terbuka, lalu saling pandang kemudian diam. Setelah mengusap kedua matanya, Subekti mempersilahkan Danu untuk masuk.

“Silahkan masuk, duduk dulu Mas Danu. Coba bicara yang jelas.” Pinta Subekti dengan perasaan cemas dan penuh tandatanya.

Dengan rasa takut, hati gundah, serta tubuh gemetar bercampur menjadi satu, Danu memberanikan diri melangkah masuk ruang tamu memgikuti perintah Ibu Subekti, lalu duduk di kursi tamu. Sejurus kemudian Subekti melanjutkan bicaranya. “Silahkan Mas Danu, ada kabar apa, sampaikan yang jelas.” Pinta Subekti sembari menatap wajah Danu dengan hati gundah.

Danu tidak langsung menjawab, ia menundukkan kepala, mulutnya seakan terkunci. Di hadapan Subekti Danu terdiam, tak sampai hati untuk menyampaikan kabar duka pagi itu. Tak pelak meneteslah air mata Danu. Subekti semakin penasaran, kemudian dengan nada lirih mendesak Danu untuk berterus terang.

“Ada apa katakan sejujurnya.”

“ Mbak…, Kang Bakat……”

“Ada apa Kakangmu ?”

“Kang Bakat….me…me…meninggal, huk…huk…,” Danu menangis sesenggukan.

Mendengar kabar dari Danu, istri Bakat tersentak bagai tersambar petir di siang bolong. Pandangan matanya menjadi gelap, kepalanya pusing berkunang-kunang. Ia seakan tak percaya atas kabar duka dari Danu tersebut, kemudian tubunya terkulai di kursi tamu. Tangispun pecah memenuhi ruang tamu. Sambil menangis sesenggukan Subekti minta penjelasan Danu, di mana keberadaan suaminya dan apa yang menyebabkan hingga suaminya meninggal.

Dengan ucapan terbata-bata, Danu menjelaskan kronologi kematian Bakat. Menurut keterangan dari Danu, yang malam itu secara kebetulan bersama dengan Bakat, bersama teman-temannya Bakat bermain kartu ceki. Awalnya permainan dengan rekannya berjalan biasa-biasa saja. Namun setelah tengah malam di antara mereka terjadi kesalahpahaman, hingga terjadi pertengkaran adu mulut.

Ketika menjelang pagi hari, -masih menurut Danu- cekcok berlanjut menjadi pertengkaran fisik. Bakat dilawan oleh tiga orang rekannya sehingga terdesak. Meski kondisi sudah terdesak Bakat terus berusaha untuk melawan, dan bersamaan dengan itulah satu di antara tiga orang yang melawan Bakat, dengan secepat kilat menghujamkan pisau tepat mengenai ulu hati Bakat.

“Saya sebenarnya sudah berusaha melerai namun sia-sia. Suasana di tempat perjudian malam itu menjadi gaduh, kacau, dan berantakan, terlebih ketika tubuh Kang Bakat bersimbah darah,” ujar Danu ketakutan.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Bakat tidak tertolong jiwanya, situasi pun menjadi makin tegang tidak menentu. Pagi itu mendung hitam kelam bergelayut seakan membersamai keluarga Bakat yang sedang dirundung duka. Subekti isteri Bakat seakan tak percaya, suaminya akan meninggalkan secepat itu. Terlebih hari-hari sebelumnya juga tidak ada firasat yang mencurigakan.

Secara psikologis Subekti merasa menanggung beban hidup yang amat berat. Karena meninggalnya Bakat sebagai korban dalam perjudian, sehingga tidak tertutup kemungkinan banyak orang yang mencibirnya. “Biarkanlah keluarga saya yang menanggungnya. Jangan sampai peristiwa yang memilukan ini terjadi pada keluarga saudara-saudara sekalian.

Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa suami saya. Saya mohon,… saudara-saudara saya,… berkenan secara ihklas memaafkan,… suami saya,” pinta Subekti terbata-bata. Tak mampu menahan isak dan tangis, ketika ia memberikan sambutan di hadapan para tekziin, yang kala itu jenazah Bakat akan diberangkatkan menuju peristirahatan yang terakhir. (*)

Semarang, 9 Juli 2025 



 
Top