SKEMA
(Sketsa Masyarakat)
Akmal Nasery Basral | Penulis/ Sosiolog
- Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 Kategori Sastrawan/ Budayawan Nasional
1/
Teater kekuasaan di tanah air menampilkan relasi dramatis antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo dalam satu dekade terakhir. Relasi yang bermula dari rivalitas ekstrem sebelum bermetamorfosis menjadi koalisi mesra yang mengalahkan romantisme pasangan bucin. Subplot beranak-pinak. Sebuah dramaturgi bertabur confetti kekuasaan dalam panggung sosiologi politik dengan skenario berlapis-lapis.
Rivalitas mereka dilahirkan dari dua Pilpres berapi-api (2014-2019) yang memecah basis dukungan pemilih secara ekstrem. Kemenangan Jokowi pada dua kontestasi mencerminkan pemilih dari kalangan menengah ke bawah (middle lower), baik dari sisi ekonomi dan pendidikan. Sementara Prabowo didukung kalangan menengah ke atas (middle upper). Struktur demografi piramida penduduk Indonesia, membuat Jokowi meraih keuntungan legitimasi elektoral dari mayoritas pemilih.
Kondisi rivalitas ini berubah menjadi rekonsiliasi dan kooptasi (2019-2024), setelah Prabowo dan partainya Gerindra bersedia merapat ke dalam pemerintahan. Jokowi bahkan datang ke kediaman Prabowo untuk memberikan undangan pelantikan, sebuah gestur politik yang dilihat sang jenderal sebagai bentuk “kenegarawanan”.
Padahal situasi ini merupakan mekanisme integrasi elit dengan fungsi ganda. Di satu sisi, terkooptasinya Gerindra menetralisasi kekuatan oposisi, menghilangkan hambatan legislatif, dan memastikan kelancaran jalannya pemerintahan Jokowi. Di sisi lain, terjadi pelemahan fungsi kontrol dan check and balances. Sehingga kepentingan nasional dimaknai lebih sebagai konsolidasi elit kekuasaan dengan bagi-bagi jabatan, bukan sebagai kompetisi ideologis berdasarkan etika politik nan elegan.
Ada tiga lensa sosiologi politik yang bisa digunakan untuk meneroka relasi kuasa Prabowo-Jokowi, yakni berdasarkan teori kooptasi dan integrasi elit, model patronase politik (patron-client), dan analisis oligarki dan kesinambungan rezim.
2/
Teori Kooptasi dan Integrasi Elit (Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Robert Michels), membingkai keputusan Prabowo dan Gerindra merapat ke Jokowi–setelah dua kekalahan berturut-turut–sebagai pilihan rasional (rational choice theory) untuk mendapatkan akses kekuasaan dan sumber daya negara. Perbedaan ideologis yang dikumandangkan selama masa kampanye menjadi tak lagi relevan. (Bahkan pada sebuah acara politik Prabowo berkelakar, “Kalau kalian mau belajar tentang kekalahan, saya orangnya.”)
Adapun Model Patronase Politik (James Scott, Steffen Schmidt, Laura Guasti), akan menempatkan Jokowi sebagai grand patron pasca-2019 yang meminta Prabowo di kursi Menteri Pertahanan–sebagai pembantunya. Posisi Prabowo dari seteru menjadi klien yang mendapatkan pasokan sumber daya anggaran dan legitimasi wewenang kementerian, serta peluang menuju jalan menuju kekuasaan selanjutnya. Ini tawaran menggiurkan. Dan seperti diperkirakan banyak pengamat politik, Gerindra menerima model patron-klien ini dengan senang hati.
Apalagi Jokowi kemudian menganugerahkan pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo. Penganugerahan ini memang berdasarkan usulan Panglima TNI dan disetujui Presiden, sesuai Undang-Undang. Namun tak mudah memercayai bahwa usulan ini murni datang dari Panglima TNI.
Maka dengan gunakan lensa sosiologi politik, hal ini merupakan afirmasi simbolis yang signifikan dari otoritas Jokowi. Pemberian ini secara politik memperkuat narasi hirarki kekuasaan di mana patron (Jokowi, Panglima Tertinggi) memberikan anugerah kepada klien (Prabowo, Menteri Pertahanan) pada momen penting sebelum masa transisi pemerintahan. Dus, simbolisme ini juga menegaskan pengakuan Prabowo terhadap otoritas Jokowi.
Sementara berdasarkan Analisis Oligarki dan Kesinambungan Rezim (Jeffrey Winters, Richard Robison, Vedi Hadiz), hubungan personal Jokowi-Prabowo berada bingkai kepentingan oligarki yang lebih luas. Keberlanjutan agenda strategis seperti hilirisasi dan IKN menjadi jauh lebih penting dibandingkan identitas personal dan peran presiden sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu, hubungan Jokowi-Prabowo terbaca sebagai upaya kolektif dalam memastikan kesinambungan agenda ekonomi strategis yang menguntungkan oligarki tetap terus berjalan.
3/
Pencalonan dan kemenangan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden pada Pilpres 2024 menjadi plot twist dalam teater kekuasaan ini. Sebuah manuver politik yang menjadikan Gibran sebagai jangkar kekuasaan (proxy) yang memastikan kesinambungan agenda rezim ayahanda.
Keberadaan Gibran di pucuk pimpinan eksekutif menggaransi agenda-agenda strategis warisan Jokowi terus berlanjut. Prabowo tak pilihan otonomi karena fakta bahwa kemenangannya sebagai Presiden 2024-2029 merupakan buah langsung dari kerja faksi kekuasaan dan koalisi besar rintisan Jokowi.
Akibatnya, mayoritas kursi di DPR memiliki imunitas struktural. Misalnya, kendati wacana pemakzulan (impeachment) terhadap Gibran tersebab dugaan pelanggaran etika konstitusional dalam proses pencalonannya, namun hambatan prosedural dan politik dari koalisi mayoritas legislator membuat upaya pemakzulan menjadi tak realistis selain hanya omon-omon belaka.
Soliditas mayoritas legislatitor membuat Prabowo jika berniat keluar dari jalur policy path dependency (kesinambungan agenda kebijakan) warisan Jokowi seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Cek Kesehatan Gratis (CKG), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan program swasembaga pangan, akan menemui hambatan serius dari koalisinya sendiri. Prabowo boleh mengaum menggelegar bak macan Asia, namun hanya di dalam kerangkeng sirkus saja. Diapresiasi namun tidak ditakuti.
Kelanjutan proyek seperti IKN (Ibu Kota Nusantara), program hilirisasi mineral dan sumber daya alam, menegaskan kesinambungan visi ekonomi jangka panjang yang telah dicanangkan oleh Jokowi. Kontinuasi kekuasaan juga terlihat dari retensi program strategis seperti digitalisasi BUMN yang bekerja sama dengan Amazon Web Services (AWS).
Jaringan birokrat dan manajer BUMN yang dibentuk Jokowi tetap dominan di pos-pos strategis. Prabowo hanya bisa menempatkan orang-orangnya di level komisaris, atau strategi rangkap jabatan yang malah menjadi blunder karena menciptakan kesan seolah-olah kurangnya SDM bermutu tinggi pada administrasi pemerintahannya.
Ini merupakan beberapa faktor yang membuat Prabowo terjebak dalam posisi klien struktural dari Grand Patron Jokowi. Sampai kapan? Hanya Prabowo yang bisa menjawabnya.
4/
Di sisi lain Prabowo juga menunjukkan usaha keras menjadi patron otonom. Ikhtiar keluar dari bayang-bayang Jokowi.
Analisis sosiologis politik menunjukkan pola pikir Prabowo dan Jokowi yang divergen. Prabowo dengan latar belakang militer memiliki pola pikir lebih asertif dibandingkan pendahulunya. Ia tidak ingin dipandang sebagai boneka kekuasaan, dan lebih tidak ingin lagi melihat adanya “dua matahari” dalam pemerintahan sekarang di mana dia secara de facto dan de jure sebagai Presiden. Prabowo akan membuktikan siapa patron sejati di puncak kekuasaan eksekutif. Cepat atau lambat potensi pecah kongsi Prabowo-Jokowi akan terjadi.
Transformasi Prabowo dari seorang perwira militer menjadi pemimpin pemerintahan disertai retorika populis yang resonan: “Demokrasi Santun.” Pentingnya etika, dialog, dan saling menghargai dalam proses politik, menjadi mantra utama.
Meski konsep ini berpotensi menurunkan tensi konflik, namun menimbulkan kekhawatiran munculnya lagi pembatasan kebebasan berpendapat kritis dan kembalinya praktik otoritarianisme. Para pengkritik menunjukkan bukti terbaru pengangkatan mantan Presiden Soeharto sebagai salah satu Pahlawan Nasional menunjukkan “Demokrasi Santun” sangat dipengaruhi dan menjunjung tinggi falsafah mikul dhuwur mendem jero.
Keberanian Prabowo lainnya yang tak sejalan dengan kepentingan faksi politik Jokowi—yang mendapat julukan informal ‘Gang Solo’–terlihat melalui pemberian abolisi dan amnesti kepada lawan politik Jokowi, seperti Tom Lembong, Hasto Kristiyanto, dan Gus Nur–terpidana ujaran kebencian ijazah Jokowi.
Prabowo mendeklarasikan kedaulatan dirinya sebagai presiden yang tak terikat dengan perseteruan Jokowi dengan lawan-lawan politiknya. Dengan mengampuni musuh-musuh Jokowi, Prabowo memisahkan kalkulasi politik dan loyalitasnya dari pengaruh sang patron lama dan berusaha menjadi patron baru yang otonom.
Ia pun menciptakan retorika manajemen fiskal melalui efisiensi anggaran besar-besaran, yang berhasil menghemat hingga Rp 71 triliun pada awal 2025. Klaim ini–terlepas dari efektifitasnya dalam pemerintahan yang baru satu tahun–berfungsi sebagai narasi disruptif. Secara implisit mengkritik manajemen fiskal era Jokowi. Prabowo ingin mengatakan kepada publik bahwa dirinya adalah patron baru yang lebih efisien dibandingkan pemerintahan Jokowi yang boros.
Gebrakan lain Prabowo adalah gaya kebijakan luar negeri yang lebih agresif di panggung global. Dari proposal rencana damai untuk Ukraina, Gaza, hingga keterlibatan lebih empirik di dalam BRICS. Kemampuan berbicara dalam sejumlah bahasa asing membuatnya percaya diri saat tampil di pelbagai fora internasional dan bersosialisasi dengan beragam pemimpin pemerintahan tanpa canggung. Ini salah satu hal yang paling membedakan dengan periode 10 tahun pemerintahan Jokowi.
5/
Dilema ambisi pribadi Prabowo untuk menjadi patron otonom (pemimpin mandiri) dengan realitas politik komitmen strukturalnya kepada faksi Jokowi (melalui Gibran dan jaringan koalisi parpol) hampir pasti akan memicu konflik faksional di dalam Kabinet Merah Putih. Rebutan posisi strategis dan pengaruh terhadap kebijakan publik hanya tinggal menunggu waktu.
Itu mulai terlihat pada ikhtiarnya merangkul PDI Perjuangan (PDIP), sebagai strategi membangun basis politik yang lebih luas, lebih kuat, dalam upaya menyeimbangkan kekuatan terhadap faksi Jokowi di dalam pemerintahan.
Namun untuk memahami lebih lanjut dinamika Dilema Prabowo, diperlukan studi lanjutan yang lebih fokus pada dimensi struktural dan implementasinya. Misalnya pada pergeseran kontrol terhadap sumber daya negara dengan menciptakan lembaga baru Danantara yang mempreteli kekuatan superpower Kementerian BUMN era Jokowi melalui Erick Thohir. Kini Erick “diparkir” sebagai Menpora, sebuah jabatan yang lebih populis namun tak menarik secara ekonomi.
Penelitian kebijakan publik yang cermat membutuhkan waktu setidaknya sampai akhir tahun kedua masa pemerintahan pada Oktober 2026. Pada saat itu, corak kepemimpinan Prabowo Subianto sudah bisa dipetakan sepenuhnya: apakah masih tetap dalam policy path Jokowi dan menjadi bayang-bayang abadi, atau Prabowo mampu menjadi pemimpin mandiri dengan visi pemerintahan yang berhasil menjadikan Indonesia sebagai Macan Asia sejati yang disegani kawan dan lawan di dalam dan luar negeri. (*)
Jakarta, 17 November 2025
*) Tanggapan atas tulisan jenis Esai & Puisi ini bisa dikirim ke e-mail: akmal.n.basral@gmail.com


