by bambang oeban | Penulis/ Pegiat Seni


WAHAI para hadirin sekalian, yang malam ini datang bukan karena ingin mendengar puisi, tetapi desir angin malam sedang sejuk, tikar balai RW lebih empuk daripada kasur rumah, dan karena lampu panggung terang sedangkan rumah sendiri tagihan listriknya belum dibayar. Aku berdiri di sini, di depan mikrofon yang bunyinya mendesis seperti ular kobra dikasih mic, membacakan puisi dengan suara lantang:

“Saudara-saudaraku!

Bangsa yang besar adalah bangsa yang…” Tapi belum selesai kalimatku, ibu-ibu di pojok sudah sibuk cerita harga cabe, bapak-bapak sibuk debat sepak bola melawan RT sebelah, anak muda sibuk scrolling video dance lima detik, dan panitia sibuk mencari colokan untuk charger handphone. Lalu aku bertanya diam-diam:

“Ini salah puisi saya, atau salah telinga bangsa ini yang makin tipis?” Tapi jangan buru-buru marah, aku tahu, aku ini penyair, bukan tukang hipnotis. Puisi memang bisa mengetuk hati, tapi tidak bisa meninju kepala. Tidak bisa memaksa orang mendengarkan kalau hatinya sedang dipenuhi cicilan dan harga beras naik.

Wahai Walikota, pejabat, siapapun yang kutemui di jalan dan mengaku peduli, aku ingin bertanya: “Untuk siapa sebenarnya puisi kebangsaan ditulis?” Untuk rakyat? Rakyat sedang capek. Untuk pejabat? Pejabat sibuk tanda tangan berkas. Untuk generasi muda? Generasi muda sedang cari sinyal. Untuk diriku sendiri? Ah, penyair mana yang mau dianggap egois.

Maka malam ini, aku berdiri di tengah masyarakat menengah ke bawah, yang perutnya harus kenyang dulu sebelum hatinya bisa dibuat bergetar. Aku membaca puisi tentang moral, nasionalisme, persatuan, tentang masa depan bangsa, tentang betapa pentingnya nurani dan demokrasi, tentang harga diri bangsa naik turun seperti grafik saham.

Tetapi, puisi itu terlalu tinggi di langit, sedangkan pendengar sedang sibuk menjaga dapur tetap berasap. Aku bicara tentang negara, mereka bicara tentang minyak goreng. Aku bicara tentang integritas pejabat, mereka bicara tentang berapa banyak sambel yang harus dibuat besok pagi. Aku bicara tentang pembangunan, mereka bicara tentang atap bocor.

Dan tiba-tiba aku sadar: bukan mereka yang salah, barangkali aku yang lupa turun dari panggung. Ada lelaki separuh baya, duduk dekat panggung, mengunyah kacang tanah pakai gaya serius, mengangguk-angguk padahal tidak mendengarkan. Ketika kusapa, dia bilang,

“Mas, puisinya mantap. Tapi saya kurang ngerti… Tadi Mas bilang ‘hegemoni’, itu makanannya di mana?”

Aku tertawa getir. Sejak kapan penyair ini lupa bahasa pasar? Sejak kapan kata-kataku mulai terdengar seperti diktat kuliah bukan jeritan hati manusia? Ada ibu-ibu yang menyaut, “Saya suka puisinya Mas, tapi kalau bisa jangan pakai istilah-istilah berat. Saya ini lulusan SD, bukan lulusan seminar filsafat.” Lalu ada pemuda yang menambah, “Kalo puisinya dibikin lucu dikit, mungkin kami bisa fokus, Mas. Tadi saya denger sebagian, bagus sih, tapi capek mikirnya.”

Wahai Tuhan, aku penyair pamflet kebangsaan, tapi yang kubacakan tadi ternyata pamflet seminar motivasi politik yang tidak dibutuhkan oleh rakyat yang ingin tidur cukup. Lalu aku berpikir, barangkali puisi tidak mati, tetapi penyairnya yang lupa hidup. Barangkali puisi tidak gagal, tetapi penyairnya lupa menunduk melihat tanah tempat kaki rakyat berpijak. Mungkin aku terlalu ingin terlihat gagah, terlalu ingin dianggap penting, hingga lupa bahwa puisi bukan untuk memamerkan otot kata, tetapi untuk menyambung cerita manusia.

Maka malam ini, aku menurunkan bahasaku, menurunkan egoku, menurunkan aku ke rakyat yang sesungguhnya. Biarlah puisi ini jadi jambatan, bukan tembok bertulisan indah yang tak bisa dipanjat. Wahai penonton yang sedang ngobrol, yang mungkin tidak tahu aku sedang membaca puisi, tenang saja, aku tidak marah.

Aku tahu hidup kalian penuh beban. Kadang hiburan malah jadi pengalih rasa lelah, bukan sebagai pelajaran. Aku tidak akan memaki, meski hatiku sempat ingin melempar mikrofon ke angkasa. Tapi penyair sejati tidak boleh tersinggung … meski penyair pun tetap manusia yang kadang ingin drama. Aku justru ingin bertanya:

“Apa yang sebenarnya kalian butuhkan dari sebuah panggung?” Apakah kalian ingin puisi yang bisa ditertawakan bersama? Ingin puisi yang bisa dijadikan status WA? Ingin puisi yang bisa memecahkan masalah dapur? Atau puisi yang membuat kita saling menatap dengan rasa lega? Jangan-jangan, kalian hanya ingin ditemani, bukan diajari. Jangan-jangan kalian ingin merasa dihargai, bukan dipasok kata-kata sulit seolah kalian tidak akan mengerti realitas negeri.

Maka, mulai malam ini, aku ingin menulis puisi yang: pedas seperti cabe rawit, jleb seperti nyamuk pas mati lampu, lucu seperti anak kecil salah sebut nama hewan, dan sejujur harga pasar yang tidak bisa bohong.

Puisi yang tidak perlu kursus untuk dipahami, tidak perlu kamus untuk dimengerti, tidak perlu gelar untuk dirasakan. Puisi yang bisa diteriakkan di pasar, dibacakan di warung kopi, dikunyah bersama gorengan, dan tetap punya harga diri.

Puisi yang bicara tentang:

jalan berlubang;

pupuk mahal;

bantuan salah sasaran;

pejabat selfie saat banjir;

rakyat tetap tersenyum meski hidupnya seperti sinetron sad ending;

dan bangsa yang besar karena rakyatnya tahan banting,

bukan karena posternya besar di pinggir jalan.

Wahai bangsa yang kucintai, aku ini penyair pamflet, bukan penyair menara gading. Aku ingin puisiku bernapas, bukan hanya berderet rapi seperti tentara upacara. Aku ingin puisiku membumi, bukan terbang setinggi angan pejabat yang janji kampanye masih disimpan di lemari. Aku ingin puisiku menggigit, bukan menguap seperti seminar yang terlalu panjang.

Dan kalau malam ini penontonku lebih senang ngobrol, biarlah itu jadi pelajaran paling jujur dalam hidupku: bahwa penyair harus mendengarkan sebelum didengarkan. Maka kepada para penyair yang merasa puisinya “sempurna”, padahal pembacanya tertidur, aku ingin berkata: “Mas, Mbak, mari kita turun ke tanah.”

Kalau rakyat tak paham, jangan salahkan rakyat dulu. Cek dulu kata-kata kita: apakah masih manusiawi, atau sudah seperti khutbah antarplanet? Kalau rakyat tak merespon, mungkin karena puisi kita tidak menyentuh isi piring mereka.

Bangsa ini tidak lapar teori, bangsa ini lapar keadilan dan nasi hangat. Kalau rakyat tidak tepuk tangan, bukan berarti puisi kita jelek, mungkin karena tangannya sibuk memikirkan berapa biaya sekolah anak bulan depan. Tapi aku tidak menyerah. Tidak boleh menyerah. Karena seorang penyair adalah saksi zaman, juru bicara hati bangsa, penjaga nurani ketika negara sedang mabuk kepentingan.

Kalaupun hanya satu orang yang mendengar puisiku, itu cukup untuk jadi lilin kecil. Dan kalau lima tahun lagi lilin itu tumbuh jadi api, bukankah itu lebih baik daripada ribuan orang yang hanya mendengar sekilas? Maka aku kembali membaca puisiku, kali ini dengan bahasa yang lebih lugas, lebih nakal, lebih jenaka, lebih pedas, lebih komunikatif.

Bahasaku bukan lagi “hegemonik”, tetapi “capek kerja tapi gaji segitu-segitu aja”. Bahasaku bukan lagi “dialektika sosial”, tetapi “uang bensin makin naik, jalan tetap bolong”. Bahasaku bukan lagi “stagnasi kebijakan”, tetapi “janji kampanye tinggal foto, realisasi entah kemana”.

Wahai rakyat, aku menulis puisi bukan untuk menakut-nakuti kalian dengan kata-kata aneh seperti alien akademik. Aku menulis puisi untuk kita tertawa bersama, menangis bersama, berteriak bersama:

“Bangsa ini bisa lebih baik kalau kita saling jujur!” Kalau pemerintah lupa melihat rakyat, biarlah puisi yang mengingatkan. Kalau rakyat lupa melihat harapan, biarlah puisi yang menerangi. Kalau dunia ini terlalu sibuk untuk berhenti sejenak, biarlah puisi menjadi rem. Dan kalau malam ini kalian baru sadar aku membaca puisi karena mikrofon tiba-tiba mendesis keras, tidak apa-apa. Tidak ada kata terlambat untuk mendengarkan.

Tapi aku juga tidak ingin terus-menerus mengeluh. Kritik sosial itu penting, tapi tanpa solusi, ia hanya jadi ocehan seperti status mantan. Maka biarkan aku menawarkan solusi, bukan sebagai pejabat, tapi sebagai penyair yang hatinya ingin melihat bangsanya bahagia.

Solusi pertama: Turunkan bahasa, naikkan empati. Beri rakyat kata-kata yang bisa dicicip, bukan yang membuat kepala pening.

Solusi kedua: Biarkan puisi menjadi bagian hidup, bukan benda museum. Bacakan di pasar, di terminal, di kantin sekolah, di depan warung kopi. Puisi harus hidup di keramaian, bukan hanya di panggung resmi.

Solusi ketiga: Ajak rakyat bicara sebelum bicara pada mereka. Biarkan mereka merasa terlibat.

Bangsa tidak dibangun oleh penyair saja, tapi oleh hati-hati yang saling mendengarkan.

Solusi keempat: Jangan pernah merendahkan penonton. Kalau mereka tidak mendengar, itu bukan dosa, itu sinyal bahwa kita harus memperbaiki cara bicara.

Solusi kelima: Jadikan humor sebagai jembatan. Bangsa ini sudah terlalu banyak beban, terlalu banyak pungutan, terlalu banyak sinetron sedih. Biarkan puisi menjadi tawa yang menampar manis. Dan malam itu, setelah pembacaan puisi, seorang bapak mendekat sambil garuk-garuk kepala, lalu berkata:

“Mas, puisi yang kedua itu saya ngerti. Yang pertama tadi, sumpah, pusing. Yang kedua, saya bisa ketawa, bisa mikir, bisa merasa.”

Aku tersenyum. Tidak perlu tepuk tangan meriah, cukup satu senyum rakyat, itu sudah lebih mulia daripada medali emas lomba cipta puisi nasional. Karena tujuan puisi bukan membuat penyair terkenal, tetapi membuat rakyat merasa tidak sendirian.

Dan malam ini, aku berdiri kembali di hadapan kalian, bukan sebagai penyair yang marah-marah, tetapi sebagai manusia yang ingin dekat.

Jika nanti kalian ngobrol lagi saat aku membaca, aku tidak akan tersinggung.

Tapi aku janji, aku akan menulis puisi yang membuat kalian berhenti sejenak, bahkan hanya tiga detik, untuk mendengarkan isi hati bangsa yang sedang kita bangun bersama. Puisi bukan lagi sekadar kata, tetapi alat untuk memanusiakan manusia. Dan kalau suatu hari nanti kalian bertanya:

“Mas Penyair, apa sih tujuan puisimu sebenarnya?”

Akan kujawab: “Agar kita tetap waras di negeri yang kadang lupa pada rakyatnya.” (*)

Dari Timur Bekasi Senin, 17 Nov 2025, 05.05



 
Top