JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terus berupaya menghilangkan konten-konten negatif yang beredar di internet. 

Menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Rosarita Niken Widiastuti, pihaknya telah memblokir sebanyak 778 akun palsu yang terindikasi menyebar konten negatif.

Saat ini, sering kali terlihat konten provokatif serta ujaran kebencian yang dapat menimbulkan konflik. Meningkatnya konten semacam ini sejalan dengan penggunaan internet yang juga semakin meningkat di Indonesia.

Niken mencontohkan, kerapnya muncul pemberitaan palsu di media sosial, seperti kasus Sarahchen, dengan informasi yang tidak bertanggung jawab. Ia menjelaskan, pemberitaan palsu mempunyai ciri khas yang bisa dideteksi.

"Ciri-ciri pemberitaan palsu itu biasanya bersikeras untuk menyebarkan suatu paham tertentu. Kemudian jika dilihat dari cara penulisannya memakai metode hypnowriting, jadi tulisannya itu dibuat menonjol dan terkesan untuk menekankan sesuatu," kata Niken, dalam Bimbingan Teknis SDM Penyiaran angkatan ke-30 yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di Jakarta, Selasa (28/8/2018).

Ia memaparkan, masyarakat menggunakan pola komunikasi 10 to 90 dalam bermedia sosial. Hanya 10 persen masyarakat yang memproduksi informasi, sedangkan 90 persen cenderung mendistribusikannya.

Untuk mencegah semakin maraknya penyebaran berita palsu, selain menutup 778 akun palsu, Kemenkominfo juga melakukan literasi digital dengan membuat kegiatan Generasi Positif Thinking dan Siberkreasi. Kegiatan tersebut diisi oleh 86 komunitas serta menggandeng beberapa lembaga agama, perguruan tinggi, badan pembinaan Pancasila dan tokoh masyarakat.

"Kemudian usaha Ketiga yang dilakukan, dengan memproduksi pemberitaan kontra informasi palsu secara akurat dari data dan fakta yang ada," kata dia melanjutkan.

Data dari Trust Barometer tahun 2018 mengatakan, banyaknya pemberitaan palsu di media sosial membuat kepercayaan masyarakat terhadap informasi di sumber tersebut menurun. Sementara itu, kepercayaan terhadap institusi pemerintah meningkat dari 65 persen tahun 2015 menjadi 73 persen pada 2018.

(rep/bin)
 
Top