PADA dasarnya humor adalah salah satu bentuk budaya yang bersifat universal. Setiap orang pasti memiliki rasa humor. Perbedaannya, ada orang yang memiliki rasahumor tinggi dan rasa humor yang rendah. 


Humor adalah suasana hati yang bersifat sementara, dikatakan sementara karena munculnya humor itu terjadi karena humor langsung terjadi.

Humor adalah sesuatu yang bersifat lucu yang dapat menggelikan hati atau rasa geli bagi yang mendengar maupun melihatnya. 

Humor itu tidak hanya bersifat sebagai penghibur saja, namun dalam penelitian humor juga memiliki ciri-ciri atau bentuk dan fungsi sendiri. 

Salah satu bentuk humor adalah berbentuk verbal dan nonverbal. Sedangkan fungsi humor tidak lepas dari fungsi bahasa itu sendiri. 

Ada 6 fungsi bahasa menurut R. Jacobson. 

1.   Emotive speech
yaitu bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan/menyatakan perasaan manusia (tuturan emosi/ekspresi diri). Contohnya : menyatakan emosi dalam lisan atau tulisan “aku gembira”.

2.      Phatic speech
yaitu bahasa yang digunakan dalam menyapa untuk memelihara hubungan sosial atau mempersatukan anggota masyarakat. Contohnya : berkomunikasi dengan seseorang menggunakan basa-basi untuk menjaga hubungan sosial antarmanusia.

3.      Cognitive speech

yaitu bahasa yang digunakan untuk menginformasikan sesuatu. Contohnya : saat dosen menjelaskan dalam kelas untuk menginformasikan ilmu mata kuliah tertentu.

4.      Rhetorical
yaitu bahasa yang digunakan dalam mempengaruhi atau memotivasi dan mengondisikan pikiran dan tingkah laku mitra tutur (orang yang diberi tuturan oleh penutur). Contohnya : saat dosen memberi nasihat disela-sela perkuliahan dan saat orang tua memberi motivasi kepada anaknya.

5.      Metalingual speech
yaitu bahasa yang digunakan dalam membicarakan bahasa/kode komunikasi dengan bahasa tertentu. Contohnya : ketika mahasiswa mempelajari bahasa (linguistik) dengan menggunakan bahasa Indonesia.

6.      Poetic speech
yaitu bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan nilai estetika (keindahan). Contohnya : mengungkapkan rasa kagum saat melihat keindahan karya misalnya lukisan, menulis atau membacakan puisi, dan menulis atau membaca cerpen, novel, cerkak, cermis, derung dan lain-lain.

Saat ini banyak sekali humor yang telah tersedia di media internet. Contohnya seperti cerita lucu, gambar lucu, pantun lucu, dan masih banyak lagi hal-hal yang berbau humor atau lucu.

Humor mungkin sudah ada sejak manusia mengenal bahasa, atau bahkan lebih tua. Humor sebagai salah satu sumber rasa gembira, mungkin sudah menyatu dengan kelahiran manusia sendiri. 


Jika dilacak asal usulnya, humor berasal dari kata Latin “umor” yang berarti cairan. Sejak 400 SM, orang Yunani kuno beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan di dalam tubuh, yaitu: darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy). 

Perimbangan jumlah cairan tersebut menentukan suasana hati. Kelebihan salah satu di antaranya akan membawa pada suasana tertentu. 

Darah menentukan suasana gembira (sanguine), lendir menentukan suasana tenang atau dingin (phlegmatic), empedu kuning menentukan suasana marah (choleric), dan empedu hitam untuk suasana sedih (melancholic). 

Tiap cairan tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam mempengaruhi setiap orang. 

Kekurangan darah menyebabkan orang tidak pemarah. 

Kelebihan empedu kuning menyebabkan jadi angkuh, pendendam, ambisius dan licik (Manser, 1989). 

Teori mengenai cairan ini merupakan upaya pertama untuk menjelaskan tentang sesuatu yang disebut humor. 

Namun demikian, ajaran yang disusun oleh Plato ini tampaknya sudah tidak ada hubungannya dengan pengertian umum di zaman sekarang ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, selama berabad-abad, lahirlah segala macam teori yang berupaya untuk mendefinisikan humor, yang mengacu pada artian humor seperti yang sekarang lazim dimaksudkan, yang ada hubungannya dengan segala sesuatu yang membuat orang menjadi tertawa gembira (Setiawan, 1990).


Perkembangan humor di Inggris sudah terlembaga sejak abad ke 16 (Calley, 1997). Pada masa tersebut terdapat penulis dan pemain teater humor yang sering disebut dengan pemain komedi. 

Komedian yang terkenal yaitu Ben Johnson, yang satu karyanya berjudul “Man Out of His Humor”. Karya tersebut memperlihatkan dua bentuk humor yang berbeda dalarn kehidupan, yaitu humor dalam kata-kata dan humor dalam tingkah laku. 

Abad ke 17 merupakan zaman yang sangat pesat bagi perkembangan humor di Inggris, terutama dalam hal teater komedi dan naskah humor. Teater komedi akhirnya menjadi tradisi masa selanjutnya. 

Pertengahan abad ke 18, teater humor bermetamorfosa menjadi satire. Sampai akhir abad ke 18, bentuk teater ini menjadi mode di seluruh daratan Eropa. Abad ke 19, humor di Eropa menentukan bentuk baru dalam wujud komik. 


Abad itu ditandai dengan munculnya berbagai macam komik humor dari Jeman, yang kemudian menjadi kegemaran seluruh daratan Eropa bahkan sampai ke daratan Amerika dan Asia. 

Di daratan Eropa dan sebagian Amerika, humor sudah dianggap menjadi bagian dari kehidupan (Gauter, 1988). Bahkan dianggap sebagai suatu seni yang setara dengan seni lainnya. 

Setelah peranan humor meningkat, terutama dalam komik dan komedi, setara satire, pada awal abad ke 20; humor memasuki era baru. Di awal abad itu humor sangat dominan dalam teater komedi dan film. Sampai saat itu media massa film masih merupakan ladang subur bagi kehidupan humor. Komedi dan satire tetap bertahan di kalangan tertentu. 

Charlie Chaplin, yang dilahirkan April 1889, adalah seorang komedian terkenal di dunia humor modern. Film yang dibintanginya memberi inspirasi yang besar sekali dalam perkembangan humor pada umumnya. 

Humor menjadi salah satu objek penelitian semenjak awal abad ke 20. Berbagai tulisan mengenai humor telah diterbitkan para ilmuwan dari berbagai cabang ilmu sosial, terutama dari perspektif psikologi (Hendarto, 1990). 

Di Indonesia, secara informal, humor juga sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat, seperti ludruk, ketoprak, lenong, wayang kulit, wayang golek dan sebagainya. Unsur humor di dalam kelompok kesenian menjadi unsur penunjang, bahkan menjadi unsur penentu daya tarik. 

Humor yang dalam istilah lainnya di Indonesia sering disebut dengan lawak, banyolan, dagelan dan sebagainya, menjadi lebih terlembaga setelah Indonesia merdeka, seperti munculnya grup-grup lawak Atmonadi Cs, Kwartet Jaya, Loka Ria, Srimulat, Surya Grup, dan lain-lain (Widjaja, 1993). 

Perkembangan lain terjadi pada media massa cetak, baik majalah maupun surat kabar. Tahun 60-an terbit beberapa majalah humor, namun tidak bertahan lama. Di antaranya adalah majalah STOP. Surat kabar membuka rubrik khusus untuk humor. Cerita-cerita lucu, anekdot, karikatur dan kartun sering dijumpai pada media massa cetak (Kusmartiny, 1993)

Menurut Sujoko (1982) humor dapat berfungsi untuk:
(1) untuk melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan gagasan atau pesan;
(2) humor dapat menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar;
(3) humor dapat mengajar orang melihat persoalan dari berbagai sudut;
(4) humor dapat menghibur;
(5) humor dapat melancarkan pikiran;
(6) humor dapat membuat orang mentolerir sesuatu;
(7) humor dapat membuat orang memahami soal pelik;

James Danandjaya (dalam Suhadi, 1989), mengatakan bahwa: “Fungsi humor yang paling menonjol, yaitu sebagai sarana penyalur perasaan yang menekan diri sese-orang. Perasaan itu bisa disebabkan oleh macam-macam hal, seperti ketidakadilan sosial, persaingan politik, ekonomi, suku bangsa atau golongan dan kekangan dalam kebebasan gerak, seks atau kebebasan mengeluarkan pendapat. Jika ada ketidakadilan biasanya timbul humor yang berupa protes sosial atau kekangan seks, biasanya menimbulkan humor mengenai “seks”.

Beberapa fungsi humor yang sejak dulu sudah dikenal masyarakat kita antara lain, fungsi pembijaksanaan orang dan penyegaran, yang membuat orang mampu memusatkan perhatian untuk waktu yang lama. Fungsi itu dapat kita amati di dalam pertunjukan wayang, dimana punakawan muncul untuk menyegarkan suasana.

Humor punakawan biasanya mendidik serta membijaksanakan orang (Hendarto, 1990). 

Dari keterangan di atas dapatlah dijelaskan bahwa penyaluran ketegangan lewat humor sangat positif, karena membawa kesejahteraan jiwa.

Jika semua perasaan tidak puas dan ketegangan yang dialami tidak disalurkan, maka akan membawa bencana, tidak hanya bagi yang memendam, tetapi juga untuk orang lain atau masyarakat sekitarnya. 

Sujoko (1982) mengemukakan bahwa di Indonesia kalangan mahasiswa gemar menggunakan humor sebagai sarana kritik sosial. Kegemaran ini menunjukkan bahwa mahasiswa adalah personal yang sedang dididik untuk menjadi manusia yang kritis, serta harus bersikap skeptis, sehingga jalan pikirannya akan menjadi ilmiah, tidak begitu saja menerima semua yang dihidangkan. Dengan ditanamkannya sikap ini, maka tidak heran apabila mereka akan protes bila melihat orang yang seharusnya menjadi penuntun mereka, malah menyeleweng atau membuat terobosan seenak hatinya, serta bersifat munafik (Sumarthana, 1983). 

Sangat beralasan jika mereka (mahasiswa) memilih humor sebagai media protes sosial, sebab media ini paling sesuai dengan kepribadian tradisional bangsa kita yang tidak suka dikritik secara langsung. Dengan adanya sikap ini, maka di negara kita, protes tidak langsung mempunyai pengaruh yang lebih ampuh dibandingkan dengan protes yang langsung. 

Kritik yang disampaikan secara tertulis sering menimbulkan bencana, berbeda jika kritik disajikan dalam bentuk humor. 

Protes sosial dalam humor tidak mungkin ditanggapi secara serius, karena yang menyuarakan sama sekali tidak bertanggungjawab. Tanggung jawab dalam protes sosial berupa humor sudah diambil kolektif; sehingga kolektifanlah yang bertanggung jawab. 

Sementara itu Jatiman (dalam Suhadi, 1989), Sosiolog dan staf pengajar UI mengatakan bahwa: “Disamping sebagai sarana kritik sosial, adakalanya humor juga dibuat sebagai alat aktualisasi diri. 

Dalam lingkungan tertentu, segolongan orang yang tidak berdaya untuk melemparkan kritik langsung, mencoba melakukannya dengan menciptakan humor tentang yang bersangkutan”. 

Fungsi humor yang lain adalah sebagai rekreasi. Dalam hal ini, humor berfungsi untuk menghilangkan kejenuhan dalam hidup sehari-hari yang bersifat rutin. Sifatnya hanya sebagai hiburan semata. Selain itu humor juga berfungsi untuk menghilangkan stres akibat tekanan jiwa atau batin (Setiawan, 1990). 

Emil Salim (dalam Suhadi, 1989) berpendapat bahwa, “Selain merupakan salah satu cara untuk menyampaikan kritik, juga merupakan bagian dari proses menjalin komunikasi sosial antara manusia. 

Untuk komunikasi yang sifatnya serius, pesan-pesan yang akan disampaikan biasanya tidak mudah terjalin antara kedua belah pihak. Jika pertemuan merupakan pertemuan baru, maka medium humor dalam tahap komunikasi akan mempercepat terbukanya pintu keakraban”. 

Bahkan Kartono Muhamad (dalam Suhadi, 1989) berpendapat bahwa; “Humor yang baik adalah humor yang dapat mentertawakan diri sendiri, atau humor otokritik. 

Meskipun membuat diri pribadi sakit hati, humor otokritik merupakan sesuatu yang menunjukkan kedewasaan sikap. Artinya, mampu memberi kritik terhadap diri sendiri, serta dapat pula secara terbuka menerima opini orang lain”.

Pada akhirnya, untuk menjadikan humor yang “baik”, harus melihat situasi dan kondisi.

Humor dilakukan dengan tidak terlalu berlebihan, agar “mutu” humor tetap terjaga. Humor sebagai sarana komunikasi sosial diharapkan dapat dipahami dan diterima oleh berbagai ragam individu.

#redaksi sumatrazone
#rangkuman dari berbagai sumber





 
Top