Cerpen Fanny J Poyk


SETELAH bercerai selama sepuluh tahun, Mirna tak pernah berjumpa lagi dengan mantan suaminya. Dia tahu sang suami sudah menikah lagi dengan seorang gadis yang masih berusia di bawah umur. Mirna juga tahu bekas suaminya membawa lari gadis itu ke luar kota dan dia masuk penjara selama beberapa bulan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun selepasnya dari penjara, suaminya diharuskan menikahi gadis itu karena sudah terlanjur hamil.

Selama sepuluh tahun berpisah, hanya kisah di atas yang sempat didengar Mirna. Setelah itu, cerita tentang mantan suaminya seolah lenyap ditelan bumi. Janda tanpa anak yang sudah berusia sekitar tiga puluh lima tahun ini, kemudian mengepakkan sayapnya, hidup merdeka terlepas dari beragam tekanan menjadi istri Yono, nama suaminya. Ia melenggang bak janda ranum dengan segala pesona ragawi yang melekat di dirinya. Ia pacaran lalu putus, sempat menikah siri namun setelah tahu suami nikah sirinya hampir sama karakternya dengan sang mantan suami pertama, kerap melakukan KDRT dan pemalas dan hanya semangat bila membaca puisi, maka Mirna mendepak laki-laki itu.

Menikah siri yang terlalu cepat, akhirnya berakhir secepat lintasan waktu yang bergulir. Mirna memutuskan untuk tidak menikah lagi. Kenangan atas dua lelaki yang pernah menikahinya, bukan lagi menjadi cerita indah yang patut untuk diingatnya. Ia berniat kembali ke desanya, memutuskan mengurus kebun pala, cengkeh dan kelapa milik ayahnya sembari menanam tanaman lainnya seperti ubi, singkong, bawang, cabai, tomat dan sayur-sayuran.

Perubahan yang drastis memang. Dari seorang pemain teater, guru Bahasa Inggris honorer di sebuah Sekolah Menengah Atas swasta, memutuskan pulang ke kampung, meninggalkan riuhnya kehidupan seniman dan komunitasnya yang tak pernah sepi mengisi berbagai acara seni di pusat seni Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Keputusan yang patut diacungkan jempol.

“Kau yakin akan meninggalkan semua ini?” Tanya Darta, teman sesama pemain teaternya.

“Yakin. Aku sudah bosan dengan keadaan yang itu-itu saja. Banyak kekecewaan yang kudapatkan di sini, di Jakarta ini. Usiaku berjalan menua dengan kesalahan langkah yang sudah kulakukan. Mumpung tubuhku masih bugar, aku harus pulang, pulang untuk menjadi seorang petani.” Kata Mirna serius.

Rencana itu Mirna kabarkan pada ayahnya, seorang tuan tanah kaya di Pulau Morotai. “Pulanglah, nanti sekalian Bapak carikan kau lelaki baik yang polos dan rajin bekerja, bukan seperti mantan suami-suamimu itu," ujar ayahnya melalui WhatsApp. 

Tampaknya teknologi yang maju pesat telah merambah ke desa tempat tinggal sang ayah. Pria berusia enam puluh lima tahun itu selalu mengikuti perkembangan zaman.

Mirna tertawa getir. Ia teringat akan kampung halamannya, sebuah pulau yang terletak di tengah lautan Pasifik, pulau dengan kekayaan rempah-rempah seperti cengkeh, pala dan juga kelapa. Pulau dengan jutaan ikan segar yang berenang merdeka di lautan nan jernih dan bebas polusi.

Di sana ia tidak pernah kekurangan, hidupnya bahkan sejahtera, alam mencukupi semuanya. Sejak dulu sang ayah meminta dia untuk tidak meninggalkan kampung halamannya. Menikah dengan pria baik-baik yang berasal dari desa yang sama. Namun, ia menentang semua keinginan ayahnya. Lelaki bernama Badri yang pernah dijodohkan ayahnya, telah membuat jiwa pemberontaknya mencuat naik. “Aku tak suka dia, Ayah,” katanya waktu itu.

“Kenapa?” tanya sang ayah.

“Dia terlalu patuh, tidak punya pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan maju untuk menerobos masa depan,” sahut Mirna.

“Maksudmu?”

“Dia bodoh. Tidak cerdas. Aku tidak suka lelaki bodoh yang hanya pasrah dengan kehidupan yang itu-itu saja, tidak inovatif," tandas Mirna.

Tak butuh waktu yang lama, cukup tiga bulan setelah peristiwa perjodohan itu, Mirna lenyap. Dari Jakarta tempatnya untuk menetap, ia mengirim pesan singkat melalui WA pada ayahnya, menyatakan bahwa dia sudah menikah dengan Yono, penyair asal Semarang yang pernah membuka sanggar seni di Pulau Morotai. 

Sang ayah tidak tahu seperti apa sosok Yono. Rasa kecewa yang teramat sangat akhirnya menggiring tubuh ayahnya pada satu titik di mana penyakit yang tak diminta datang dengan perkasa. Stroke ringan menyerangnya. Penyakit itu berbaur dengan rasa kecewa dan sedih yang teramat dalam. Mirna yang di matanya lugu dan belum mengerti seperti apa dunia sesungguhnya, ternyata lihai dalam merancang strategi pelarian bersama si seniman yang mengaku punya profesi khusus, yaitu penyair. 

Berbulan-bulan ayahnya meratapi kepergian putrinya, anak perempuan satu-satunya yang selalu menjadi juara di sekolahnya dan baru pula menapaki jejaknya sebagai mahasiswi Biologi di Universitas Pasifik, Morotai. Mengapa? Tanya itu terus bermain di dalam tempurung kepalanya.

Mirna menghapus air mata yang turun ke pipinya. “Aku telah salah langkah, mengikuti egoku yang bersembunyi di dalam libido terselubung tentang laki-laki itu. Setelah kami menikah, aku yang banting tulang untuk semuanya, termasuk kebutuhan hidupnya. Semua pekerjaan kasar telah kulakukan, mulai dari babu cuci pakaian, membersihkan rumah-rumah tetangga, memberikan les matematika dan Bahasa Inggris jam-jaman, hingga menjadi tukang pijat refleksi yang berlokasi di sebuah mal. Satu yang selalu kutolak, aku tidak mau menuruti permintaannya untuk melayani para lelaki hidung belang agar kami mempunyai uang yang banyak. Itu permintaan seorang psikopat," pikir Mirna. "Masak istri disuruh jual diri?". 

Tak pernah sekali pun kukirim kabar ke ayahku di Morotai tentang keberadaanku. Tapi sekarang, aku lelah, aku harus pulang. Suami pertamaku yang jahanam itu, mau kembali datang ke kehidupanku. Ia berjanji akan meninggalkan isteri dan satu anaknya yang telah lima tahun ia nikahi. Katanya dia masih sangat mencintaiku. "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada seorang perempuan yang baru dikenalnya di sebuah pementasan drama berjudul Pintu Tertutup karya filsuf Sartre di Taman Ismail Marzuki.

“Jangan gubris permintaannya,” kata perempuan itu. “Nanti kau akan dijadikannya sapi perah kembali.

Menurutku, seniman seperti itu hanya mementingkan egonya, dia pandai merayu, setelah kau terjebak lagi dalam rayuannya, maka kau akan kembali masuk di dalam perangkapnya dan kembali dijadikan mesin ekonomi untuk menunjang kehidupannya.

Dia akan tetap berada di lingkungannya, nongkrong di sana dan bicara ke sana dan kemari dengan khayalan yang membumbung tinggi. Setelah rokoknya habis, rasa lapar mendera, dia akan pulang ke rumah, menuntutmu untuk memberikannya makan dan uang, lalu kembali ke komunitasnya yang sama, berbicara muluk-muluk seolah dia seorang pujangga ternama, dia akan selalu hidup dalam imajinya. Lupakan dia, lebih baik kau ikuti kata hatimu, pulang kembali ke Morotai dan ikuti apa yang diinginkan ayahmu. Setiap orang tua pasti memiliki naluri yang positif untuk kebahagiaan anak-anaknya," ujar perempuan itu.

“Kau sendiri, bagaimana alur kehidupanmu?” tanya Mirna.

“Mirip sepertimu. Aku kabur dari suamiku yang penipu itu. Sebelum menikah dia mengaku sebagai kontraktor swasta, setiap hari pergi ke kantor, namun ketika masa gajian tiba, dia bilang gajinya sudah habis dipotong untuk bayar hutang-hutangnya. Ternyata pekerjaannya cuma membacakan puisi-puisi orang lain. Dia sendiri tidak pernah membuat puisi," kata perempuan itu.

Mirna menatap langit biru dengan warna tak lagi cerah akibat polusi. “Nasib kita hampir sama, dipermainkan oleh jalan hidup yang kita pilih sendiri. Ternyata, kebahagiaan yang kita impikan tak selalu seiring sejalan dengan kenyataan. Kita terlalu terpukau pada raga dan kata-kata yang puitis, namun kenyataannya itu semua cuma berupa bualan kosong tanpa isi.”

“Ya, kisah kita mirip. Maaf, boleh kutahu siapa nama suamimu?” Tanya perempuan itu.

“Yono.”

Keduanya kemudian saling tatap. “Yono?” tanya perempuan itu lagi. “Lho suamiku juga bernama Yono. Boleh kutahu apa pekerjaannya dan bagaimana sosoknya?” tanyanya lagi.

Ketika Mirna menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan suaminya, perempuan itu terdiam sejenak. “Kamukah yang bernama Mirna?” selidiknya dengan mimik serius.

“Iya,” sahutnya.

Kedua perempuan itu saling tatap. Mereka tertawa hingga mengeluarkan air mata.

“Kamu Nurjanah, kan?” Mirna juga menatapnya tajam. Dia tahu nama itu dari suratkabar. Gadis yang dibawa lari Yono mantan suaminya. “Bagaimana keadaan Yono sekarang?” tanya Mirna.

“Terakhir kudengar dia diusir oleh istrinya yang baru. Kedoknya terbuka, ternyata dia hanya numpang hidup di rumah istri barunya itu.” jelas Nurjanah.

Itu pertemuan yang terjadi tanpa disengaja. Seminggu kemudian, Mirna menerima WA dari Nurjanah, bunyinya demikian, “Kak atas nama kemanusiaan, mari kita bantu mantan suami kita, sekarang dia menderita tuberkolosis dan hidup menggelandang dari satu emperan toko ke emperan toko lainnya.”

Mirna menatap lautan Pasifik dengan bunyi deburan ombak yang menghantam tubir pantai. Ketika WA-nya berbunyi kembali, ia membaca pesan yang terkirim dari Nurjanah, “Mantan suami kita sudah tiada, Kak…”

Mirna mengucapkan selamat jalan untuk Yono. Di benaknya ia masih terkenang akan gaya sang mantan suaminya kala membacakan puisi ciptaan penyair kondang Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Mentera, di saat sang suami membacakan puisi itu, gesturnya persis seperti sang penyair yang menjadi idolanya itu. Dan Mirna juga terkenang akan ucapan suaminya, “kelak aku ingin terkenal seperti penyair pujaanku, Bang Tardji,” Yono menyebutkan nama singkat sang penyair terkenal itu.

Ah Yono, kau tak cocok jadi penyair, kau lebih berguna menjadi petani sepertiku, kata Mirna di dalam hati, Ia memandang langit dengan warna biru penuh gradasi. Inilah puisi karya penyair top itu yang sering dibacakan Yono sang mantan suami :


MANTERA


lima percik mawar

tujuh sayap merpati

sesayat langit perih

dicabik puncak gunung

sebelas duri sepi

dalam dupa rupa

tiga menyan luka

mangasapi duka


puah!

kau jadi Kau

Kasihku


Sutardji Calzoum Bachri


Tamat


Biodata Singkat: Fanny J Poyk lahir di Bima 18 November, dia pernah menjadi jurnalis dan memberi pelatihan kepenulisan di seluruh Indonesia juga luar negeri. Aktif menulis cerpen, cerpen anak, puisi, dan novelete sejak tahun 1973-an.

Cerpen-cerpen dan noveletenya dimuat di Majalah Sarinah, Famili, Kartini, Puteri Indonesia, Horison, suratkabar Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Suara Karya, Kompas, Singgalang, Timor Expres, Republika, Jawa Post, Bali Post, Expres Daily, Malaysia, Dalang Publishing, Amerika, dll.




 
Top