Mohammad Medani Bahagianda

(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!


DI BALIK sapaan hangat dan senyum ramah warga Lampung, tersimpan nilai luhur yang menjadi pedoman dalam bertindak dan berinteraksi: Pi’il Pesenggikhi. Falsafah ini bukan sekadar teori adat, melainkan napas dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat seseorang bergaul dalam masyarakat.

Apa Itu Pi’il Pesenggikhi? Pi’il Pesenggikhi adalah pandangan hidup masyarakat Lampung tentang harga diri, rasa malu yang terhormat dan tanggung jawab dalam pergaulan sosial. Nilai ini menuntun warga Lampung agar senantiasa menjaga martabat diri, keluarga dan komunitasnya.

Bagi orang Lampung, menjaga Pi’il Pesenggikhi berarti tidak melakukan hal yang mempermalukan atau merendahkan dirinya maupun orang lain. Falsafah ini tertanam sejak kecil melalui didikan orang tua, pergaulan, dan kegiatan adat.

Dalam Kehidupan Sehari-hari: Menjaga Ucapan dan Tindakan

Di kampung-kampung di Pesawaran, Tanggamus, atau Lampung Barat, kita bisa melihat penerapan Pi’il Pesenggikhi dalam kehidupan warga. Contohnya, seorang pemuda tidak akan berkata kasar kepada orang tua, meskipun berbeda pendapat. Menghormati orang lain, apalagi yang lebih tua atau tokoh adat, adalah wujud Pi’il Pesenggikhi.

Bahkan dalam bergaul antartetangga, warga akan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan atau menjatuhkan martabat orang lain. “Malu membuat malu keluarga”, begitu kira-kira prinsip yang dipegang erat.

Peran dalam Perkawinan dan Acara Adat

Saat melamar calon pasangan, keluarga pihak pria biasanya menunjukkan sikap sopan, menghormati tata krama, dan membawa “serah-serahan” sesuai adat. Ini bukan sekadar tradisi, melainkan bentuk menjaga Pi’il Pesenggikhi agar keluarga besar dianggap terhormat dan pantas.

Demikian pula dalam acara seperti begawi (pesta adat), warga berlomba menampilkan yang terbaik, dalam pakaian adat, tutur kata, hingga sajian makanan. Bukan untuk pamer, tapi sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu dan menjaga kehormatan diri dan komunitas.

Menghindari Perilaku Memalukan

Dalam falsafah Pi’il Pesenggikhi, korupsi, menipu, mencuri, bertengkar di depan umum, atau berkata kotor adalah perbuatan yang sangat memalukan, karena mencoreng nama baik keluarga dan adat. Maka, banyak orang tua di Lampung mengingatkan anak-anaknya dengan petuah: “Jaga Pi’il-mu, jaga malu-mu.”

Jika seseorang melanggar norma sosial, maka sanksinya bukan hanya teguran, tapi bisa dikucilkan secara sosial. Di sinilah nilai sosial Pi’il Pesenggikhi menjaga ketertiban masyarakat.

Mengangkat Martabat dengan Berprestasi

Sebaliknya, warga Lampung yang berprestasi di sekolah, sopan di masyarakat, dan aktif dalam kegiatan sosial dianggap sebagai teladan. Ia membawa nama baik keluarga dan marga. Karena itu, banyak orang tua mendidik anak mereka dengan serius agar “Pi’il”-nya tinggi, bukan sombong, tetapi terhormat.

Pi’il Pesenggikhi sebagai Penjaga Harmoni

Di tengah perubahan zaman dan pergaulan modern, Pi’il Pesenggikhi tetap menjadi penuntun etika sosial warga Lampung. Ia mengajarkan kita untuk rendah hati, menjaga ucapan, bertanggung jawab, dan menghormati sesama.

Dalam adat Lampung, kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri. Kita membawa nama keluarga, marga, dan kehormatan leluhur. Karena itu, Pi’il adalah pelindung marwah dalam pergaulan. (*)




 
Top