PADANG -- Kartu kompetensi bukan "kartu sakti" yang membuat wartawan bisa seenaknya melanggar kode etik jurnalistik (KEJ). Demikian kira-kira analogi dari penegasan Dewan Pers, bahwa wartawan, meskipun telah memegang kartu kompetensi sekalipun, tetap saja tak luput dari sanksi tegas bilamana ia terbukti melakukan pelanggaran fatal KEJ. 

"Ketika ada laporan bahwa wartawan melakukan plagiat, berita bohong atau "hoax", kloning dan suap, memeras narasumber serta sederet pelanggaran kode etik jurnalistik (KEJ) fatal lainnya, maka tak ada ampun. Dewan Pers pasti mencabut kartu kompetensinya!, tegas Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Anthonius Jimmy Silalahi, di hadapan puluhan wartawan peserta seminar Bakti untuk Negeri dengan tema besar “Penguatan dan Pemberdayaan Ekosistem Pers melalui Ketersediaan Telekomunikasi dan Informasi" di Padang, Kamis (6/9/2018). 

Jimmy lebih lanjut menekankan bahwa sanksi tegas Dewan Pers berlaku sama, baik terhadap wartawan pemegang kartu kompetensi tingkat muda, madya maupun utama. Pencabutan kartu kompetensi wartawan terjadi tidak serta merta, berangkat dari temuan atau laporan masyarakat kepada Dewan Pers. 

"Kami pasti memantau, bahkan lewat pengaduan masyarakat sesuai UU Pers, wartawan pemegang kartu kompetensi bisa direkomendasikan kartunya dicabut," ujar Jimmy. 

Sesuai kadar tindak pelanggaran KEJ, jika kategorinya sangat berat, maka wartawan bisa dicabut kartu kompetensi sekaligus tidak bisa ikut uji kompetensi untuk selamanya. Jika kategorinya di bawah itu, maka wartawan bisa dicabut kartu kompetensinya  dan bisa ikut ujian lagi dua tahun setelah sanksi dijatuhkan.

Evaluasi, menurut Jimmy, juga dilakukan Dewan Pers terhadap perusahaan pers terverifikasi Dewan Pers.

“Bagi media lolos verifikasi Dewan pers, tapi dalam prakteknya tidak memenuhi kriteria perusahaa pers, seperti tidak menggaji wartawan sesuai standar, dilaporkan, kalau perusahaan verifikasi maka kita rekomendasikan dicabut,” ujarnya, diperkuat anggota Dewan Pers Imam Wahyudi.

Kompetensi wartawan, tambah Imam, dilakukan Dewan Pers beranjak dari Piagam Palembang yang semangatnya demi marwah jurnalistik.

Sedangkan soal kemerdekaan pers dan hak jawab sebagaimana diatur UU Pers, kata Imam Wahyudi tidak serta merta harus dipenuhi kalau ada sengketa dugaan pidana karya jurnalistik.

“UU Pers bukan lex specialist, tapi UU Pers sama kedudukannya dengan UU  lain, sehingga untuk antisipasi kriminalisasi jurnalistik, Dewan Pers melakukan MoU dengan lembaga penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung,” ujar Imam Wahyudi pada diskusi yang dipandu Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumbar, Jhon Nedi Kambang.

(tsc/ede)
 
Top