ADA suatu kenyataan yang ironis. Di dalam sebuah masjid, di dekat tempat orang-orang shalat, terpampang tulisan mencolok “Titipkanlah barang–barang Anda di tempat penitipan. Di sini rawan terjadi pencurian”. 

Biasanya, peringatan serupa ini “Awas copet!”, “Awas pencuri!”, ditempel di dalam angkotan dan bis kota, terminal bis, stasiun kereta api, tempat-tempat perbelanjaan, tempat kerumunan padat, atau toilet (wc) umum. 

Masjid idealnya berfungsi sebagai tempat ibadah bagi umat muslim, tempat di mana semua kaum muslim dari berbagai strata datang menjadi setara karena satu tujuan, yaitu mendekatkan diri dengan Allah Swt. Namun, kenyataannya yang terjadi sekarang, masjid sebagai tempat ibadah yang suci itu tidak secara otomatis menjadi tempat aman dari pencurian.

Dalam sebuah hadits Nabi (HR. Muslim dari Abu Hurairah) pernah dinyatakan bahwa tempat paling mulia adalah masjid, sedangkan tempat “terburuk” adalah pasar. Itu karena masjid diidealkan dalam hadits tersebut sebagai tempat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sedangkan, pasar diasumsikan sebagai tempat di mana sering terjadi pencurian, kecurangan, perkelahian dan berbagai tindak kejahatan. Itu “jarak” antara pasar dan masjid. 

Akan tetapi, masjid dan pasar sekarang tidak seindah dan seburuk penggambaran Rasulullah ketika dulu.  Kini fungsinya bisa bergeser dan bertukar.

Fakta bahwa masjid kerap jadi sasaran aksi pencurian -- mulai sekadar sandal jepit, sepatu, tas, arloji, hingga barang-barang mahal, seperti ponsel dan perhiasan -- tak semata terjadi di kawasan keramaian seperti pasar dan sejenisnya, namun juga menyasar masjid-masjid di kawasan khusus seperti komplek-komplek perumahan bahkan di masjid-masjid kampus perguruan tinggi Islam. Mirisnya lagi, dari sederet kasus, aksi-aksi tak terpuji itu justru dilakukan oleh muslim terhadap saudaranya seiman yang sedang melaksanakan beribadah di masjid. Sebaliknya, pasar yang dikatakan paling buruk, bisa menjadi lebih baik. Sebuah pasar modern yang “aman”, baik dalam pengertian keamanan transaksi dan aman secara fisik dari kriminal, tidak seburuk penggambaran itu. Tidak mustahil, fungsi kedua tempat berbeda ini bertukar. 

Tidak mustahil jika pencurian di masjid dianggap sebagai suatu yang umum dan biasa terjadi, akhirnya, melebar ke tindakan-tindakan lebih ironis. 

L Craig Schoonmaker, seorang gay Amerika, yang pernah mempopulerkan istilah “Gay Pride” (1970) menulis tentang alasan hengkangnya Bashir Muhammad Akinyele dari “Nation of Islam” (NOI, Ummat al-Islam), sebuah kelompok keagamaan yang didirikan Wallace Fard Muhammad 1930 di Detroit, Michigan, dan United States, karena skandal seks yang pernah dilakukan oleh fungsionaris kelompok ini terjadi di Masjid No. 25 (Muhammad Mosque) di antara masjid-masjid yang pernah didirikan di Amerika oleh Louis Farrakhan, presiden (sejak 1978) kelompok keagamaan ini. Isu Schoonmaker ini mungkin saja lebih bersifat “politis” karena Farrakhan sangat anti kalangan gay. Terlepas dari kebenarannya, setidaknya ini menjadi cambuk bagi umat Islam untuk memelihara kebersihan masjid dari berbagai tindak a-moral. Sebaliknya, tidak mustahil juga, pasar  yang “bersih” (dari unsur kecurangan) lebih mulia.

Lagi-lagi Soal Mentalitas?

Fakta ironis di atas itu hanya seperti “jendela” kecil dari tumpukan problem di kalangan kaum muslim, kita semua. Seperti fenomena gunung es. Yang muncul dan yang terlihat hanya permukaannya, tapi persoalan sesungguhnya tertanam kokoh di dasarnya, jauh lebih kompleks. Ini hanyalah buntut dari persoalan-persoalan lebih mendasar yang dihadapi kaum muslim. Jika kita kembali ke soal pencurian di masjid, mengapa hal itu sampai terjadi?

Pertama, jawaban yang umumnya sering dilontarkan oleh kebanyakan orang adalah persoalan mentalitas. Atau dengan ungkapan, persoalan pemahaman keagamaan. Ada yang hilang dari pemahaman keislaman kita selama ini, tidak utuh alias parsial. Orang menganggap bahwa pergi ke masjid untuk tujuan shalat (?) sekaligus mencuri tidak mengapa, biasa terjadi, dan sudah umum. Yang penting adalah ibadah. 

“Ritualisme” dalam pengertian ibadah saja yang penting, sedangkan masalah interaksi sesama muslim tidak penting dan tidak menjamin masuk surga, menjadi semacam virus. Kebanyakan kita hanya mementingkan kesalehan ritual atau dalam kategori lebih umum “hubungan dengan Sang Khaliq”. Sedangkan, kesalehan sosial yang terkait dengan “hubungan dengan sesama manusia” tidak terlalu penting, sekedar supplement, atau hanya pelengkap. 

Terlepas dari apakah orang yang melakukan pencurian di masjid tujuannya adalah shalat sekaligus mencuri, atau shalat jadi modus untuk mencuri, yang jelas pencurinya adalah juga muslim. Ini menjadi masalah serius ketika kesalehan ritual terpisah dari kesalehan sosial. Yang dipedulikan hanya “sah-batal” shalat, kategori fiqh, menjadi formalisme. Padahal, mendirikan shalat” (iqamat al-shalah) mengandaikan agar tindakan di luar setelah shalat sejalan dengan semangat shalat, yaitu penghambaan terhadap Allah Swt dengan menaati “semua” perintah-Nya dan menghindari “semua” larangan-Nya, termasuk mencuri. Baik mencuri selaku pihak eksternal dan Naudzubillah Minzaliigh, belakangan tak sedikit pula oknum-oknum tertentu yang terkuak belangnya setelah kedapatan mencuri di masjid selaku pihak internal. Para oknum ini hadir ke masjid, mengabdi atau menjadi pengurus masjid, namun otientasinya adalah untuk melakukan tindakan korupsi atau memanfaatkan keleluasaan mengurus masjid untuk mencari celah keuntungan pribadi. Pencuri jenis ini paling soft atau aman dari jangkauan hukum atau berhadapan dengan kemarahan masyarakat umum mengingat adrenalin masjid lebih didominasi sikap memaafkan, tulus ikhlas dan Lillahi Ta'ala dari para jamaah. 

Jika tarik lebih umum, fenomena ritualisme (yang penting hanya ibadah) ini menjadi “penyakit” kita. Tidak sekadar persoalan melanggar dan tidak melanggar larangan, tapi juga soal peduli dan tidak peduli. Bayangkan saja, berapa banyak setiap tahun kaum muslim menunaikan ibadah haji sunnat (haji kedua dst) yang sebelumnya telah ditunaikan, bahkan ada yang setiap tahun. Sementara pada sisi lain, kepedualian sosial berkenaan dengan kemiskinan, keterbelakangan saudaranya seiman dalam pendidikan, tidak menyentuh kesadaran keagamaan. Orang lebih yakin dan mantap jika menyumbang dana untuk masjid ketimbang ke sasaran-sasaran sosial.

Ada peristiwa unik yang bisa membuktikan bahwa “hubungan dengan Allah Swt” tidak sejalan dengan “hubungan dengan sesama manusia”. Di Kabupaten Hulu Sungai Tengah beberapa tahun silam, pernah terjadi perampokan. Ketika melihat mushaf al-Qur’an nyaris terjatuh ke lantai, sang perampok “peduli” dengan menahannya agar tidak jatuh, sementara ia sendiri sedang “tidak peduli” dengan keselamatan nyawa orang lain. Fakta ini unik, tapi bisa menjelaskan kesalahan kebanyakan kita dalam memahami arti kesalehan. 

Di masyarakat, sudah terpola papadahan tuan guru bahwa mushaf al-Qur’an tidak boleh terjatuh, apalagi dijatuhkan, ke lantai. Mengapa, papadahan yang sudah tertanam menjadi mindset masyarakat itu tidak sama kokohnya tertanam dengan kesalehan sosial? Jawaban kedua, jika masalahnya tidak terletak pada masalah pembelajaran keislaman kita, adalah persoalan ekonomi.

Penggambaran Nabi tentang masjid dan pasar yang kondisional-historis itu tidak seharusnya menjadi dikotomi “pasar—masjid”, karena akan menjadi dikotomi “ekonomi—ibadah”. Ini menjadikan kaum muslim yang mayoritas hanya menjadi seperti buih di laut, banyak dan melimpah, tapi tidak memiliki kekuatan, karena kebanyakan hanya menganggap ibadah sejati hanya shalat, puasa atau haji. Sementara, mereka yang berkecimpung dalam ekonomi tidak sejalan dengan makna ibadah dalam pengertian yang meski luas tapi juga tercakup dalam Islam. Ini menyebabkan munculnya fakta yang sangat disayangkan: kaum muslim “saleh” (rajin beribadah), tapi miskin. Mereka saleh secara ritual, tapi tidak bisa menjadi saleh secara sosial, karena dari segi menahan larangan rentan mencuri di masjid dan segi berbuat tidak bisa menunjukkan kepedulian sosial dengan sesama, karena mereka sendiri miskin. 

Dalam al-Furqan, Ibn al-Khathib menyebut ibadah ritual itu dengan “ibadah teoritis” (‘ibadah nazhariyyah) dan ibadah sosial dengan “ibadah praktis” (‘ibadah ‘amaliyyah). Jangan mengira, tegasnya, mereka yang “beribadah” (dalam pengertian komplit) hanya mereka yang ada di masjid. Sebaliknya, jangan dikira mereka yang sibuk di pasar—selama sesuai dengan aturan Islam tentang transaksi—tidak beribadah dalam pengertian itu. Kita tidak tahu, apakah umat-umat agama lain ketika ke tempat-tempat ibadah juga seperti itu? Bisa jadi jugaml ada yang begitu, bisa jadi tidak.  Dalam hal ini kita selaku umat muslim hanya introspeksi dan “bercermin diri”, sudah etis kah kita memasuki tempat ibadah? 

Pencurian di masjid hanya potret kecil dari persoalan yang melimpah di kalangan muslim. Ini masalah keberislaman tentang ketidakutuhan pemahaman keislaman kita, sekaligus masalah sosial-ekonomi tentang menganganya jurang pemisah berpunya—tidak berpunya, dan tentu saja, masalah keterbelakangan umat Islam di bidang ekonomi.

#Disarikan dari pemikiran dan hasil riset Dr. Wardani, M.Ag, dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari. Sekarang menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah (PUSLIT) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Antasari.

 
Top