JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut pihaknya tengah mengkaji soal adanya restorative justice pada kasus korupsi. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengatakan, berdasarkan pasal pemberantasan korupsi, orang yang mengembalikan kerugian uang negara tak akan menghapus pidananya.

"Padahal sangat jelas bahwa Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 maupun Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi, Pasal 4 mengatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Sabtu (29/10/2022).

Ia menekankan mengembalikan kerugian negara akibat korupsi tak menghapuskan pelanggaran pidana korupsi itu sendiri.

"Ini jelas kok tidak menghapus pidana berarti tetap harus dipidana meskipun sudah mengembalikan uangnya," katanya.

Lalu Boyamin juga menyinggung soal Undang-Undang BPK, yang katanya kerap terjadi kesalahan prosedur dalam keuangan pemerintah. Ia menegaskan korupsi tentu dilakukan sengaja oleh koruptor.

"Kalau Undang-Undang BPK itu kan menyangkut terkait dengan mekanisme penyelenggaraan keuangan pemerintahan, yang itu bisa saja karena kesalahan prosedur, bukan karena korupsi. Kalau korupsi kan dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau perbuatan melawan hukum, berarti sudah sengaja. Jadi kalau sudah sengaja sejak awal, maka yang berlaku ya tetap Pasal 4 itu, di mana pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana," katanya.

"Nah, sepanjang ini adalah perbuatan korupsi yang memenuhi unsur melawan perbuatan hukum, memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang atau pasal-pasal berikutnya atau suap atau gratifikasi itu, ya tetap harus proses pidana, tidak ada restorative justice," tambahnya.

Lebih lanjut Boyamin menyebut, kalaupun seseorang mengklaim dirinya hanya 'coba-coba' korupsi, tentu orang tersebut telah melakukan korupsi. Dia lantas menyinggung soal extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.

"Dari sisi yang lain artinya, kalau percobaan korupsi, sudah dikatakan korupsi. Jadi tidak ada ini restorative justice dianggap percobaan, hanya coba-coba, terus kalau ketahuan dikembalikan. Karena dalam teori korupsi sudah sama dengan korupsi, ini perbuatan berkaitan dengan keuangan negara, kaitannya extraordinary crime," katanya.

"Itu percobaan teroris sudah dianggap teroris, percobaan narkoba sudah narkoba, percobaan korupsi ya korupsi," tambahnya.

Disebut Hanya Opini

Sebelumnya, Johanis Tanak resmi menjadi Wakil Ketua KPK setelah mengucapkan janji di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat ditanya mengenai gagasan restorative justice kasus korupsi yang pernah disampaikannya di DPR, Johanis mengatakan hal itu hanya pandangan pribadi.

"Itu kan cuma opini, bukan aturan, tapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja. Tapi bagaimana realisasinya, tentunya nanti lihat aturan," kata Tanak seusai acara pengucapan janji di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (28/10/2022).

Johanis Tanak berbicara soal restorative justice atau keadilan restoratif dalam korupsi. Hal ini disampaikan Johanis dalam proses uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di depan para anggota Komisi III DPR.

"Namun hal itu (restorative justice) sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya dikesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," kata Johanis di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/9/2022).

"Kalau saya mencoba menggunakan restorative justice dalam korupsi, saya akan menggunakan adalah UU tentang BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," sambungnya.

KPK Sebut Masih Kaji

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut hingga kini lembaga antirasuah itu masih terus mengkaji soal penerapan restorative justice kasus korupsi. Pembahasan itu, kata dia, menjadi salah saut upaya penyelesaian dalam pemberantasan korupsi.

"Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana korupsi. Ini adalah proses pencarian bentuk bagaimana agar proses hukum itu benar-benar menyelesaikan masalah bangsa ini dari tindak pidana korupsi," kata Ghufron dalam keterangannya, Jumat (28/10).

Katanya, konsep restorative justice dalam tindak pidana korupsi tentunya berbeda dengan pidana umum. Misalnya, kata dia, pelaku korupsi yang biasanya bersifat komunal atau lebih dari satu tersangka.

"Sehingga, melihat tindak pidana korupsi tidak hanya selalu menggunakan sudut pandang kerugian keuangan negara saja. Lebih dari itu, korupsi memberikan dampak kerugian besar bagi rakyat yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang dimiliki," ucapnya.

#dtc/bin




 
Top