Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


MAKIN ke sini, kenapa gelar makin menjauh? Di dalam negeri sendiri pun gelar itu tak mau mampir. Ada apa dengan cabut, eh salah, tepuk bulu kita, wak?

Indonesia Open 2025 telah selesai. Tertutup sudah tirai panggung megah di Istora, yang selama seminggu lebih menjadi saksi drama, darah, dan derai air mata. Tapi tidak ada tawa kemenangan. Tidak ada pelukan juara. Tidak ada pengibaran bendera Merah Putih yang berkibar di tengah alunan “Indonesia Raya.” Yang ada hanya gema suara tribun yang sunyi, seperti gelap tanpa cahaya.

Kita pulang tanpa gelar. Lagi. Untuk keempat kalinya berturut-turut sejak 2021, Indonesia tidak mampu menjadi juara di rumah sendiri. Seolah tanah tempat lahirnya Rudy Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti, Taufik Hidayat, Alan Budikusuma, dan The Minion ini, kini berubah jadi batu nisan, mengenang kejayaan, tapi tak lagi mengandung kehidupan.

Ganda campuran dimenangi pasangan Prancis Thom Gicquel dan Delphine Delrue, yang menari di atas lapangan seperti tamu undangan yang tak tahu malu. Mereka mengalahkan Dechapol Puavaranukroh dan Supissara Paewsampran dari Thailand 21-16, 21-18. Di sektor tunggal putri, An Se Young dari Korea Selatan menaklukkan Wang Zhi Yi dari China dalam drama tiga gim: 13-21, 21-19, 21-15. Ganda putri disabet Liu Sheng Shu dan Tan Ning dari China, setelah menghabisi Pearly Tan/Thinaah Muralitharan dari Malaysia 23-25, 21-12, 21-19. Tunggal putra menjadi milik Anders Antonsen dari Denmark yang memukul jatuh Chou Tien Chen 22-20, 21-14. Ganda putra? Di sanalah satu-satunya perwakilan Indonesia berjuang sampai akhir, Sabar Karyaman Gutama dan Moh. Reza Pahlevi Isfahani.

Sabar dan Reza adalah harapan terakhir yang berdiri di tengah reruntuhan. Mereka mengalahkan pasangan Malaysia di semifinal, menumbuhkan asa yang tumbuh seperti bunga liar di tanah longsor. Tapi di final, mereka tumbang juga. Mereka memberi perlawanan, bahkan sempat unggul. Tapi seperti kebanyakan kisah Indonesia belakangan ini, akhir ceritanya tak bahagia. Mereka kalah dari Kim Won Ho dan Seo Seung Jae, 21-18, 19-21, 12-21. Rakyat berteriak. Tapi teriakan itu, pada akhirnya, hanya gema yang memantul balik.

Fajar dan Rian, yang pernah disebut-sebut sebagai pasangan masa depan, kandas di semifinal. Mereka kalah dengan skor menyakitkan 18-21, 21-19, 21-23. Sedekat itu. Sejauh itu. Seperti sedang memeluk bayangan.

Taufik Hidayat, legenda yang kini menjabat sebagai Wamen Olahraga dan Wakil Ketua PBSI, diam saja. Netizen bertanya, di mana suara emas yang dulu bersuara lantang soal reformasi? Di mana keberanian yang dulu melawan siapa pun, bahkan saat sendirian? Kini hanya ada kesunyian yang lebih menusuk dari smash 350 km/jam.

Indonesia kini hanya bisa menatap podium dari kejauhan, seperti mantan kekasih yang menonton pernikahan orang yang dulu ia cintai. Empat tahun tanpa gelar di turnamen sebesar ini bukan sekadar statistik. Ia adalah pertanyaan eksistensial, apakah kita masih kekuatan bulutangkis dunia, atau hanya legenda yang tak tahu diri sedang tenggelam?

Saat lampu-lampu Istora dimatikan, shuttlecock dikemas, net dilipat, dan tribun dikosongkan, yang tersisa hanya satu hal, rasa kehilangan yang terlalu akrab. Indonesia Open bukan lagi rumah kemenangan. Ia telah menjadi museum duka, tempat kita mengingat apa yang pernah kita miliki, dan tak bisa kita raih lagi.

Mungkin inilah tragedi paling sunyi, ketika tuan rumah menjadi figuran dalam panggung sendiri.

Indonesia Open 2025 telah usai. Tapi luka ini, barangkali, akan tinggal lebih lama dari yang kita bayangkan. Sebab lebih dari sekadar kekalahan, ini adalah kehilangan. Kehilangan arah, kehilangan nyali, kehilangan gelar, dan mungkin, kehilangan kepercayaan. (*)


#camanewak 




 
Top