Oleh: Isrizal, M.Pd

- Kepala MTsN 1 Kota Padang


DALAM sejarah panjang peradaban manusia, ada momen-momen spiritual yang melampaui ruang dan waktu. Qurban adalah salah satunya. Ia bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, bukan pula seremoni tahunan yang hanya menyentuh lapisan luar keagamaan. 

Qurban adalah bahasa sunyi dari cinta dan kepasrahan, adalah tafsir hidup tentang pengorbanan yang mengakar dalam nilai-nilai sosial dan empati.

Setiap Iduladha yang tiba, umat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan takbir dan haru. Di balik lantunan itu, tersembunyi pesan yang mendalam: tentang memberi tanpa pamrih, tentang berbagi tanpa syarat, dan tentang menjadikan diri sebagai bagian dari kehidupan orang lain. Di sinilah letak esensi qurban sebagai instrumen edukasi sosial  sebuah alat pembelajaran yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga transformatif.

Qurban: Sebuah Simbol, Sebuah Pendidikan

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, sebagaimana yang diabadikan dalam kitab suci, bukanlah kisah sejarah yang mati. Ia adalah pelajaran abadi tentang keikhlasan, keteguhan hati, dan keimanan yang membumi. 

Ketika Ibrahim bersedia mengorbankan putranya atas perintah Ilahi, yang sebenarnya dikurbankan adalah ego, rasa memiliki, dan keterikatan duniawi. Sebuah pelajaran luhur yang meruntuhkan tembok keakuan dan membangun jembatan kepasrahan total kepada Tuhan.

Dalam konteks pendidikan sosial, qurban menghadirkan ruang belajar yang kaya makna. Ia mengajarkan bahwa memberi bukan karena kita berlebih, tetapi karena kita memahami rasa cukup. Ia melatih anak-anak untuk menakar kebutuhan orang lain, mengenali luka sosial yang kerap tersembunyi di balik wajah-wajah diam.

Menanam Nilai dari Darah yang Mengalir

Setiap tetes darah yang mengalir dari hewan qurban bukan hanya simbol ketaatan, tetapi juga pernyataan tanggung jawab sosial. Qurban menanamkan nilai-nilai universal: kasih sayang, keadilan distributif, solidaritas, dan kesetaraan. Anak-anak yang terlibat langsung dalam proses qurban — menyaksikan, membantu, membungkus, dan membagikan daging — tidak hanya belajar tentang tata cara ibadah, tetapi juga tentang rasa memiliki terhadap penderitaan sesama.

Di sinilah lembaga pendidikan, termasuk madrasah, memegang peran kunci. Qurban bukan semata ritual keagamaan, tetapi wahana pembelajaran karakter. Ia membuka ruang bagi siswa untuk mengalami secara konkret nilai empati dan kebersamaan. Program seperti “Siswa Berqurban”, “Qurban Kolektif”, atau “Qurban Bersama Masyarakat Kurang Mampu” bukan hanya kegiatan rutin, melainkan momen sakral membangun kesadaran sosial.

Menebar Empati di Tengah Individualisme

Kita hidup di zaman di mana kecepatan informasi kadang mengalahkan kepekaan hati. Di tengah riuh media sosial dan budaya konsumtif, qurban datang sebagai pengingat bahwa hidup bukan tentang apa yang kita kumpulkan, tetapi tentang apa yang kita bagi. Empati bukanlah teori yang diajarkan di papan tulis, melainkan getaran jiwa yang tumbuh dari pengalaman langsung.

Anak-anak yang diberi kesempatan untuk menyentuh kehidupan orang lain melalui qurban akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih terbuka, lebih peduli, dan lebih siap menjadi bagian dari solusi sosial. Mereka tidak sekadar melihat kemiskinan sebagai statistik, tetapi sebagai realitas yang menyentuh. Mereka belajar bahwa memberi bukanlah mengurangi, tetapi menumbuhkan.

Qurban sebagai Stimulus Ilmiah dan Humanistik

Dalam perspektif ilmiah, pendidikan karakter berbasis pengalaman langsung seperti qurban merupakan salah satu pendekatan efektif dalam internalisasi nilai. 

Teori pembelajaran konstruktivistik menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap terbentuk melalui pengalaman nyata dan interaksi sosial. Maka, ketika siswa dilibatkan dalam kegiatan qurban, mereka tidak hanya mengembangkan kecerdasan emosional, tetapi juga memperkuat keterampilan sosial, komunikasi, dan kepemimpinan.

Qurban pun menjadi titik temu antara dimensi spiritual dan sosial-humanistik. Ia mengajarkan bahwa keberagamaan tidak boleh berhenti di atas sajadah, tetapi harus menjelma dalam tindakan nyata yang memberi makna pada kehidupan orang lain.

Penulis
Penutup: Merawat Jiwa Sosial dari Madrasah

Di MTsN 1 Kota Padang, penulis meyakini bahwa pendidikan yang hanya mencerdaskan otak tanpa menyentuh nurani adalah pendidikan yang pincang. Karena itu, momentum Iduladha dan pelaksanaan qurban kami jadikan sebagai wahana memperkuat fondasi moral siswa. 

Kami tidak hanya mengajarkan mereka tentang tata cara penyembelihan, tetapi juga mengajak mereka untuk menyelami makna pengorbanan, memahami nilai berbagi, dan merasakan manisnya kepedulian.

Qurban adalah ladang subur tempat benih nilai ditanam dan pohon empati tumbuh. Mari kita jadikan ia bukan hanya agenda tahunan, tetapi bagian dari proses pendidikan yang berkelanjutan untuk membentuk generasi yang tidak hanya pandai, tetapi juga peduli. Sebab bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh kecerdasan, tetapi juga oleh hati yang penuh kasih dan tangan yang siap memberi. (*)

 
Top