ORANG Minangkabau memiliki banyak suku, salah satunya adalah suku Chaniago. Suku ini merupakan salah satu suku induk di Minangkabau yang diturunkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Suku Chaniago memiliki falsafah hidup demokratis yang menghargai prinsip “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan”.
Pepatah ini berartikan, “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena kesepakatan”. Dalam masyarakat suku Chaniago, semua keputusan yang akan diambil untuk kepentingan bersama harus melalui proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan.
Falsafah tersebut juga tercermin dalam arsitektur rumah adat bodi Chaniago yang ditandai dengan tidak adanya anjuang pada kedua sisi bangunan Rumah Gadang.
Hal ini menunjukkan bahwa status sosial seseorang tidak mempengaruhi perlakuan antara individu yang berbeda. Yang membedakan tinggi rendahnya seseorang dalam masyarakat suku Chaniago adalah seberapa besar tanggung jawab yang diemban oleh individu tersebut.
Salah satu prinsip lain dalam mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan di suku Chaniago adalah “aia mambasuik dari bumi”, yang berarti suara yang harus didengarkan adalah suara yang berasal dari bawah atau suara rakyat kecil.
Suara ini kemudian dibahas dalam musyawarah untuk mencapai kata mufakat, dan setelah itu keputusan tersebut ditetapkan oleh pimpinan tertinggi, baik raja maupun penghulu.
#red