Oleh: Yuharzi Yunus #


APA sich yang tidak bisa dibuat oleh Incasi Raya? Pada akhirnya itu kesimpulan saya setelah membaca hasil diskusi teman-teman di grup WhatsApp, terkait anjloknya harga Sawit TBS (Tandan Buah Segar) di beberapa daerah kabupaten di Sumatera Barat yang warganya memiliki kebun sawit swadaya.

Ada dua faktor penyebab anjloknya harga sawit di Sumbar. Menurut Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, pertama kali disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan pabrik di daerah ini. Meskipun ada, pabrik itu hanya berkapasitas rendah, bahkan tidak  mampu menampung mengolah produksi kebun  sawitnya sendiri. Kedua, disebabkan rendement sawit hasil kebun swadaya masyarakat, khususnya di Pesisir Selatan, masih sangat rendah dibanding produksi sawit kebun inti perusahaan.

Rendement serta kualitas  produksi sangat ditentukan bibit. Menurut mantan Wakil Bupati Pessel, Syafrizal Ucok, bibit sawit yang ditanami oleh petani swadaya, berasal dari bibit yang mereka dapatkan dari pedagang bibit jalanan. Tentunya, bibit ini tidak bersertifikasi seperti yang ditanami oleh kebun kebun inti.

Namun, alasan ini mentah setelah seorang praktisi yang mengeluti dunia persawitan di Pelembang mengatakan bahwa sawit produksi perkebunan swadaya itu dari aspek kualitas produksi justru lebih bagus dibanding sawit bersertifikat. Praktisi itu menganalogikan dengan perbandingan antara  ayam kampung dengan ayam negeri. Mana yang lebih enak? Mana yang lebih diminati. Pastilah lebih enak ayam kampung!

Meskipun untuk produksi sawit tidak persis sama dan tidak kurang pas jika dianalogikan  dengan ayam kampung dan ayam negeri, namun menurut praktisi perkebunan asal kota mpek mpek tersebut, pabrik setempat hanya bisa menekan harga maksimal Rp100/kg. 

Namun, di Sumbar dan di Muko Muko Bengkulu Utara, harga patokan sangat signifikan anjloknya, bisa mencapai Rp 500/kg. Dengan dalih alasan kualitas dan rendement sawit, pemilik pabrik seolah butuh tak butuh ketika menerima pasokan TBS dari pedagang lokal.  Apalagi ditambah dengan alasan gudang penuh akibat over produksi yang tak tertampung oleh gudang pabrik.

Saya pikir itu hanya sebagai akal-akalan, dalam istilah kerennya tindakan itu hanya semacam strategi untuk menekan harga sawit hasil kebun milik masyarakat. Tentu alasan-alasan klasik di atas tidak dapat diterima oleh mereka yang mau mengasah logikanya.

Pasalnya, kalau benar gudang penuh, lalu produksi kebun inti tak terlayani oleh  pabrik yang mereka miliki, kenapa harus menekan harga sampai turun mencekik ke angka Rp 500,-/kg? Sementara, sudah ada patokan harga yang telah ditetapkan oleh Asosiasi Pengusaha Pabrik Sawit, Dinas Perkebunan, Asosiasi Petani Sawit dan LSM. 

Artinya, tindakan menekan harga sawit oleh pemilik pabrik tidak bisa ditolerir, sebab yang membuat patokan harga itu termasuk pemilik pabrik itu sendiri. Lantas, kini mereka sendrii yang melanggar aturan itu. 

Di Bengkulu, pemilik kebun sawit swadayanya jauh lebih beruntung karena gubernur setempat telah mengeluarkan peraturan terkait standar harga sawit. Untuk penerapan peraturan tersebut, seorang Plt Bupati Bengkulu Selatan, seperti diberitakan antaranews.com, segara akan memanggil pengusaha pabrik sawit di wilayah kerhanya untuk memberlakukan harga sawit sesuai dengan harga patokan yang telah dibuat dan disepakati bersama.

Bupati Pessel, Hendrajoni, telah lebih dahulu mengeluarkan penyataan yang sama dengan Plt Bupati Bengkulu Selatan tersebut.

Kita berharap, pertemuan pengusaha pabrik dengan Bupati Pessel maupun Plt Bupati  Bengkulu Selatan nantinya akan dapat membawa angin segar bagi petani sawit di Pessel, yang kata salah seorang anggota DPRD Sumbar Saidal Masfiuddin SH, luas kebun sawit swadaya di Pessel ada sekitar 141.000 Ha.

Dari diskusi anggota group WhatsApp, saya juga baru tahu bahwa sebenarnya untuk membangun pabrik sawit sekarang ini banyak pengusaha yang berminat, namun terkendala dalam hal pendanaan.

Pihak bank di Sumbar juga kurang percaya memberikan pinjaman modal kepada pengusaha yang telah membebaskan lahan untuk membangun pabrik. Bahkan pengusaha yang telah mengantongi izin sekalipun untuk  mulai membangun pabrik, pada akhirnya gagal di tengah jalan disebabkan kekurangan dana untuk memulai proyeknya.

Nah, banyak pihak terkait termasuk saya, menilai boss Incasi Raya adalah satu satunya pengusaha di Ranah Minang ini yang mendapat fasilitas untuk tidak memberikan plasma saat membuka kebun sawit di Pessel. Jika hati nuraninya terketuk, tentu akan tergerak dan tentu saja tak diragukan kemampuannya untuk  menambah jumlah pabrik pengolahan sawit di Pessel.

Ya, memang hanya boss Incasi Raya-lah satu satunya pengusaha yang punya daya lebih membantu para pemilik kebun sawit swadaya di Pessel dan Sumbar pada umumnya.

Caranya? Ya itu tadi! Yakni membangun pabrik  dengan kapasitas yang bisa menampung seluruh produksi sawit di Kabupaten Pessel!

Hal ini akan terealisasi apabila boss Incasi Raya memiliki komitmen yang  benar benar kuat untuk membantu Pemprov Sumbar menggerakkan roda perekonomian di Sumbar. Lebih kencang lagi dibanding yang telah dilakukan hari ini dan tahun tahun belakangan. 

#Penulis adalah wartawan senior, pensiunan guru dan juga bagian dari komunitas perkebunan sawit swadaya di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat.
 
Top