Oleh: Ririe Aiko
(Pada 10 September 2025, Kathmandu, ibu kota Nepal, diguncang kerusuhan. Seorang menteri keuangan digiring massa, ditelanjangi, lalu diceburkan ke sungai yang membelah kota. Adegan itu terekam kamera ponsel dan viral ke seluruh dunia. Simbol negara runtuh dalam hitungan menit.¹)
—000—
Di tepi sungai yang keruh,
rakyat menjelma hakim jalanan.
Teriakan memecah udara,
kamera ponsel gemetar merekam—
tubuh pejabat hanyut,
martabat bangsa ikut tenggelam.
Bukan sekadar seorang lelaki
yang dipermalukan di hadapan rakyat,
melainkan simbol kepercayaan
yang lama terkikis janji kosong.
Amarah itu tak lahir seketika,
ia tumbuh dari beras yang mahal,
minyak yang langka,
dan anak muda yang kehilangan pekerjaan.²
—000—
Generasi digital marah,
melihat anak pejabat berfoya-foya,
pamer mobil sport dan jam tangan mewah,
sementara rakyat antre demi sekarung beras.³
Ketimpangan pun menjelma bara.
Namun api benar-benar menyala
saat pintu dunia maya dikunci.
Facebook dibungkam,
YouTube disumbat,
X ditutup rapat.
Suara yang biasa hidup di layar
dipaksa mati.
Tubuh pun akhirnya menjadi teks terakhir,
jalan raya menjelma panggung,
dan sungai,
menjadi tirai terakhir
bagi pertunjukan politik yang telanjang.
—000—
Indonesia, tidakkah kita belajar?
Nepal hanyalah cermin
yang retaknya bisa memantul ke sini.
Bayangkan,
jika suatu hari di Jakarta,
seorang menteri ditarik paksa,
dilempar ke Kali Ciliwung,
direkam ratusan kamera,
disiarkan ke seluruh dunia.
Itu bukan sekadar tragedi,
melainkan aib bangsa.
—000—
Kita masih punya modal kepercayaan:
pers yang hidup,
organisasi sipil yang bergerak,
dan hukum yang kadang
masih berpihak pada rakyat.
Namun benih-benih amarah itu ada.
Dari ketidakadilan ekonomi,
dari pamer kuasa anak pejabat,
dari suara publik yang kadang dibungkam.
Jika dibiarkan tumbuh liar,
kita pun bisa terbakar.
Oleh amarah yang terlalu menumpuk
Tak bisa terbendung lagi.
Biarkan sungai-sungai kita
tetap menjadi tempat anak-anak bermain,
bukan tempat martabat pejabat ditenggelamkan.
Biarkan rakyat percaya
bahwa keadilan masih bisa lahir
tanpa harus menelanjangi negeri sendiri. (*)
—000—
Catatan:
(1)“https://www.kompasiana.com/dosom/68c15e0f34777c1e4d7ce972/belajar-dari-kekuatan-rakyat-yang-menumbangkan-gaya-hidup-pejabat-nepal
(2https://www.worldbank.org/en/news/opinion/2025/08/20/investing-in-people-nepal-s-best-bet-for-better-jobs-and-economic-growth
(3https://kathmandupost.com/national/2025/09/06/nepo-kid-trend-sparks-anti-corruption-campaign-in-nepal