Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
DALAM hitungan hari, Menkeu Purbaya mulai satset satset, mulai berani. Program kesayangan Prabowo, MBG pun diserangnya. Anggaran 71 triliun baru terserap 13 triliun. Sisanya kemana? Gue demen ni, wak. Yok kita lindas, eh salah, kupas keberanian pengganti Sri Mulyono, aduh salah, Sri Mulyani maksudnya, sambil ngopi tanpa gula, wak!
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Berseragam jas biru, dasi merah dan mata berkilau seperti laser audit, ia muncul di tengah kabut angka dan laporan yang tak terserap. Bayangkan, wak! Anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp71 triliun, angka fantastis, setara menara emas setinggi seribu Monas, hanya terserap Rp13 triliun. Sisanya? Menghilang seolah ditelan black hole birokrasi. Publik pun bertanya dengan dramatis, “Kemana sisa Rp58 triliun itu?”
Purbaya, jagoan baru finansial, menembakkan laser audit ke kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana. “Ini bukan pertunjukan PowerPoint cantik,” teriaknya sambil meluncurkan spreadsheet panas ke arah meja rapat DPR. Ia menuntut transparansi sampai ke piring anak-anak, dan mengusulkan jumpa pers bulanan. Tidak ada celah bagi “uang hantu” yang menghilang tanpa jejak.
Drama menjadi lebih absurd ketika dapur MBG muncul sebagai arena komedi tragis. Banyak unit dapur ternyata dimiliki anggota dewan sendiri, seolah mereka tidak cukup dengan RUU, lalu menambahkan spatula ke inventaris. Di Kuningan, sekitar 20 dapur “politisi” berseliweran.
Di Jakarta Timur, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, memegang satu dapur. Mereka semua mengklaim hanya investor, bukan koki. Publik melihatnya berbeda, wakil rakyat menari di atas piring sambil debat RUU, seperti sirkus epik tanpa akhir.
Namun absurditas berubah menjadi tragedi ketika laporan keracunan mulai berdatangan. Di SMPN 8 Kupang, 186 siswa menderita mual dan muntah akibat makanan basi. Di Bandung, SD Legok Hayam dan SMPN 35, siswa mengalami hal serupa. Di Sragen, MAN 1 Cianjur, hingga Nunukan Selatan, ikan tongkol berulat menjadi musuh anak-anak. Imagine, please! Triliunan rupiah untuk gizi, tetapi kenyataannya menjadi arena epik melawan bakteri jahat.
Dinas Kesehatan dan Ombudsman turun tangan, membawa palu keadilan dan checklist sertifikasi hygiene. Setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus memiliki sertifikat laik sanitasi, inspeksi rutin dan laporan ketat.
Pakar UGM menambahkan ramalan skala produksi besar berpotensi kontaminasi bakteri. Anak-anak menjadi prajurit, bakteri musuh dan pejabat komentator VIP yang bersorak di tribun.
Di tengah semua kekacauan, Kepala BGN menyatakan 22 juta penerima manfaat sudah tersentuh MBG dan perputaran uang di masyarakat mencapai Rp28 triliun. Tapi Purbaya tidak puas. Dengan laser audit yang berkilat, ia menuntut jawaban, kenapa sisanya tidak terserap? Dalam bahasa preman finansialnya, “Ini bukan sekadar angka, ini soal keberanian menghadapi publik dan integritas negara!”
Program MBG, dengan dapur anggota dewan, keracunan massal, triliunan rupiah yang seakan hidup sendiri dan superhero audit yang muncul seperti Thor versi anggaran, menjadi cermin epik negeri ini.
Anak-anak belajar gizi, publik belajar filsafat transparansi, triliunan bisa ada, bisa hilang, tapi pertanyaan tetap sama, siapa sebenarnya yang makan?
Di langit senja birokrasi, Purbaya terbang dengan laser auditnya, siap menembakkan sinar kebenaran ke setiap dapur MBG yang durhaka, memastikan bahwa dramatisnya negeri ini tidak sia-sia. (*)
#camanewak