JAKARTA – Alasan pemerintah memindahkan ibu kota baru dari DKI Jakarta ke Pulau Kalimantan, keliru. Untuk itu, Ekonom Senior Emil Salim meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan kembali rencana pemindahan ibu kota tersebut.

"Maka saya merasa perlu memohon kepada presiden, please .bisa tidak mendengar opsi lain?," katanya dilansir dari CNNIndonesia.com, Jumat (23/8/2019).

Ia menjabarkan alasan yang dipaparkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) terkait pemindahan ibu kota justru mencerminkan sikap pemerintah yang tidak bertanggung jawab.

Beberapa alasan yang ia soroti adalah 57 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan terbesar di Jakarta. Selain itu, Bappenas menyatakan porsi Produk Domestik Bruto (PDB) di Jawa sebesar 58,49 persen terhadap PDB nasional.

Di sisi lain, Bappenas menyatakan Pulau Jawa menghadapi krisis ketersediaan air bersih, ancaman gempa bumi, rawan banjir, hingga kemacetan transportasi.

Mantan menteri era Presiden kedua Soeharto itu menilai seluruh alasan tersebut hendaknya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk mengurai masalah DKI Jakarta. Justru dengan segudang masalah itu, lanjutnya, tantangan di Pulau Jawa perlu ditangani.

"Saya rasa ini tidak bertanggung jawab. Sikap pemerintah saya seharusnya kalau ada persoalan, tugas perencana adalah memecahkan soal bukan lari dari persoalan," katanya.

Tak hanya itu, Mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden era Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini juga mengkritik penggunaan dana sebesar Rp466 triliun guna menyukseskan mega proyek itu.

Ia menilai dana jumbo itu seharusnya bisa dialokasikan untuk menyelesaikan masalah pembangunan 2020-2045.

Pertama, dana tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pasalnya, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada periode 2020-2040.

Terkait bonus demografi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Bambang Brodjonegoro pernah menyatakan pada tahun 2030 angkatan usia produktif usia 15-64 tahun diperkirakan mencapai 200 juta orang. Jumlah tersebut mewakili 68 persen dari total populasi Indonesia. Sedangkan, angkatan tua usia 65 tahun ke atas hanya sekitar 9 persen.

Kedua, Indonesia perlu keluar dari jebakan negara middle income (pendapatan menengah). Untuk itu, Indonesia harus menggenjot pendapatan per kapita menjadi sebesar US$3.896-12.055 untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas dan di atas US$12.056 untuk menjadi negara pendapatan tinggi atau maju.

Ketiga, Indonesia akan menghadapi tantangan perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik. Kondisi itu diprediksi berdampak kepada 147 juta penduduk Indonesia di pesisir utara Pulau Jawa.

Keempat, Indonesia perlu mengembangkan infrastruktur baik darat maupun infrastruktur maritim. Pasalnya Indonesia masih memiliki kesenjangan (gap) infrastruktur dengan negara lain. Ia memprediksi untuk memenuhi gap infrastruktur Indonesia membutuhkan investasi hingga US$1,5 triliun.

Ia menilai anggaran jumbo itu sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

"Seharusnya Rp466 triliun, semua dana ini dapat juga membiayai program lepas landas Indonesia menjadi adil dan makmur pada 2045," katanya.

"Pada saat Rp466 triliun digunakan untuk pindah ke Kalimantan pada saat yang sama, dana itu tidak tersedia untuk memecahkan masalah di Jakarta," imbuhnya.

Untuk diketahui, rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan sudah disampaikan Jokowi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, pemerintah belum menentukan lokasi pasti ibu kota baru.

Pemerintah mengestimasi setidaknya dibutuhkan biaya sekitar Rp323 triliun sampai Rp466 triliun untuk membangun ibu kota baru. Kendati begitu, pemerintah memastikan uang negara yang akan digunakan untuk membangun ibu kota baru hanya sebesar Rp93 triliun. 

Sumber: cnnindonesia
 
Top