JAKARTA -- Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad menyatakan revisi Undang-Undang (UU) No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah disepakati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi satu pertanda bahwa lembaga "antirasuah" tersebut berada di ambang kematian. 

Menurut Abraham, terdapat sekitar enam poin krusial dalam draf RUU yang membuat KPK setidaknya mati suri.

"Setidaknya, ada enam poin krusial dari rencana revisi Undang-undang KPK itu. Beberapa di antaranya akan membuat KPK mati suri," kata Abraham saat dikonfirmasi SP, Jumat (6/9/2019).

Abraham membeberkan enam poin krusial tersebut. 

Pertama, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan atau di bawah Presiden dan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.

Kedua, persoalan, penyadapan. Dikatakan, revisi ini menghendaki penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. 

Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana. 

Keempat, setiap instansi, kementerian, lembaga wajib menyelenggarakan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara (LHKPN) sebelum dan setelah berakhir masa jabatan. 

Kelima, ada organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang ini dibantu oleh organ pelaksana pengawas. 

Keenam, revisi membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.

"Poin revisi pertama, kedua, kelima dan keenam, jelas akan membuat KPK mati suri," tegasnya.

Ditegaskan Abraham, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif, maka status independen KPK otomatis hilang. Padahal independensi menjadi syarat kunci tegaknya sebuah badan atau lembaga antikorupsi. 

Menurutnya jika KPK berada di bawah eksekutif, maka Lembaga Antikorupsi akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Hal ini akan membuat KPK mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tindak pidana korupsi.

"KPK juga akan berbenturan dengan kejaksaan yang memang desain konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam 'perebutan pengaruh'. Pada akhirnya jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, semata mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih," paparnya.

Abraham melanjutkan, revisi UU KPK juga bertujuan melumpuhkan sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan dengan memperpanjang alur penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas. Abraham menilai perumus naskah revisi Undang-undang KPK tidak mengetahui SOP penyidikan, termasuk penyadapan di KPK. Hal ini lantaran dalam SOP KPK, untuk melakukan penyadapan, izinnya harus melewati banyak meja seperti kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima pimpinan. Dengan demikian sistem kolektif kolegial kelima Pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu.

"Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," katanya.

Abraham mempertanyakan urgensi pembentukan organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Menurutnya, KPK saat ini sudah memiliki dewan penasihat. Jika alasannya untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan kewenangan, tidak ada yang bisa menjamin jika Dewan Pengawas nantinya bebas kepentingan. Apalagi, katanya, KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal jika ada pimpinan atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang.

"Ada Pengawas Internal (PI) yang menerapkan standar SOP 'zero tolerance' kepada semua terperiksa, tidak terkecuali Pimpinan. Sistem kolektif kolegial lima Pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah, jika ada pelanggaran berat yang dilakukan Pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya," paparnya.

Lebih jauh Abraham menyatakan, pemberian kewenangan pada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang sudah berumur satu tahun sama dengan wewenang yang dimiliki kejaksaan dan kepolisian yang sering disorot masyarakat sipil. Lagipula, katanya, selama ini KPK selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya di setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3 itu.

"Karena proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK terhubung “satu atap” dalam satu kedeputian, Kedeputian Penindakan. Jadi, KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3," jelasnya.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Abraham menegaskan tidak ada kepentingan hukum yang mendesak untuk merevisi Undang-undang KPK selain kepentingan politik. Ketimbang merevisi UU KPK yang akan mendapat reaksi keras dari masyarakat, Abraham meminta DPR untuk menyelesaikan berbagai RUU yang selama ini menjadi tunggakan parlemen.

"DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan rancangan undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, ketimbang mengutak-atik undang-undang KPK dan akan berhadapan dengan masyarakat," tegasnya. 

Sumber: Suara Pembaruan
 
Top