Mendiang Muslih Sayan "Da Mus"
Oleh: Awaluddin Awe #
Mantan Wartawan Mimbar Minang

SAYA hanya dua tahun berkenalan, dekat dan bekerjasama dengan almarhum Da Mus, Muslih Sayan, yakni saat menjadi Wartawan di Harian Mimbar Minang. 

Saat lepas dari Harian Bisnis Indonesia tahun 2000, setelah menjadi wartawan untuk Perwakilan Sumbar di bawah koordinasi Biro Medan sejak tahun 1993, saya bingung mau melanjutkan karir wartawan kemana. 

Ada pilihan waktu itu. Satu ke Harian Singgalang, milik mentor utama saya saat menjadi wartawan ekonomi dan bisnis yakni Uda Basril Djabar. Kedua, bergabung dengan Da In, Hasril Chaniago dan kawan kawan, setelah peristiwa eksodus dari Harian Singgalang mendirikan satu media idealis bernama Harian Mimbar Minang. 

Media yang didirikan Hasril Chaniago Cs dengan tokoh intelektual Minang Almarhum Gusman Gaus Cs bersama putranya Irman Gusman, SE, sempat muncul sebagai media harapan di Sumbar. Sebab begitu banyaknya tokoh nasional yang bergabung di media harian berkonsep koperasi ini. 

Seingat saya, ada Adi Sasono, Amien Rais dan sejumlah nama besar lainnya yang tidak bisa saya ingat lagi namanya. Dari tokoh Sumbar ada alm Rusdi Zein, seorang advokat  terkenal di Padang dan Uwan Zukri Saad dan kawan kawan dari pergerakan koperasi dan cendiakawan Sumbar. 

Saya bingung mengambil keputusan di sini antara Harian Singgalang dan Harian Mimbar Minang. Sebab keduanya memberi fasilitas dan pengakuan profesi yang sama. Akhirnya saya memilih Harian Mimbar Minang sebab sejalan dengan perkembangan idealisme muda saat itu yakni bagaimana membangun satu konsep media yang utuh. 

Baca Juga: http://www.sumatrazone.co.id/2019/08/in-memoriam-selamat-jalan-wartawan-ucok.html?m=1

Saya tau, keputusan ini akan membuat hubungan saya renggang dengan uda Basril Djabar. Sebab sebelumnya saya sudah disuruh menghadap Uda Darlis Chaniago sebagai wakil Da Bas di Singgalang. Pada pertemuan itu almarhum sempat bergarah kepada saya. "Satinggi tingginyo jabatan untuk Angku di Singgalang ko Redpel nyeh We," ujar almarhum. 

Sebagai orang Minang yang lahir dan besar di rantau, saya harus membahas peluang yang diberikan Da Bas secara matang. Ada ganjalan psikologis yang bermain saat itu. Pada satu sisi Da Bas itu sudah menjadi kawan senior saya. Setiap kali habis liputan saya pasti singgah ke ruangan Da Bas di Lanta II gedung Singgalang. Dalam hati saya, apakah saya sanggup menjadi anak buah Da Bas yang terkenal sangat teliti dalam menelaah hasil pekerjaan anak buah?

Akhirnya saya putuskan tidak menjadi anak buah Da Bas, dengan satu harapan Da Bas dapat memahami perasaan saya. Dan saya dapatkan itu setelah saya dua tahun menjadi wartawan Harian Mimbar Minang. 

UDA Mus, Muslih Sayan adalah bagian dari banyak kenangan campur sari bekerja di Harian Mimbar Minang. Selama dua tahun menjadi wartawan ekonomi dan bisnis di Harian ini, saya terbilang banyak bergaul dengan Uda Mus. 

Saat mengetahui saya sudah bergabung di Mimbar Minang, Uda Mus paling aktif mentransformasi gagasan besar pendirian Harian Mimbar Minang include dengan pengakuan terhadap posisi saham karyawan, yang saat itu dipersyaratkan pemerintah 20 persen. 

Da Mus tergolong wartawan dan lawan bicara kritis, meski terkadang sering juga terbawa arus perasaan dan emosional bawaannya. Jika kami sedang bekerja, ada terdengar suara lengkingnya, berarti sedang ada satu masalah di bagian umum, yang menurut pikirannya tidak cocok atau tidak pas.  

Jika suhu Da Mus sudah memanas yang bisa merehabnya kembali adalah uda Rusdi Bais. Keduanya adalah sama sama wartawan senior di Singgalang yang kemudian masuk paket eksodus wartawan Singgalang bersama Hasril Chaniago Cs. 

Jika kepada yang lain Da Mus memanggil "Bung" tetapi kepada saya Da Mus sering memanggil dengan sebutan "Angku". Saat saya tinggal di Padang Panjang saya ketahui bahwa panggilan Angku itu sama terhormatnya dengan panggilan seorang Datuak. 

Tetapi di Kampung saya panggilan Angku beda lagi artinya, yakni panggilan pengganti Waang atau kau dalam bahasa Indonesia. 

Da Mus bukan lawan bicara yang gampang dipatahkan atau dibantah ucapannya. Jika itu terjadi, maka bisa kejadian dari sejak saat itu sampai pulang dia tidak berhenti hentinya membahas soal itu. Kami sering menanggapi ulah Da Mus sambil tertawa kecil saja. 

Saya sebut kata kami tadi adalah untuk membuat deskripsi posisi kami di Harian Mimbar Minang saat itu. Da Mus pada akhirnya lebih memilih mengurus bagian umum media, ketimbang jadi redaktur atau wartawan. 

Itulah yang kadang menjadi 'pertempuran' kami dengan dia apabila terjadi crowded antara bagian umum dan bagian redaksi. Kalau belum ketemu ujungnya, Da Mus suka "menciracau" sepanjang hari ini. 

TETAPI harus diakui Da Mus adalah pribadi yang baik, tulus dan ngemong dalam bahasa jawanya. Banyak wartawan muda di Harian Mimbar Minang dia tatar secara informal, baik dari sisi penampilan, sikap dan dalam menulis berita. 

Da Mus punya modal dalam berbicara. Sebab berita yang masuk kategori perlu dipermasalahkannya selalu di-followup-nya dengan memanggil wartawan yunior bersangkutan dan memberitahu kelemahan berita tersebut. 

Kadang ada teman di redaksi yang mempergarahkan beliau dengan mengatakan kok bagian umum mengurus redaksi? Jika sudah mendengar komplain bergarah seperti itu Da Mus pun langsung manciracau sampai semua teman-teman di kantor tertawa mendengar komentar atas komplain kawan tadi. 

Saya setelah keluar dari Harian Mimbar Minang pada tahun 2002 dan mendirikan Tabloid Ekonomi Forum Bisnis bersama Belly Saputra, seorang pengusaha perumahan besar, kini sukses membangun apartemen di Jakarta, boleh dikatakan tidak pernah lagi bertemu dengan Da Mus. 

Ada alasan primordialnya. Sebab saya tidak masuk dalam barisan kelompok pendiri Harian Mimbar Minang dan tidak punya satu kesatuan nasib sepenanggungan dengan Da Mus dan kawan kawan eks Singgalang. Saya dan kawan kawan bersatu atas profesionalisme, bukan emosional primodialisme. 

Kenapa saya katakan begitu? Dalam forum silaturahmi tertentu hanya kelompok eks Singgalang ini saja yang intens bertemu. Itu pula sebabnya saya gak sempat lagi bertemu sampai ajal menjemput lelaki yang dulu "berbadan" itu. 

Saat mendapat kabar almarhum sudah dipanggil Sang Pencipta, saya dan istri juga sedang takjiah ke kampung saya di Toboh Gadang karena ada keluarga satu kaum meninggal. 

Makanya pada saat ada ajakan dari teman teman se kantor di Mimbar Minang dulu, untuk menghantarkan almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya di Parabek, Bukittinggi saya memutuskan ikut. Sebab saya anggap inilah kesempatan terakhir saya dengan almarhum sebelum jasadnya dikubur. 

Selamat jalan Uda Mus, semoga Allah mengampuni segala dosamu dan menerima semua amalan baikmu dan ditempatkan Allah di, Sorga Janatun Naim. Aamiin

# Penulis adalah wartawan senior yang saat ini juga Dewan Redaksi Media Online www.kabarpolisi.com
 
Top