Oleh: Goenawan Mohamad


ANAK - anak muda, beratus ribu jumlahnya,  berbaris dengan mengenakan helmet kuning dan memakai masker, seperti wajah-wajah bertopeng seragam dalam film “V for Vendetta”. Mereka menyanggah  kekuasaan yang tak mereka kehendaki.

Tapi ini bukan di  sebuah London imajiner.  Ini distrik Sha Tin di Hong Kong.  Ini Jalan Tsuen Wan, bagian dari Route 5,  dan  di mana saja, di hampir tiap sudut kota makmur yang berbukit dan berpantai itu — wilayah Tiongkok yang  tak nyaman jadi wilayah Tiongkok. Ini hari-hari ketika hampir seluruh penduduk kota membayangkan diri, dalam poster-poster mereka, seperti Cowboy Bebop dalam  film animasi Shinichiro Watanabe, para pelawan ketidak-adilan.

Di hadapan mereka RRT: tembok, atau benteng, atau struktur, atau tank —  kekuasaan sebuah republik yang sejak didirikan di tahun 1949 mengklaim mewakili rakyat yang tertindas dan pada saat yang sama menghalalkan diri jadi kediktaturan.

Akan menangkah  para pembangkang?  Sudah berminggu-minggu mereka di jalanan. Sebuah kalimat menyemangati mereka, dan politik menjadi puisi: protes itu membuat alegori. Tertulis dalam sebuah meme yang muncul jadi viral di Twitter: “Jadilah air!” — konon mengikuti filsafat silat Bruce Lee.

Air menyejukkan ketika hari terik.  Air membuat kembang  segar dan  ladang tak gersang.   Air membebaskan rongkong dari haus.  Air dapat mengelak dari himpitan yang paling keras menyelinap di celah paling sulit.  Jadilah air —  karena air energi, menjadikan kincir berputar dan listrik hidup. Jadilah air, saudaraku, dan berangsur-angsur kau buat lekuk pada batu.

Tapi air dapat dibendung!, sebuah kalimat membantah.  Ya, tapi air  tak berhenti mengalir selama ada bagian dari Tiongkok yang direndahkan.

Ada yang universal di dalam pekik pertempuran itu.  Mereka mahasiswa, karyawan bank, pegawai negeri, guru sekolah swasta,  manajer hotel, borjuis dan bukan borjuis. Dari mendung yang berbeda-beda mereka jadi hujan deras yang satu, dari unsur-unsur yang berbeda-beda mereka jadi sebuah mata rantai kesetaraan dalam menghadapi Sang Lawan. Sebuah komunitas pun muncul, tanpa dasar kebersamaan dari masa lalu yang amat jauh dan mungkin, siapa tahu,  akan mencair lagi tahun depan. Bahkan mereka tak punya label. “Nama komunitas yang dilukai yang menyatakan hak-haknya selalu anonim”, kata Ranciere. Semua jadi Subyek (dengan “S”) yang lahir dari mereka yang semula tak masuk hitungan. Semua jadi Subyek yang berkehendak dan bertindak untuk mengubah keadaan.

Dari kehendak dan tindakan itu terungkap sesuatu yang selama ini nyaris dilupakan:  kekuasaan yang ada di Beijing itu hanya punya legitimasi yang lahir dari kekuasaan, dan dengan kekuasaan itu mereka membangun legitimasi — semacam lingkaran setan. Tak ada dasar legitimasi yang rasional yang dibangun dari pikiran dan pertimbangan. Seperti kekuasaan politik di manapun, prosesnya melewati pertarungan, sering dengan gelora hati saja, atau dengan instink untuk hidup semata.

Tapi hanya itukah yang tercapai para demonstran Hong Kong:  pengungkapan tentang itu semua?  Kita diam-diam bimbang. Kita diam-diam cemas, dengan asumsi, bahwa akhirnya komunitas yang anonim itu tak akan menang. RRT teramat kuat. Para demonstran itu — tanpa organisasi revolusi, tanpa teori revolusi, tanpa pimpinan, tanpa senjata, tanpa dukungan internasional yang sistematis dan efektif, dan hanya dengan kekerasan yang terbatas dan sementara — mungkin akhirnya akan dibungkam.  Seperti di tahun-tahun sebelumnya.  Orang bisa ragu, adakah perjuangan politik seperti yang tengah berlangsung di Hong Kong punya alasan dasar yang awet, mungkin kekal, yang akan menggerakkan aksi kembali tiap kali dihentikan.

Dari jauh, dan dengan pengalaman yang berbeda, kita bisa melihat gerakan pro-demokrasi di sana tengah menerobos masuk ke masa depan  untuk keadilan dan kemerdekaan, seperti manusia lain dalam sejarah dunia. Tapi apa jadinya jika ternyata “Liberté, égalité, fraternité”,  semboyan “keadilan dan kemerdekaan dan kesetaraan” itu cuma bergema dalam Revolusi Prancis di abad ke-18 — sesuatu yang “kuasi-universal”?  Apa jadinya jika juga pendirian konstitusi Indonesia bahwa “kemerdekaan adalah hak semua bangsa” adalah keyakinan yang kuat tapi sebenarnya tak punya dasar ontologi?  


Jawabnya bukan datang dari teori filsafat,  melainkan dari laku, tekad dan sejenis ilusi yang menggetarkan. Tiap perjuangan, seperti yang kita ikuti di Hong Kong, tak ingin dicatat hanya sebagai  “kisah yang diceritakan seorang dungu, penuh gaduh dan amarah menggebu, tapi tak punya arti apa-apa”, “told by an idiot, full of sound and fury, signifying nothing,” seperti kata-kata pahit Macbeth dalam lakon Shakespeare.  

Mungkin saja, perjuangan demokrasi seperti pertandingan bola di atas sebuah lapangan tanpa dasar, baik dalam kekalahan maupun dalam kemenangan.  Mungkin kesadaran akan keadilan dan kemerdekaan bukan dasar yang ditakdirkan: bisa ada bisa tidak.  Tapi untuk hidup dan bergerak, sejarah manusia membutuhkan dorongan itu. Seperti tubuh membutuhkan air.

#fb.goenawan.mohamad
 
Top