ISLAM Nusantara sudah pasti adalah Islam. Benar, Islam di Nusantara memiliki karakteristik yang secara partikular berbeda dengan Islam di Timur Tengah, bukan berarti ciri-ciri khusus ini dengan begitu mengurangi keabsahan keislamannya. Terlebih jikalau kita berendah hati menyimak dengan kacamata tasawuf dan sufisme, maka segera saja akan tampak bahwa Islam Nusantara ialah Islam yang satu dan bukan sempalan.

Bicara Islam Nusantara juga tak bisa dilepaskan dari karakteristik Islam Asia Tenggara. Sedangkan bicara Islam di Asia Tenggara, agregat pembentuk utamanya ialah Indonesia dan Malaysia. Wajar saja frase ‘Islam Asia Tenggara’ (Southeast Asian Islam) kemudian sering digunakan secara bergantian dengan 'Islam Melayu-Indonesia' (Malay-Indonesian Islam).


Ini bukan saja karena Indonesia memiliki populasi terbesar di Asia Tenggara, lebih dari itu juga secara statistik jumlah pemeluk Islam sangatlah besar. Bukan hanya terbesar di Asia Tenggara, pemeluk Islam di Indonesia bahkan juga terbesar di dunia.

Berdasar data ‘The Pew Forum on Religion & Public Life 2010’, pemeluk Islam di dunia berkisar 1,6 miliar. Ini ditaksir merupakan 23,4% dari jumlah populasi dunia yang ditaksir 6,9 miliar jiwa. Angka ini membuat Islam menjadi tradisi keagamaan terbesar kedua setelah Kristen. Indonesia berada di urutan pertama. Jumlah pemeluk sebanyak 205 juta jiwa atau 13 persen dari total populasi muslim dunia. Posisi Pakistan di urutan kedua sebanyak 178 juta jiwa dan urutan ketiga ditempati India 177 juta jiwa.

Pada 2017, ‘The Pew Forum on Religion & Public Life’ kembali merilis taksiran. Pemeluk Islam Indonesia tercatat 209,1 juta jiwa. Ini merupakan 13,1 persen dari seluruh umat muslim di dunia. Berbeda dari data 2010, kini di urutan kedua ditempati India dan urutan ketiga oleh Pakistan.


Jikalau berbincang tentang Islam seringkali muncul stereotipe, bahwa agama ini lekat dengan dunia Timur Tengah. Padahal jika merujuk data 2010 ‘The Pew Forum on Religion & Public Life’ justru sebenarnya memperlihatkan sisi sebaliknya.

Bicara jumlah populasi muslim yang tinggal di wilayah Asia-Pasifik mencapai hampir dua pertiga dari keseluruhan populasi dunia—atau tepatnya 62%. Sebutlah total jumlah muslim dari Indonesia, India, dan Pakistan, yang berkisar 560 juta jiwa tentu jauh lebih besar ketimbang seluruh kawasan di Timur Tengah dan Afrika Utara yang hanya berkisar 317 juta jiwa.

Perubahan Paradigma

Sekalipun secara kuantitas pemeluk Islam di Asia Tenggara (Indonesia) sangatlah besar, ironisnya dalam studi kajian Islam sering ditempatkan pada posisi inferior dan minor. Dalam studi kajian Islam, bisa dikata hampir selalu Timur Tengah-lah yang ditempatkan sebagai “pusat” dan sekaligus role model tentang potret Islam dan wajah keislaman.


Sedangkan kawasan lain di luar Timur Tengah sering dipandang sebelah mata oleh para peneliti. Posisi Indonesia di Asia Tenggara, yang terletak di pinggiran (periphery) dan jauh dari jantung Islam, membuat keberadaanya dianggap sebagai “Islam-pinggiran”. Dan karena itulah Islam dan keislamannya juga cenderung dipandang tidak “murni” dan jauh dari merepresentasikan realitas Islam itu sendiri.

Walhasil, tanpa disadari, dalam studi kajian Islam lantas sering muncul penyederhanaan asumsi paradigmatik. Bahwa pola hubungan “pusat-pinggiran” (center-periphery) dalam Dunia Islam selalu bermakna Timur Tengah sebagai ‘produsen’ diskursus dan pinggiran ialah ‘konsumen’; Timur Tengah sebagai representasi Islam ‘yang-otentik’ dan pinggiran ‘yang-palsu’; Timur Tengah sebagai model keimanan ortodoksi dan pinggiran sebagai heterodoksi yang penuh bid’ah atau bahkan kafir.



Jadi, sementara ini, diakui atau tidak, saat bicara tentang Islam sebenarnya juga masih sebatas bicara citra atau model Islam dan keislaman di Timur Tengah. Sialnya, belakangan, kawasan Timur Tengah didera menguatnya fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama. Lebih-lebih, pascaserangan 11 September di Amerika Serikat 2001 hingga kemunculan ISIS di Syuria.

Implikasinya, kini muncul tren di tengah masyarakat Barat menilai Islam dengan prasangka steriotipenya dan berpuncak pada menguatnya fenomena Islamophobia. Sebuah kecenderungan yang sebenarnya telah mengemuka pasca-Perang Dingin.

Sebutlah Samuel P Huntington, misalnya, yang pada 1996 telah mendalilkan pola konflik pasca-Perang Dingin. Dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Hutington membangun hipotesa dan sekaligus peta konflik. Bahwa, konflik antarnegara ke muka akan ditandai oleh benturan antarperadaban, dan, bicara akar dari peradaban, berarti tidak lain ialah agama.

Di Indonesia sendiri, pasca-Orde Baru juga tak imun dari muncul menggejalanya sikap keagaaman secara ekslusif, yang berada di luar arus-utama model Islam dan keislaman yang selama ini. Islam di Indonesia selama ini dikenal sebagai Islam moderat, yang bukan saja inklusif, pluralis, tapi juga toleran dengan keragaman adat istiadat setempat ini, kini mendapat tantangan keras dari beberapa gerakan Islam transnasional.

Gerakan ini membawa paham keislaman atau sebutlah ideologi baru dari Timur Tengah, yang nisbi berbeda dari paham keislaman lokal yang lebih dahulu eksis. Masalahnya, beberapa di antara mereka ini tak ragu-ragu melakukan praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Di tengah iklim demokrasi multipartai dan banjir arus informasi, aspek primordialisme agama sebagai kontruksi pembentuk identitas diri kini justru semakin menggejala kuat. Konsekuensinya bukan saja kini gerakan syiar keagamaan menjadi lebih mengemuka melalui artikulasi propaganda politik dan mobilisasi massa—politik-identitas—melainkan juga berujung diabaikannya proses keislaman via jalan kebudayaan. Di sini patut diingat satu terminologi kunci yaitu ‘Islam-kultural’, yang sedikit banyak berhasil memotret kuatnya jalan kebudayaan dalam proses keislaman Indonesia di masa lalu daripada melalui bentuk artikulasi politik.

Merespons dinamika global, yang seolah-olah mengkonfirmasi prediksi yang dirumuskan oleh Huntington, dua kekuatan masyarakat sipil terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, pun tak tinggal diam. Kedua lembaga ini menyelenggarakan konferensi ulama se-ASEAN, ‘The Jakarta International Islamic Conference’. Berlangsung pada 13-15 Oktober 2003 di Gedung JCC Jakarta, konferensi ini mengusung tema: “Strategi Dakwah Menuju Ummatan Wasathon dalam Menghadapi Radikalisme”.

Dari sini dibentuklah Center for Moderate Moslem (CMM), yang dikomandoi Muhammadiyah dan NU untuk mengusung “Islam Jalan Tengah”. Dari sini pula strategi revitalisasi Islam moderat atau juga sering disebut ‘Islam kultural’, yang salah satunya melalui penguatan sistem pendidikan, kini tampak mengemuka.

Dalam perjalanannya kemudian, agenda revitalisasi Islam moderat ini mendapat dukungan penuh Presiden Joko Widodo. Kebijakan menginisiasi pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) mengisyaratkan signifikansi posisi Indonesia kini dan ke depan bagi Dunia Islam.



Presiden Joko Widodo berharap, Universitas Islam Internasional Indonesia nanti dapat menjadi pusat kajian, penelitian dan implementasi wacana peradaban Islam moderat—atau dalam bahasa Arab, ‘Islam Wasathiyah’. Harapannya, bukan hanya bermanfaat bagi Indonesia saja, melainkan juga bagi dunia secara umum dan Dunia Islam secara khusus.

“Sudah sewajarnya serta sepantasnya, Indonesia menjadi rujukan kemajuan peradaban Islam dunia. Ya inilah nanti tempatnya” ujar Presiden Joko Widodo saat peletakan batu pertama. Baca juga: http://www.sumatrazone.co.id/2019/03/telan-biaya-rp35-triliun-pembangunan.html?m=1

Ya, secara historis Islam masuk ke wilayah Asia Tenggara nisbi berlangsung secara damai. Islam disebarkan melalui proses interaksi perdagangan dan jalan kebudayaan, bukan melalui melalui jalan politik terlebih melalui kekerasaan dan proses penaklukan militer. Perbedaan latar belakang sejarah dan penyebaran Islam di Asia Tenggara yang berlangsung secara gradual inilah, langsung atau tidak-langsung ternyata membuat wajah dan karakteristik Islam di Asia Tenggara menjadi berbeda dengan wajah Islam di Timur Tengah.

Bicara tentang Asia Tenggara, Harry J. Benda pernah membagi kawasan ini ke dalam tiga wilayah kultural. Pertama, kawasan yang disebut Indianized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah mengalami proses di-india-kan yaitu Indonesia. Kedua, kawasan yang disebut Sinicized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah “ditionghoakan, yaitu Vietnam. Ketiga, kawasan yang disebut Hispanized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah “dispanyolkan”, yaitu Filipina. Dengan latar belakang itulah Islam masuk ke kawasan itu.

Walhasil, Islam Asia Tenggara dikenal akomodatif atas konteks keragaman budaya lokal. Bukan saja dikenal piawai mengembangkan desain alkulturasi yang bersifat inklusif dan pluralis, namun juga nampak tolerans terhadap ragam perbedaan ekspresi budaya atau keyakinan agama lokal.

Anthony Reid tentang Asia Tenggara, bicara konteks penyebaran Islam di kawasan itu posisi Jawa ditempatkan sebagai kasus khusus. Dalam karyanya yang berjudul Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1993), sejarah penyebaran Islam di Jawa jadi sub bab yang dibahas tersendiri. Reid menggarisbawahi keberadaan Kejawen atau Jawaisme. Kekuatan Kejawen yang langgeng inilah, seturut pendapatnya membuat wilayah-wilayah di Indonesia yang berbahasa Jawa menjadi tampak unik di antara budaya-budaya Islam di Asia Tenggara lainnya.

Dengan latar belakang jumlah populasi etnis Jawa sebagai etnis terbesar di Indonesia, yang mencapai lebih dari 40 persen dari total populasi, maka bukan tidak mungkin pada derajat tertentu secara langsung atau tidak langsung kekuatan Kejawen ini telah turut menyemai iklim Islam moderat di Indonesia.

Dugaan ini bukanlah mengada-ada, sekiranya menyimak kuatnya potret “toleransi agama” orang Jawa. Merujuk Ben Anderson dalam Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, dikatakan bahwa toleransi agama bagi orang Jawa bahkan telah mendarah daging dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka.

Sumber: indonesia.go.id



 
Top