JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan oleh Mahkamah Agung (MA). KPK menegaskan pemberantasan korupsi merupakan komitmen seluruh pemangku kepentingan.

"Karena pada prinsipnya, pemberantasan korupsi adalah upaya yang saling terintegrasi antara penindakan-pencegahan dan juga pendidikan," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Minggu (31/10/2021).

BACA JUGA: Ketua KPK Dukung Jaksa Terapkan Hukuman Mati di Kasus Korupsi Jiwasraya

Ia mengingatkan, keberhasilan pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen dan ikhtiar dari pemerintah, para pembuat kebijakan, lembaga peradilan, aparat penegak hukum dan seluruh elemen masyarakat. Dia mengatakan, pemberian hukuman hingga pengetatan remisi bagi koruptor dilakukan agar mencegah tindak pidana itu kembali terulang.

Ali mengatakan, korupsi adalah kejahatan yang memberikan dampak buruk luas. Sehingga, sambung dia, penegakan hukumnya selain memberi rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat, juga penting tetap mempertimbangkan efek jera yang ditimbulkan dari hukuman tersebut.

KPK memahami menghormati putusan judicial review (JR) majelis hakim MA yang mencabut dan membatalkan PP pengetatan remisi bagi narapidana extra ordinary crime, salah satunya kejahatan korupsi. Ali mengatakan, KPK juga memahami bahwa pembinaan terhadap narapidana korupsi sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham.

BACA JUGA: Semangat Pemuda Tulang Punggung Pemberantasan Korupsi di Indonesia

"Maka dari itu, kami berharap pemberian remisi bagi para pelaku extra ordinary crime, tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan masukan dari aparat penegak hukumnya," katanya.

MA mencabut dan membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Pencabutan peraturan tersebut membuat koruptor akan lebih mudah mendapatkan remisi.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera. Namun, pemidanaan sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice.

Pandangan MA juga didasarkan pada pendapat bahwa narapidana bukan hanya objek melainkan juga subjek yang dapat melakukan kekhilafan yang bisa dikenakan pidana. Atas dasar itu, mereka tidak harus diberantas. Hal yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

BACA JUGA: Nasib Pemberantasan Korupsi Tahun ke-7 Presiden Jokowi

"Bahwa berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, maka rumusan norma yang terdapat didalam peraturan pelaksanaan UU No. 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," ungkap pertimbangan majelis.

Dengan pertimbangan tersebut maka hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, keputusan itu juga berlaku setara bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

Putusan ini diketuk oleh Ketua Majelis Supandi yang beranggotakan Yodi Martono W dan Is Sudaryono. Sementara pihak yang mengajukan uji materil ini adalah Subowo dan kawan-kawan. Mereka merupakan mantan kepala desa dan warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung.

Sebelumnya, PP Nomor 99 Tahun 2012 menyatakan bahwa pelaku tindak pidana korupsi, teror dan narkoba bisa mendapatkan remisi. Namun remisi diberikan dengan syarat lebih ketat dibandingkan narapidana.

#rpb/bin





 
Top