Oleh Ayik Heriansyah
- Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat
MESKI KPK belum mengumumkan tersangka kasus korupsi kuota haji yang diduga melibatkan tokoh-tokoh NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara tegas menyatakan dukungan penuh terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut tuntas kasus korupsi kuota haji, termasuk jika melibatkan pengurus NU.
Sekretaris Jenderal PBNU, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), menegaskan bahwa PBNU siap memberikan keterangan apabila diminta oleh penyidik, sebagai bentuk penghormatan terhadap proses hukum yang sedang berjalan.
“Jika ada pengurus yang memang diperlukan keterangannya, tentu kita sungguh-sungguh menghormati. Kita harapkan yang dimintai keterangan bisa memberikan penjelasan dengan baik, sebagai bagian dari warga negara yang taat hukum,” ujar Gus Ipul (inilahdotcom, 15/9/2025).
Sebelumnya A’wan PBNU, KH. Abdul Muhaimin, bahkan mendesak KPK agar segera menetapkan tersangka agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan warga NU. Ia menegaskan bahwa penelusuran aliran dana dan pemeriksaan petinggi PBNU adalah bagian dari tugas KPK, dan PBNU mendukung penuh langkah tersebut (antaranews.com, 13/9/2025).
Kasus ini ujian bagi korsa NU. Dalam dunia organisasi, korsa yakni semangat kebersamaan dan solidaritas antar anggota menjadi perekat tanda soliditas. Apakah warga NU akan membela mati-matian tokoh-tokohnya atas dasar menjaga marwah jam’iyah tanpa peduli proses hukum?
Namun demikian supremasi hukum adalah benteng terakhir yang menjaga keadilan dari runtuhnya moral kolektif. Ia menuntut bahwa tidak ada satu pun individu, setinggi apa pun jabatannya, sedekat apa pun hubungannya, yang berada di atas hukum.
Supremasi hukum di atas korsa pakem yang dianut umat Islam Ahlu sunnah wal jama’ah sejak zaman Nabi saw masih hidup.
Dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah dan menyampaikan: “Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan. Namun ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka dikenakan hukuman hadd. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari No. 4304 dan Muslim No. 1688).
Fatimah bukan hanya putri Nabi. Ia adalah belahan jiwa, cahaya hati, wanita paling mulia di zamannya. Tapi di hadapan hukum, tidak ada ruang untuk kompromi. Hadis ini deklarasi bahwa hukum tidak tunduk pada hubungan darah.
Prinsip hukum di atas korsa juga dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Umar bin Khattab menghukum putranya sendiri Abdurrahman karena minum khamr adalah pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Setelah dicambuk oleh gubernur Mesir, Umar tetap memerintahkan agar anaknya dikirim ke Madinah dan dihukum ulang di hadapan publik (Al-Musannaf karya Abdur Razzaq 9/23).
Korsa yang benar bukan yang menutupi kesalahan, tapi yang mendorong anggotanya untuk jujur, bertanggung jawab, dan berani menanggung akibat. Korsa yang sehat adalah yang bangga ketika ada anggota yang berkata, “Saya salah, dan saya siap dihukum.”
Sebaliknya, korsa yang melindungi koruptor, pembohong, dan pelanggar hukum adalah racun yang membunuh dari dalam. Ia menggerogoti integritas, melumpuhkan kepercayaan, dan menjadikan organisasi sarang bagi berbagai bentuk penyimpangan.
Sikap PBNU yang mendukung KPK untuk mengusut siapa saja termasuk warga NU yang diduga terlibat kasus korupsi kuota haji, patut diapresiasi. Memang begitulah seharusnya di mana supremasi hukum ditempatkan di atas korsa organisasi. (*)