JAKARTA -- Tahun 2020 menorehkan catatan pahit dalam buku utang Indonesia. Pemerintah menarik utang yang besar guna meredam anjoknya ekonomi akibat wabah COVID-19 yang merebak dari Wuhan China akhir 2019.

Pada masa pandemi, pemerintah harus menggelontorkan belanja negara yang lebih besar dari pendapatannya. Sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit di atas 3 persen, sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020.

Kementerian Keuangan memperkirakan defisit APBN 2020 akan melebar dari target yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.039, 2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan adanya defisit yang besar, pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan APBN lainnya, termasuk melalui utang. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, utang yang dibuat di tengah masa krisis untuk selamatkan rakyat.

"Makanya ada saja orang yang nyinyir ke saya itu utang-utang. Ya enggak apa-apa, wong itu utang untuk selamatkan jiwa seluruh Republik Indonesia," ujar Sri, Senin, 2 November 2020.

Lantas bagaimana alur penambahan utang Indonesia di masa pandemi ini. Berikut VIVA rangkumkan dalam Kaleidoskop 2020.

1. Pemerintah butuh pembiayaan Rp1.039,2 triliun untuk APBN 2020

Defisit atau kebutuhan pembiayaan APBN yang dalam Perpres 72 Tahun 2020 ditargetkan sebesar Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB Indonesia pada dasarnya melonjak drastis dari UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020.

Sebelum COVID-19 terdeteksi di Wuhan, China, dan sebelum merebak ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, kebutuhan pembiayaan APBN 2020 ditargetkan sebesar Rp307,2 triliun atau sebesar 1,76 persen. Artinya naik sekitar 70 persen.

Pembiayaan yang melonjak tersebut ditetapkan dalam Perpres 72 Tahun 2020 berasal dari pembiayaan utang, pembiayaan investasi, dan pemberian pinjaman. Kemudian, kewajiban penjaminan dan pembiayaan lainnya, termasuk berbagi beban dengan atau burden sharing Bank Indonesia.

2. BI dan Kementerian Keuangan berbagi beban

Kebijakan itu dimulai setelah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan. SKB terbagi menjadi dua, yakni SKB I dan SKB II yang masing-masing memiliki ketentuan tersendiri.

SKB I pada 16 April 2020 memperbolehkan BI untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Sementara itu, melalui SKB II pada 7 Juli 2020 pemerintah dan BI akan membagi beban pembiayaan berdasarkan kelompok barang publik dan barang non publik.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, sampai dengan 15 Desember 2020, Bank Indonesia telah membeli SBN di pasar perdana melalui mekanisme pasar sesuai dengan SKB I, sebesar Rp75,86 triliun. Termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private Placement. 

Sementara itu, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan Public Goods dalam APBN 2020 oleh Bank Indonesia melalui mekanisme pembelian SBN secara langsung sesuai dengan SKB II berjumlah Rp397,56 triliun.

"Dengan demikian secara keseluruhan Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBN untuk pendanaan dan pembagian beban dalam APBN 2020 guna program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp473,42 triliun," kata Perry, 17 Desember 2020. 

Selain itu, Bank Indonesia, kata Perry, juga telah merealisasikan pembagian beban dengan Pemerintah atas penerbitan SBN. Untuk pendanaan, Non Public Goods-UMKM sebesar Rp114,81 triliun dan Non Public Goods-Korporasi sebesar Rp62,22 triliun sesuai SKB II.

3. Utang meroket

Bank Indonesia mengumumkan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kembali naik pada Oktober 2020 menjadi US$413,4 miliar atau sekitar Rp5.828,94 triliun kurs Rp14.100 per dolar AS. Lebih tinggi dari posisi akhir September 2020 sebesar US$408,5 miliar.

Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Oktober 2020 sebesar 38,8 persen. meningkat dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 38,1 persen.

Sementara itu, Kementerian Keuangan mengumumkan, posisi utang pemerintah per akhir November 2020 sebesar Rp5.910,64 triliun.

Sebagian besar utang pemerintah dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp5.085,04 triliun. Total utang dari pasar SBN domestik Rp3.891,91 triliun dan SBN valuta asing atau valas Rp1.193,12 triliun. Sisanya, berasal dari pinjaman Rp825,59 triliun, terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp11,55 triliun dan pinjaman luar negeri Rp814,05 triliun.

Dengan demikian rasio utang pemerintah terhadap PDB pada bulan itu sebesar 38,13 persen. Lebih tinggi dari rasio utang pemerintah terhadap PDB pada Januari 2020 yang sebesar Rp4.817,55.

Pengelolaan utang pemerintah telah diatur di dalam UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 dan UU APBN yang ditetapkan setiap tahunnya. UU Keuangan Negara membatasi defisit APBN sebesar 3 persen dari rasio PDB serta batas maksimal rasio utang sebesar 60 persen PDB.

Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020, defisit pembiayaan APBN bisa dimungkinkan di atas 3 persen.

4. Indonesia masuk daftar 10 Negara dengan utang terbesar di dunia

Bank Dunia merilis International Debt Statistics (IDS) 2021 pada Oktober 2020. Data statistik setebal 194 halaman tersebut merinci utang banyak negara-negara di dunia hingga akhir 2019. Mulai dari besaran total, sumber utang hingga rasio utang.

Berdasarkan data tersebut, 10 besar negara dengan utang terbesar adalah China berada pada posisi pertama dengan total ULN mencapai US$2,1 triliun. Diikuti Brasil US$569,39 miliar, India US$560,03 miliar dan Rusia US$490,72 milar.

Setelahnya baru Meksiko US$ 469,72 miliar, Turki US$ 440,78 miliar, dan Indonesia dengan nilai utang US$402,08 miliar. Kemudian Argentina US$279,30 miliar, Afrika Selatan US$188,10 miliar dan Thailand US$180,23 miliar. 

ase/viva

 
Top