JAKARTA -- Ketua Umum Relawan Sajojo, Gus Sholeh MZ, menilai adalah sekelompok orang barisan sakit hati  yang menggulirkan wacana pemakzulan (pemberhentian-red) Presiden Joko Widodo.

Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh nasional, akademisi, kalangan intelektual yang menggulirkan hal ini. Padahal arah ke pemakzulan tidak berdasar dan sulit dilakukan.  

"Para ketua umum Relawan Jokowi se-Indonesia dan jajarannya tentu menolak upaya gerakan inkonstitusional ini. Dimana ada segelintir orang yang mem- blow up isu kebangkitan komunisme dan pemakzulan Presiden Jokowi," ungkap Gus Sholeh yang menjadi keynote speaker dalam acara diskusi publik Webinar: 'Waspada Barisan Sakit Hati Keluar Sarang,' Sabtu (6/6/2020) sing, lewat aplikasi zoom.

Menurut Gus Sholeh, untuk itu para Relawan Jokowi menggelar diskusi berbasis virtual ini demi mengkonsolidasikan pendukung Jokowi. Tetapi, katanya yang terpenting adalah demi menjaga keutuhan bangsa dan cinta NKRI.

"Di tengah situasi pandemi covid 19 seharusnya pemerintah didukung untuk mengatasi bencana dunia ini. Akan tetapi mereka bermain di air keruh dengan  menggulirkan wacana dan bertujuan memakzulkan Presiden Jokowi. Ini sudah tidak benar," tandas Gus Sholeh.

Selanjutnya salah satu narasumber, Budi Djarot selaku Ketua Gerakan Jaga Indonesia (GJI) mengatakan, Presiden Jokowi jangan hanya fokus pada ekonomi dan penanganan bencana Covid-19 saja. Katanya, Pak Jokowi juga harus harus mengurusi politik, sebab kelompok tersebut merupakan ancaman ke depan.

"Isu kebangkitan komunisme/PKI sengaja digulirkan oleh kelompok Islam. Padahal sudah jelas dasar negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan mereka terus menggulirkan isu pemakzulan Presiden Jokowi," terangnya.

Kata Budi Djarot, sebagai Relawan Jokowi kalau kita cinta dan loyal kepada presiden, kita harus memperkuat diri dan kalau perlu turun ke jalan. Selain itu kita berharap aparat pemerintah dan intelejen tidak tinggal diam mewaspadai gerakan barisan sakit hati ini.  

"Kita harus bisa mendefinisikan siapa kawan dan siapa lawan. Jelas sudah hitam putihnya, kita adalah Pancasila dan mereka kelompok khilafah. Bendera mereka hitam dan kita bendera merah putih," tukasnya.

Bahkan kata Budi Djarot ke depan kita tidak bisa berkompromi pada kelompok orde baru, Cendana dan barisannya. Tambahnya, sudah jelas kata Bung Karno (Presiden Soekarno) pada istrinya Ratna Sari Dewi bahwa dia kecewa pada peristiwa 1965, dimana Indonesia kembali ke titik nol dalam membangun bangsa. 

"Kalau Jokowi tidak waspada, kelompok mereka akan bangkit dan kapan saja akan merebut kekuasaan dan NKRI terancam terbelah," tandas Budi Djarot.  

Sementara itu KH Saiful Bahrim, M.Ag Wakil Ketua Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengatakan, dari sudut pandang agama, seorang pemimpin pemerintahan adalah anugerah Tuhan. Katanya, yang menjadi pemimpin bukanlah sembarang orang dan tidak semua orang bisa menjadi pemimpin.

"Dalam Islam ada perintah untuk mentaati pemimpin, sebab Allah SWT menguasai hati pemimpin. Maka ikutilah seorang pemimpin diberikan rahmat atau nikmat, jika tidak maka akan datang mikomah/bencana," ujar tokoh ulama NU ini.

Menurutnya, jangan pernah mencari-cari kesalahan seorang pemimpin, karena tentu akan membuat keonaran. Maka solusinya adalah tetap boleh mengkritik dan mengingatkan pemimpin dengan syarat, disampaikan dengan lemah lembut, keadilan dan oleh orang yang berilmu atau ahli. 

"Mengkritik pemimpin tidak boleh dean keras dan harus santun. Hal itu diatur dalam pandangan Islam seperti Nabi Musa kepada Fir'aun. Apalagi di tengah  pandemi Covid-19 kita harus bekerjasama dan tidak saling menyalahkan," terangnya.

Jika ada upaya inkonstitusional, aparat harus bertindak tegas Yanes Yosua Frans, Ketua Relawan Wira Lentera Jiwa (WLJ). Menurutnya isu kebangkitan komunisme/PKI dan pemakzulan Presiden Jokowi sengaja dilakukan oleh pihak yang INCIM menyerang pemerintah. Mereka sengaja menggunakan stigma komunis untuk menyudutkan pemerintah, seolah-olah membiarkan komunisme berkembang.  

"Budaya dan ideologi komunis sudah selesai melalui TAP MPR XXV, bahkan di rumah besar komunis itu sendiri di Rusia, sudah pudar. Bahwa bahaya laten komunis itu ada dan saat ini tidak ada lagi di Indonesia," tegas Yosua pria asal Ambon Maluku ini.

Katanya, dahulu orde baru menerapkan Program Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai tuntunan, itu bagus, akan tetapi oleh Soeharto dijadikan alat kendaraan membungkam rakyat. Ia mengatakan, bangsa Indonesia jangan sampai menjadi bangsa kuli atau bangsanya para kuli, Indonesia harus maju ke depan.

"Jokowi adalah Presiden yang mampu membangun national character building dan character value building. Jangan nilai-nilai karakter bangsa yang sudah dibangun diruntuhkan begitu saja. Saya sepakat kita harus bersatu melawan kelompok-kelompok yang menganggu pemerintah," tegas Yosua.  

Menurutnya, para Ketua Umum Relawan Jokowi harus bersatu melawan orang yang menginginkan impeachmen. "Kalau Jokowi yang melanggar konstitusi tidak perlu mereka yang meminta, kita yang dahulu meminta presiden mundur, tapi apa kesalahannya? Saat ini Pak Jokowi sudah berupaya membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dengan visinya "SDM Unggul Indonesia Maju". Untuk itu kita kawal sampai 2024 upaya Presiden Jokowi  membangun bangsa di tengah wabah Covid-19 ini," tutupnya.

Selanjutnya, C Suhadi, SH, MH Ketua Umum Relawan Negriku Indonesia Jaya (NINJA) meminta kepada semua pendukung dan relawan Jokowi, untuk bergerak lebih masif dan solid membentengi Presiden Jokowi. Keberhasilan pada Pilpres 2024 lalu, harus dilakukan lagi, dimana terus ada gerakan konsolidasi.

Katanya YLBHI pernah meminta agar buzzer pendukung Jokowi untuk berhenti bicara di sosial media. Terlepas apa maksud dan tujuan meminta buzzer pendukung Jokowi untuk berhenti bergerak, ini menjadi bukti bahwa Relawan Jokowi cukup loyal dan solid.  

"Padahal dalam era demokrasi peran media dan sosial media adalah ruang kampanye terbuka untuk menyatakan dukungan. Artinya kalau para pendukung dan relawan solid maka isu-isu pemakzulan bisa dibantah dan dikanter," papar Suhadi.

Selanjutnya pembicara terakhir, Petrus Selestinus, pengamat hukum, mengatakan, gerakan oposisi radikal sudah dimulai sejak lama. Dimana pertama-tama dimulai dengan gerakan #2019GantiPresiden yang berakhir gagal. Selanjutnya, menggugat hasil pilpres ke MK, bahkan tuntutannya diskualifikasi pasangan 01 dan atau meminta Pilpres ulang.  

Katanya juga, kemudian mereka mencoba menunggangi isu RUU KPK, seolah-olah Jokowi pro terhadap koruptor. Bahkan mereka mengancam akan menggunakan kekuatan people power dan ingin memakzulkan Presiden.

"Terakhir ini kelompok ini ada lagi dengan menggunakan isu Perppu 01 Tahun 2020 berkaitan tentang Pandemi Covid-19. Dimana banyak tokoh-tokoh hebat, paham konstitusi, HAM, penegakan hukum, namun kenapa perilakunya demikian? Padahal untuk memakzulkan/memberhentikan Presiden Jokowi tidak mudah," jelas Petrus sapaan akrabnya.

Menurutnya ada tiga hal presiden bisa diganti. Pertama, melalui Pemilu 5 tahunan, kedua Presiden diberhentikan dan Presiden digantikan wakilnya. "Presiden berhenti kalau berhalangan tetap dan tentu digantikan Wakil Presiden-nya. Sementara pemberhentian secara konstitusi harus melalui DPR RI, Mahkamah Konstitusi (MK) dan MPR RI. Tentu tidak mudah apabila presiden tidak memiliki kesalahan yang jelas, kemudian dukungan kepada Jokowi masih kuat," terangnya.

Kata Petrus lagi, Presiden RI bisa diberhentikan apabila melanggar hukum, melanggar konstitusi, terlibat tindak pidana atau korupsi, atau secara sukarela mengundurkan diri. Tetapi hal itu tidak terjadi dan tidak mungkin terjadi begitu saja.

Tambahnya, sudah seharusnya aparat hukum bisa bertindak tegas, apabila ada upaya makar dan merongrong pemerintahan yang sah. Saya yakin aparat hukum tidak tinggal diam.  

"Untuk relawan jika menemukan hal-hal yang dianggap makar bisa berkoordinasi dengan aparat dan jangan bersikap reaktif yang kontra produktif," serious mengingatkan.

Sumber: radarindonesia
 
Top