KEPALA Dinas Kesehatan Sumatera Barat, dr. Hj. Merry Yuliesday, MARS kembali menegaskan bahwa sejumlah persoalan terkait kesehatan di provinsi itu adalah hilir dari beragam persoalan kemasyarakatan sehingga harus diselesaikan secara lintas instansi.

"Masalah gizi buruk, stunting, kematian ibu dan bayi masih ada, meski cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tetapi kalau dilihat lebih dalam, sebagian besar kasus itu tidak berdiri sendiri. Banyak penyebabnya dan itu bukan semata bidang kesehatan," ungkap Merry kepada www.sumatrazone.co.id, ketika dijumpai di ruang kerjanya, Selasa (19/2/2019).


Bertolak dari kondisi masih cukup tingginya angka kematian ibu dan bayi di beberapa kabupaten di Sumatera Barat berdasarkan data tahun 2018, terutama di Agam dan Pesisir Selatan, menurut Merry itu hal itu juga terkait dengan budaya lokal yang nilai-nilai kearifannya tentu lebih dipahami oleh masyarakat pendukungnya. Namun menurutnya, sebagian praktik yang dilakukan kadang sangat jauh dari segi ilmu kesehatan dan tidak bisa diterima secara logika. Seperti proses bersalin yang masih  kepada dukun beranak di pelosok daerah tertentu. 

Cara persalinan oleh dukun beranak tentunya berbanding jauh dengan pemahaman ilmu kesehatan yang menilai masa menjelang melahirkan itu adalah masa siaga bagi keluarga terutama suami agar bisa secepatnya mengantar ke fasilitas kesehatan untuk melahirkan.

Fasilitas melahirkan itu juga dijaga kebersihannya agat tidak terjadi infeksi pada sang ibu.


"Persoalan budaya ini, tidak bisa hanya diselesaikan oleh instansi bidang kesehatan. Perlu instansi lain yang terlibat," katanya.

Demikian juga halnya dengan kematian ibu dan bayi di daerah terpencil pada sejumlah kabupaten tertinggal di Sumbar.

Sebagian disebabkan karena tidak adanya sarana transportasi yang memadai sehingga kasus-kasus tertentu yang perlu penanganan cepat, tidak bisa dilakukan hingga tingkat kematian jadi tinggi.

Gizi Buruk dan Stunting


Persoalan gizi buruk dan stunting, imbuh Merry juga berkaitan dengan kondisi daerah yang terpencil dan tidak memiliki akses yang baik.


Dari pendataan yang dilakukan pada tahun 2016, di daerah tertinggal seperti Kabupaten Kepulauan Mentawai, merupakan daerah yang paling tinggi kasus penderita gizi buruknya yang mencapai angka 81 kasus.

Penyebab tingginya kasus gizi buruk di daerah tertinggal tersebut, ungkap Merry, akibat dari kesulitan bagi ibu untuk melakukan kontrol pengobatan kepada anaknya ke Posyandu, kemiskinan, persepsi masyarakat soal biaya berobat sangat mahal, diperparah lagi sulitnya akses jalan di daerah tersebut.


Tidak hanya daerah tertinggal yang dikatakan memiliki kasus gizi buruk, tetapi juga terjadi di kota besar, seperti Kota Padang. Berdasarkan data 2016 dan 2017, kota ini merupakan tertinggi kedua kasus gizi buruk di Sumatera Barat dengan 68 kasus. Rata-rata gizi buruk di Padang terjadi di wilayah yang jauh dari pusat perkotaan dan tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah.


“Sebenarnya banyak hal penyebab terjadinya gizi buruk itu, kita lihat saja pada sektor pendidikan, pola asuh anak dan sanitasi lingkungan yang kurang bersih. Ke depan, persoalan yang ditemui ini akan kita lanjuti dengan cara menjangkau daerah yang terjauh itu,” ujarnya. 

"Ini hanya sebagian contoh saja. Artinya, kami dari Dinas Kesehatan Sumatera Barat terus berupaya untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, tetapi kami tidak bisa bekerja sendiri karena persoalannya sangat komplek," ujarnya.

Ia berharap seluruh instansi yang ada juga memiliki kerangka berfikir yang sama untuk menyelesaikan persoalan kesehatan di Sumatera Barat agar lebih maksimal. 

***
 
Top