Penggugat PMH terhadap Dewan Pers mengharapkan pengadilan menyelamatkan kemerdekaan pers

Hari ini, Rabu, 13 Februari 2019, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akan membacakan hasil kesimpulan atau putusan atas perkara nomor 235 yang mengadili gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh organisasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) sebagai penggugat terhadap Dewan Pers sebagai tergugat.

Persidangan atas gugatan perdata yang sudah bergulir sejak Mei 2018 lalu itu diharapkan akan memberikan hasil maksimal dalam menyelamatkan Kemerdekaan Pers Indonesia yang saat ini sedang tercabik-cabik, nyaris mati, ibarat telur di ujung tanduk. Harapan para insan pers se-nusantara, kiranya Majelis Hakim memberikan penilaian yang obyektif terhadap substansi guguatan para penggugat terhadap Dewan Pers.

Persoalan pers yang dipicu oleh adanya beberapa kebijakan Dewan Pers yang melampaui kewenangannya, bahkan bertentangan dengan UUD dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, serta melanggar UU dan peraturan lainnya dipandang sangat penting dan mendesak untuk ditelaah secara serius dan mendalam dalam rangka mencari altenatif solusi terhadap masalah pelik yang mendera kehidupan jurnalisme dalam negeri beberapa tahun terakhir. Salah satunya, sebagaimana materi gugatan PMH terhadap Dewan Pers adalah kebijakan tentang kewajiban Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang bukan ranah kewenangan Dewan Pers melakukan hal tersebut, melainkan mengacu kepada UU Nomor. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan RI dan PP No. 10 tahun 2018 junto PP No. 32 tahun 2013 tantang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Para penggugat meminta pengadilan untuk membatalkan kebijakan Dewan Pers terkait UKW tersebut. Selain itu, kebijakan Dewan Pers tentang verifikasi media dan penetapan status kewartawanan seseorang yang bukan menjadi kewenangan Dewan Pers juga harus dibatalkan pengadilan.

Kematian wartawan Muhammad Yusuf di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada 10 Juni 2018 lalu menjadi titik krusial yang menjadi momok menakutkan bagi kalangan pers di tanah air. Bagaimana tidak, rekomendasi Dewan Pers yang mempersilahkan polisi memproses hukum almarhum Muhammad Yusuf menggunakan pasal pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU ITE menjadi bukti bahwa perlindungan para penghasil karya jurnalistik di Indonesia sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak berjalan sama sekali.

Dewan Pers mengeluarkan ratusan rekomendasi serupa yang menimpa dan mengancam wartawan saat ini, hanya dengan dalih bahwa siwartawan belum ber-UKW dan/atau medianya belum terverifikasi Dewan Pers.

Puluhan bahkan ratusan kasus kriminalisasi wartawan sedang berproses di tangan para aparat hukum di hampir seluruh pelosok negeri. Umumnya, kasus kriminalisasi tersebut dipicu oleh ketidak-nyamanan para pihak tertentu yang merasa kepentingan (umumnya terkait bisnis dan kekuasaan) terganggu oleh penerbitan berita di berbagai media massa. Kasus yang paling menonjol adalah publikasi berita tentang korupsi pejabat disusul tentang penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para pejabat pemerintahan.

Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 UU Nomor 40 tahun 1999 semula diharapkan menjadi mediator yang menjembantani komunikasi dan koordinasi antar kalangan media dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, pada realitasnya justru tampil sebagai sosok penentu kebenaran dan bahkan berfungsi bak aparat kepolisian yang dapat menentukan sanksi hukum bagi pekerja pers. Kondisi ini yang akhirnya memunculkan fenomena unik nan memilukan di kalangan jurnalis yang dilukiskan dalam sebuah pernyataan: “Hanya di Indonesia, hasil karya berpikir dianggap kriminal”.

Pesatnya perkembangan media massa berbasis teknologi informasi dalam format media online menjadi pembuka ruang yang lebih luas bagi maraknya kasus kriminalisasi wartawan. Berbagai kemudahan yang disajikan oleh teknologi publikasi media online di satu sisi telah membuka peluang bagi semua lapisan masyarakat untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme, baik secara professional maupun sebagai hobi dan penunjang aktivitas utamanya. Namun, di sisi lain kondisi ini telah membuat suasana permedia-massaan dalam negeri seakan hilang kendali, melaju secara serampangan, dan bahkan dikesankan liar. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidak-siapan masyarakat yang mencoba masuk menggeluti dunia jurnalisme dengan modal kemampuan SDM-nya yang kurang memadai.

Sebenarnya, jika saja para pemangku kepentingan, terutama pihak pemerintah, dari pusat hingga di daerah-daerah memahami persoalan publikasi dan media massa dengan benar, kesemrawutan itu tidak perlu terjadi, atau minimal tidak harus dirisaukan. Justru sebaliknya, pemerintah dan pihak-pihak yang diamanahi mengelola kehidupan pers Indonesia semestinya melihat potensi besar yang disediakan oleh system publikasi berbasis media online dan variannya. Bukankah teknologi informasi dengan produk utamanya internet, yang menyediakan ruang bagi media online, merupakan landasan penting bagi mewujudnya era baru bernama Industri 4.0?

Media online sewajarnya menjadi salah satu poros utama sebagai pendukung dalam menciptakan produk-produk unggulan nan kreatif dan inovatif dalam rangka mengisi era Industi 4.0 itu. Dunia media online yang segera akan menutup sejarah media cetak merupakan ruang maha luas yang dapat membuka lapangan kerja baru bagi ribuan, bahkan jutaan orang. Peningkatan SDM rakyat Indonesia di bidang jurnalisme menjadi kunci penting bagi perbaikan dan pengembangan publikasi yang mencerahkan, mencerdaskan dan menginspirasi bangsa menuju pencapaian cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada konteks itulah sebenarnya, lembaga semacam Dewan Pers dapat memainkan peranannya, sebagai fasilitator pencapaian masyarakat yang cerdas informasi, yang tidak hanya menjadi pemadam kebakaran bagi pihak-pihak yang bertikai, namun lebih jauh menjadi akselerator bagi peningkatan kecerdasan publik, baik kalangan pers maupun masyarakat konsumen informasi media massa pada umumnya.

Dewan Pers amat tidak penting untuk mengatur cara berpikir dan berkreasi seseorang. Ia bukanlah mahluk yang diharapkan menjadi hakim penentu baik-buruknya, benar-salahnya, dan/atau berguna dan tidak-bergunanya sebuah karya jurnalistik seseorang. Dewan Pers tidak diberi kewenangan untuk melakukan semua itu, karena memang amat sangat tidak diperlukan di dalam sebuah masyarakat yang menganut sistim demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.

Oleh karena itu, adalah sebuah kenaifan jika kita melihat keberadaan lembaga Dewan Pers dengan perilaku mal-administratif sebagai sesuatu yang masih penting saat ini. Adalah lebih naif lagi, jika Dewan Pers yang dalam berbagai kebijakannya justru menginjak-injak hak demokrasi rakyat di negeri ini dibiarkan terus melenggang melanjutkan lelakunya yang dapat disimpulkan bertujuan untuk membunuh kemerdekaan pers.

Membiarkan kebijakan Dewan Pers yang melampaui kewenangannya sebagaimana terjadi saat ini, merupakan wujud penghianatan terhadap semangat reformasi yang dilandasi oleh keinginan mengimplementasikan kehidupan berbagsa, bermasyarakat dan bernegara yang demokratis.

Jakarta, 13 Februari 2019
Kuasa Hukum Penggugat,
Dolfie Rompas, S.Sos, SH, MH
 
Top