JAKARTA -- Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat (LKAAM Sumbar) menggugat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan itu terkait Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Berdasarkan website MA, Senin (28/3/2022), gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 34 P/HUM/2022. Berkas itu sedang ditangani oleh tim yudisial C. LKAAM meminta Permendikbud itu dicabut dengan alasan peraturan itu multitafsir dan menjadi pintu masuk melegalkan seks bebas/zina.

Atas gugatan itu, Komnas Perempuan meminta MA menolak gugatan judicial review Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 itu.

"Setelah menelaah permohonan uji materiil ini, Komnas Perempuan berpendapat bahwa permohonan ini patut ditolak secara keseluruhan, sebagai penegasan kewajiban negara untuk menyediakan ruang aman dari kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan," demikian sikap Komnas Perempuan dalam siaran pers.

Ada tiga hal yang menjadi alasan Komnas Perempuan. Pertama, Pemohon tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbudristek 30/2021 karena tidak mampu membuktikan kualifikasinya antara sebagai masyarakat hukum adat atau badan hukum publik, tidak memiliki kerugian hak warga negara, tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan dan pembatalan obyek permohonan tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual. Kedua, Mendikbud telah memenuhi prosedur formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Yaitu, Permendikbudristek 30/2021 diterbitkan sesuai kewenangan dan telah memenuhi proses menerima saran dan masukan baik secara lisan maupun tertulis dari kelompok masyarakat yang akan menjadi sasaran pemberlakuan obyek permohonan," ujar Komnas Perempuan.

Alasan ketiga, frasa 'tanpa persetujuan korban' atau 'tidak disetujui oleh korban' adalah untuk:

(i) membedakan antara kekerasan dengan aktivitas seksual lainnya yang ditindaklanjuti oleh Tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;

(ii) mengenali siapa pelaku dan siapa korban, sehingga kemudian dapat ditentukan pemberian layanan pemulihan dan sanksi dari aktivitas seksual yang dimaksud;

(iii) mendidik civitas akademika, khususnya peserta didik perempuan, untuk menolak permintaan seksual berkaitan dengan relasi kuasa yang ada di lingkungan Pendidikan, dan

(iv) mendidik civitas akademika bahwa terdapat aktivitas-aktivitas dalam relasi kuasa yang tidak disukai, tidak diinginkan, menyerang atau tidak disetujui seseorang sehingga seharusnya relasi yang terbangun adalah relasi dengan budaya penghormatan terhadap tubuh dan seksualitas setiap orang;

(v) sejalan dengan prinsip dan norma HAM internasional sebagaimana dimandatkan PBB yang menekankan 'persetujuan korban' sebagai inti dari kekerasan seksual berbasis gender.

"Frasa 'tanpa persetujuan korban' atau 'tidak disetujui oleh korban' ini ditemukan pada Pasal 5 Ayat 2 huruf b, f, g, h, j, l dan m yang memuat frasa yang ditafsirkan Pemohon sebagai pintu membuka terjadinya perzinaan di lingkungan perguruan tinggi. Komnas Perempuan berpendapat bahwa tafsir ini menunjukkan ketidakpahaman pada persoalan kekerasan seksual juga keliru karena ditafsirkan terbalik (a contrario)," ujar Komnas Perempuan.

Dalam pernyataan sikapnya itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan pembaruan mekanisme uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di MA. Yaitu, untuk mendengar para pihak yang berkepentingan, termasuk warga perempuan yang memiliki pengalaman khas dan kepentingan berbeda dibandingkan laki-laki atas keberadaan dan penerapan norma hukum, agar putusan uji materiil di MA berkontribusi terhadap penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

"Komnas Perempuan berpandangan bahwa hukum acara sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 tahun 2011 perlu diperbarui," ucap Komnas Perempuan.

Sebelumnya, Permendikbud PPKS menuai kontroversi sejak diluncurkan. Muhammadiyah meminta Permendikbudristek tentang PPKS itu dicabut. Salah satu alasan yang dikemukakan Muhammadiyah adalah adanya pasal yang dianggap bermakna terhadap legalisasi seks bebas di kampus.

Sikap Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu dituangkan dalam keterangan tertulis yang dikeluarkan pada Senin (8/11/2021). Surat ditandatangani oleh Ketua Majelis Diktilitbang Lincollin Arsyad dan Sekretaris Muhammad Sayuti.

Kritik juga datang dari anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. Ledia menilai terbitnya Permendikbud ini tidak tepat lantaran UU yang menjadi dasarnya hukumnya belum ada.

"Di dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang (No 12 Tahun 2011) tersebut, dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada," kata Ledia seperti dikutip dalam laman resmi PKS, Jumat (5/11/2021).

Untuk diketahui, LKAAM sebelumnya menang melawan tiga menteri sekaligus, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Agama. Yaitu terkait SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut. Kemenangan di MA itu membuat SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut harus dicabut.

#dtc/asp/haf



 
Top