SEPANJANG tahun 2021, Indonesia menempati peringkat ke-96 dalam Indeks Persepsi Korupsi, dari 180 negara yang tercatat di dunia. Data yang dipublikasi oleh Transparency International (The Global Coalition Against Corruption) itu juga menyebut bahwa skor atau indeks prestasi korupsi yang diperoleh Indonesia adalah 38 dari total 100.

Fakta tersebut tentunya perlu menjadi perhatian, sebab hal ini mencerminkan masih masifnya kejadian korupsi di Tanah Air. Apalagi, korupsi yang dilakukan oleh para pejabat.

Satu hal yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya motif para pejabat tersebut sehingga berani merampas uang negara? Melansir laman Pusat Edukasi Antikorupsi, seseorang yang melakukan korupsi pada intinya selalu merasa tidak puas dan serakah.

Oleh karena itu, harta akan terus dicarinya dengan menggunakan jalur cepat, yaitu korupsi. Motif tersebut diperkenalkan oleh seorang penulis bernama Jack Bologna. Ia menggunakan teori GONE, yakni Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).

Secara garis besar, ada 3 faktor yang melatarbelakangi seseorang berani melakukan korupsi, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan Monopoli Kekuasaan, Lemahnya Akuntabilitas dan Diskresi Kebijakan.

1. Faktor Internal 

Faktor ini datang dari dalam diri seorang, termasuk di antaranya adalah memiliki gaya hidup konsumtif, sifat serakah, dan memiliki moral yang lemah.

2. Faktor Eksternal

Keberanian seseorang melakukan korupsi mencakup aspek organisasi, hukum, politik, ekonomi dan sosial.

3. Monopoli Kekuasaan, Lemahnya Akuntabilitas dan Diskresi Kebijakan

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menilai, ada setidaknya 3 faktor utama yang menjadi pemantik seorang kepala daerah melakukan korupsi, yakni monopoli kekuasaan, lemahnya akuntabilitas, dan diskresi kebijakan.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan BPKP, kepala daerah sudah pasti memiliki kekuasaan yang luas dan sangat besar dalam mengelola APBD, pemberian izin sumber daya alam, menerima atau merekrut pejabat daerah, memiliki dinasti kekuasaan, dan berperan dalam pengadaan barang, jasa, serta peraturan kepala daerah.

Selain ketiga faktor utama tersebut, ada pula faktor lainnya, seperti minimnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, mahalnya biaya pemilukada, kepala daerah yang kurang memahami peraturan, dan konsep budaya yang keliru.

#SurveiTimMPI





 
Top