Oleh Gunawan Trihantoro
- Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
KETEGANGAN di Timur Tengah terus memuncak setelah Israel dan Iran melancarkan serangan militer baru satu sama lain pada Sabtu (14/6/2025) malam waktu setempat. [1]
Di selatan Iran, tempat gas mengalir dari dada bumi,
ada ladang yang dulu bersenandung tiap pagi.
Namanya South Pars, urat nadi energi,
menyatu dengan laut dan langit,
seperti doa yang terus naik tanpa henti.
Tapi pagi itu, suara berubah.
Bukan siulan pipa,
melainkan jerit logam dan gelegar yang memecah.
Rudal-rudal tak punya nama,
tapi kita tahu dari mana datangnya.
Langit bukan lagi pelindung,
tapi cermin dari dendam yang bersarang dalam hitung-hitungan geopolitik.
“Ini bukan hanya tentang ladang gas,” kata seorang teknisi,
“ini tentang siapa yang boleh bernapas dan siapa yang dicekik.”
-000-
Anak itu bertanya kepada ibunya:
“Bu, kenapa langit marah?”
Ibunya hanya bisa memeluk,
sambil menatap layar ponsel yang menampilkan kobaran di fase empat belas.
Gas meledak, bukan untuk memasak,
tapi untuk mencipta sunyi yang memanjang ke malam.
“Langit sedang sakit,” katanya lirih,
“karena manusia lupa caranya bicara tanpa senjata.”
-000-
Gas, yang mestinya simbol kemakmuran,
kini jadi sumbu peperangan.
Ladang-ladang itu bukan sekadar tempat kerja,
tapi medan tempat kekuasaan bersaing dalam senyap.
Mereka tak saling tembak di parlemen,
tapi saling hantam lewat mesin.
Mesin yang digerakkan bukan oleh cinta,
melainkan rasa takut kehilangan pengaruh di mata dunia.
Israel melempar pesan lewat api,
Iran menjawab dengan siaga dan diam.
Sementara rakyat di antaranya
hanya bisa menyalakan lilin
di rumah yang setengah terbakar dan setengah bertanya.
-000-
Di fase empat belas itu,
produksi gas dihentikan,
seperti cinta yang tak sempat tumbuh,
seperti dialog yang diputus sebelum disambut.
Ada doa-doa yang tak jadi sampai ke langit
karena ditelan ledakan dan kebisingan.
Ada harapan yang gagal jadi kenyataan
karena pemimpin terlalu sibuk membuat strategi pertahanan.
“Energi adalah jantung dunia,” kata ilmuwan.
Tapi siapa sangka jantung itu bisa ditembak
dan tetap kita anggap biasa?
-000-
Angin membawa kabar ke kota-kota di selatan:
“Jangan panik, tapi waspada.”
Namun, bagaimana tidak panik
jika suara ledakan lebih cepat dari suara kebijakan?
Dari Bushehr hingga Shiraz,
orang-orang mengumpulkan malam
dalam kantong tidur yang dirajut kecemasan.
Di sebuah masjid, imam membaca ayat perlindungan,
tapi di layar yang sama,
dunia melihat bendera dibakar,
dan perjanjian damai dilipat tanpa dibaca.
-000-
Aku tak bisa menulis ini tanpa bergetar.
Karena puisi ini bukan tentang metafora.
Ia adalah ledakan yang tiba-tiba terasa di dada.
Ia adalah napas gas yang berubah jadi racun,
bukan karena substansinya,
tapi karena ambisi manusia.
Kita hidup di dunia di mana pipa gas bisa lebih kuat dari konstitusi,
dan suara rudal bisa lebih keras dari suara rakyat.
Tapi aku tetap ingin percaya,
bahwa satu kata “cukup” bisa menghentikan semuanya.
-000-
Di akhir ini,
aku tidak menulis tentang siapa yang menang.
Karena tak ada kemenangan dalam reruntuhan.
Tak ada pemenang dari ledakan yang membakar napas bumi sendiri.
Yang ada hanya anak-anak yang bertanya,
ibu-ibu yang mengungsi,
dan ladang gas yang sekarang jadi ladang luka.
Kita bisa memilih, melanjutkan perang atas nama pengaruh,
atau mengakhiri luka atas nama kehidupan.
Karena langit, laut, dan bumi
tak butuh rudal untuk terus berputar, mereka hanya butuh manusia yang lebih mencintai
daripada menghitung strategi perang.
Rumah Kayu Cepu, 15 Juni 2025
Catatan:
[1] Puisi esai ini terinspirasi dari berita “Israel vs Iran Memanas: Ladang Gas Terbesar Diserang Hujan Rudal”, CNBC Indonesia, 15 Juni 2025.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20250615054906-4-641088/israel-vs-iran-memanas-ladang-gas-terbesar-diserang-hujan-rudal