Nazwar, S.Fil.I., M.Phil #
“Surga yang engkau janjikan, neraka yang kau berikan. Manis yang engkau janjikan, pahit yang aku rasakan”
Lantunan dangdut klasik itu mengalun di pagi Jum’at, membangkitkan ingatanku pada masa lalu yang terasa begitu jauh. Dahulu, banyak teman, rezeki dan keluarga yang mengelilingi. Kini, yang tersisa hanya diri ini—terjebak dalam kesunyian, dalam pencarian makna religius, di tengah sempitnya kehidupan dan lilitan utang.
Terlalu suci rasanya jika aku bicara agama, tapi begitulah kenyataan—realitas hidup justru menyeretku ke arah itu. Lagu tadi seperti mengguncang kedamaian batinku. Apakah aku pernah membayangkan akan sampai di titik ini? Menjadi pribadi yang “religius” sekaligus menyendiri? Tidak. Bahkan dalam mimpi pun tidak.
Pikiran ini berkecamuk, hingga memunculkan ingatan tentang hadits-hadits yang memperingatkan para pendakwah yang buruk akhlaknya—tentang ahli neraka, tentang kemunafikan, tentang orang-orang berilmu yang menyampaikan kebenaran namun tidak mengamalkannya. Aku mulai bertanya-tanya: apakah semua yang tampak religius memang benar-benar tulus, atau sekadar fenomena sosial belaka?
Fenomena “hijrah” hari ini begitu ramai. Tapi apakah ini adalah kebenaran sejati, atau hanya permukaan yang menutupi sesuatu yang belum selesai? Dalam filsafat, kita mengenal istilah “fenomena” dan “noumena”—penampakan dan kenyataan sejati. Kalau begitu, barangkali ada jarak antara tampak luar dan realitas batiniah. Tapi buru-buru hati ini berbisik: “Sudahlah, filsafat sekarang dianggap barang haram.”
Aku coba mengalihkan perhatian. Iseng membuka YouTube dan tanpa sengaja terputar sebuah video dengan judul menarik: “Ustaz Felix Siauw Bikin Transgender Taubat”. Video itu disiarkan oleh kanal Reyben Entertainment, dalam format konferensi pers.
Di antara materi yang disampaikan, ada satu bagian yang membuatku berhenti dan berpikir. Sang ustaz menyampaikan bahwa keinginan terbesar seorang perempuan adalah memiliki “rumah”, dengan mencontohkan istri Fir’aun, Asiyah, yang memohon kepada Allah agar dibangunkan rumah di surga.
Pernyataan ini menarik sekaligus menimbulkan tanya. Benarkah “rumah” adalah keinginan tertinggi perempuan? Bukankah dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah bertanya kepada Jibril tentang sebuah istana indah di surga, yang ternyata adalah milik Umar bin Khattab? Sosok lelaki tangguh itu menginginkan dan diberi balasan berupa istana, bukan sekadar rumah.
Tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai kritik terhadap agama, apalagi terhadap pribadi Ustaz Felix. Ini hanyalah ajakan untuk bersama-sama menggali kembali kecermatan kita dalam memahami dalil, agar tidak buru-buru menyimpulkan sesuatu hanya dari tampilan luar. Apalagi di era viral dan retorika panggung.
Fenomena hijrah bukanlah bahan candaan atau “prank” sosial. Ia adalah proses spiritual yang sakral, dan karenanya harus disikapi dengan hati-hati, penuh kesadaran, dan kedalaman makna. Jangan sampai yang kita kira jalan menuju surga, justru menuntun kita pada jebakan ego, simbolisme, dan penyesatan yang tak kita sadari.
# Penulis adalah Dosen Ilmu Filsafat di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang. Ia merupakan lulusan Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Aktif menulis dan terlibat dalam berbagai kegiatan riset dan media, termasuk sebagai peneliti lepas di Harian Kompas dan Kepala Bidang Media di LAWAN (Lembaga Analisis Wacana Keislaman dan Nasionalisme). Minatnya mencakup kajian filsafat Islam dan wacana keislaman kontemporer.