Oleh Gunawan Trihantoro
- Ketua Satupena Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
DI TENGAH kebisingan politik dan derasnya arus kepentingan, satu hal paling mendasar justru menjadi langka, yakni kejujuran.
Negara ini bukan kekurangan sumber daya, bukan pula kekurangan aturan, tetapi kekurangan orang jujur.
Ketika orang-orang cerdas sibuk mencari celah untuk menipu sistem, maka yang dibutuhkan bukan otak lebih pintar, tapi hati yang lebih bersih.
Negara membutuhkan lebih banyak orang yang berani berkata apa adanya, bukan apa yang disukai oleh kekuasaan.
Orang jujur tidak hanya langka, tetapi sering kali tersingkir dari panggung kekuasaan.
Padahal, kejujuran adalah syarat minimum bagi hadirnya kebijakan yang adil dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Ketika yang menjamur adalah kepalsuan, pencitraan, dan manipulasi, maka orang jujur menjadi anomali.
Namun justru dari anomali itulah harapan bermula, karena kejujuran selalu melawan arus dan menolak kompromi.
Negara ini terlalu besar untuk ditopang oleh kebohongan kecil yang terus dibiarkan.
Dari meja birokrasi hingga ruang parlemen, kejujuran harus menjadi nafas, bukan sekadar slogan.
Kita butuh pegawai negeri yang jujur mencatat dan melaporkan anggaran tanpa mark up.
Kita butuh polisi yang jujur menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Kita butuh guru yang jujur mendidik bukan karena gaji, tetapi karena cinta kepada masa depan bangsa.
Dan kita butuh pemimpin yang jujur menyuarakan nuraninya, meskipun pahit.
Kejujuran adalah fondasi dari kepercayaan, dan kepercayaan adalah bahan bakar utama dari demokrasi.
Tanpa orang-orang jujur, negara akan terus berjalan dalam kegelapan, dibimbing oleh kompas yang rusak.
Di era digital ini, informasi bisa dengan mudah dipoles dan disebarkan.
Namun, hanya kejujuran yang bisa menembus hati rakyat tanpa perlu sensor dan filter.
Orang jujur tidak selalu populer, tetapi mereka menjadi pondasi dari keadilan dan kemajuan.
Negara yang dibangun di atas kejujuran akan lebih kuat menghadapi krisis, karena ia tidak kehilangan arah.
Pendidikan kejujuran harus dimulai sejak dini, ditanam dalam keluarga, diajarkan di sekolah, dan dicontohkan oleh para pemimpin.
Sebab, bangsa besar bukan hanya karena bangunan tinggi, tapi karena nilai-nilai yang kokoh.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak akan pernah hilang jika orang jujur terus dikesampingkan.
Negara ini hanya akan berubah jika kejujuran menjadi budaya, bukan pengecualian.
Orang jujur mungkin tidak punya banyak modal, tetapi mereka punya keberanian untuk tidak menjual prinsip.
Dan itulah kekayaan sejati yang dibutuhkan bangsa ini untuk maju secara bermartabat.
Negara butuh orang yang bisa berkata “tidak” ketika semua orang mengatakan “ya” demi keuntungan sesaat.
Butuh orang yang rela kehilangan jabatan, tetapi tidak kehilangan harga diri.
Jika hari ini kita sulit menemukan orang jujur di panggung publik, maka kita harus mulai mencetaknya dari rumah, dari sekolah, dari kampus.
Karena negara yang besar adalah negara yang dibangun oleh karakter, bukan hanya kekuasaan.
Kita harus berhenti memberi ruang bagi para pembohong yang pandai berdalih.
Sudah saatnya memberi panggung bagi mereka yang jujur walau tak populer.
Negara ini milik semua orang, dan hanya bisa tumbuh sehat jika dikelola oleh hati yang bersih dan pikiran yang lurus.
Sebab dalam kejujuran, terdapat harapan yang tak bisa dibeli, dan masa depan yang tak bisa dimanipulasi. (*)