Oleh: Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd
- Kasi PAPKI Kantor Kemenag Kabupaten Tanggamus
DI BANYAK sudut kota dan desa, kita sering melihat pemandangan yang nyaris dianggap lumrah: sekelompok orang berdiri di tengah jalan, menenteng kardus bertuliskan “Sumbangan Pembangunan Masjid.” Mereka mengetuk kaca kendaraan, menengadahkan tangan, bahkan meletakkan drum di jalur lalu lintas. Beberapa duduk di kursi plastik, membentangkan tanggok bambu ke tengah jalan, dan menyetel pengeras suara keras-keras agar para pengendara tergugah.
Sekilas, semua ini tampak mulia. Bukankah membangun masjid adalah amalan besar? Bukankah rumah Allah adalah tempat suci yang layak diperjuangkan pembangunannya? Namun jika ditelisik lebih dalam, kita dihadapkan pada pertanyaan serius: apakah cara yang digunakan telah mencerminkan nilai-nilai agama yang agung? Apakah niat mulia membolehkan kita mengabaikan hak orang lain, mengganggu keteraturan publik, bahkan membahayakan nyawa?
Jalan raya sejatinya bukan ruang untuk berhimpun, apalagi untuk meminta-minta. Ia adalah ruang yang dirancang untuk ketertiban dan keselamatan, tempat di mana keteraturan dan kewaspadaan harus dijaga. Maka, apa pun aktivitas yang mengganggu fungsi dasarnya, seyogianya tidak dilakukan—termasuk penggalangan dana, seberapapun luhur tujuannya.
Islam sebagai agama rahmat tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menegakkan kebaikan dengan cara yang merusak. Bahkan dalam hal sekadar duduk di pinggir jalan, Nabi Muhammad SAW memberikan peringatan keras. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian duduk di pinggir jalan.” Ketika para sahabat menjawab bahwa mereka tidak punya tempat lain untuk duduk, Nabi pun menegaskan, “Jika kalian tetap duduk di sana, maka berikanlah hak jalan.” Lalu beliau menyebutkan hak jalan itu: menundukkan pandangan, tidak mengganggu, membalas salam, mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Pesan ini gamblang. ruang publik bukanlah ruang bebas. Sekadar duduk saja membutuhkan adab, apalagi berdiri, bergerak dan menghalangi lalu lintas sembari mengajukan permintaan.
Dalam khazanah fikih, dikenal satu prinsip penting bernama sadd al-ẓarā’iʿ—yakni menutup celah yang dapat membawa kepada kerusakan. Jika suatu aktivitas awalnya terlihat baik, namun memiliki potensi menimbulkan bahaya atau kekacauan, maka aktivitas itu dapat dicegah, bahkan dilarang. Prinsip ini menjunjung tinggi aspek ḥifẓ al-nafs—perlindungan jiwa manusia sebagai tujuan utama syariat.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun tidak tinggal diam. Dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pengumpulan Sumbangan Masyarakat di Jalanan, disebutkan bahwa aktivitas meminta-minta di jalan yang mengganggu ketertiban lalu lintas dan membahayakan keselamatan adalah haram. Lebih jauh, MUI mengajak masyarakat dan aparat untuk mencegah aktivitas semacam ini jika terbukti menimbulkan mudarat. Pengumpulan dana sebaiknya dilakukan secara tertib, aman, bermartabat, dan tidak melanggar hukum.
Dalam konteks hukum negara, aturan pun sudah jelas. Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 menyatakan bahwa setiap kegiatan pengumpulan uang dan barang (PUB) harus mendapat izin dari instansi berwenang. Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 bahkan melarang segala bentuk aktivitas yang mengganggu fungsi jalan. Sayangnya, banyak dari kegiatan tersebut dilakukan tanpa izin, tanpa kesadaran akan risiko, dan tanpa rasa tanggung jawab terhadap pengguna jalan lain.
Lantas, apakah tidak ada cara lain yang lebih beradab untuk menggalang dana pembangunan masjid?
Jawabannya ada: era digital telah membuka jalan selebar-lebarnya. Transfer antarbank, QRIS, crowdfunding syariah, hingga kerja sama dengan lembaga filantropi kredibel bisa menjadi opsi yang aman, transparan dan tak mengganggu ketertiban umum. Media sosial bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi dan masyarakat bisa diajak berdonasi tanpa harus menghentikan laju kendaraan.
Buya Ahmad Syafii Maarif pernah mengingatkan bahwa “agama yang kehilangan akal sehat akan kehilangan sifat rahmatnya” (Tuhan Menyapa Kita, 2006). Jika logika dan nurani tidak lagi menyertai laku keberagamaan kita, maka niat baik bisa saja berubah menjadi petaka yang tak disadari.
KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) juga mengingatkan dengan tajam bahwa kesalehan ritual harus dibarengi kesalehan sosial. Dalam bukunya Refleksi Publik dan Budaya (LKiS, 2012), beliau menulis, “Agama mestinya menebar ketenangan, bukan keresahan; menumbuhkan cinta, bukan ketegangan.” Maka jika atas nama membangun rumah Tuhan kita justru menimbulkan keresahan, kita patut bertanya: rumah Tuhan macam apa yang sedang kita bangun?
Membangun masjid adalah amal mulia. Tapi niat suci harus dituntun oleh cara yang benar. Jangan sampai keinginan menegakkan rumah Allah justru meruntuhkan adab kepada sesama. Karena jalan menuju ridha-Nya tak mungkin dibangun dengan cara yang mencederai nilai-nilai rahmat dan kemaslahatan. (*)