Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


FAKTA memang sulit dibantah. Melawan fakta harus dengan fakta juga. Tidak bisa dibalas dengan asumsi, apalagi marah. Itulah si mulut terompet, rambut jagung, Donald Trump. Begitu CNN, media kelas dunia ni bos, memberitakan situs nuklir Fordo Iran tidak hancur, Trump tak terima. “Manas tak belawan!” kata orang Melayu Pontianak. Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Pada pukul 03.14 dini hari waktu Washington, langit mendadak berubah warna, bukan karena badai, tapi karena Trump bangun tidur dan mendapati CNN memberitakan bahwa serangan nuklir Amerika Serikat ke Iran gagal total. Tangannya langsung meraih ponsel. Rambutnya berdiri setengah melawan gravitasi, dan dalam tempo kurang dari sepuluh detik, ia menulis dengan Capslock Penuh, “Bohong! CNN Pembohong! Fordo Sudah Lenyap!!!”

Dunia gemetar. Satelit gemetar. Bahkan alien di Mars yang sedang nonton Netflix ikut menoleh. Apakah Fordo benar-benar lenyap? Apakah Natanz tinggal puing-puing kenangan? Apakah Isfahan sudah berubah jadi taman bermain uranium?

Sayangnya, menurut Pentagon, ya Pentagon tempat berkumpulnya otak-otak militer terbaik yang sudah menonton Oppenheimer tiga kali dan Call of Duty lima puluh kali, jawabannya adalah, tidak juga, Pak. Situs-situs nuklir Iran masih utuh. Yang rusak? Beberapa pintu. Beberapa lubang angin. Mungkin seekor tikus percobaan bernama Reza yang sedang tidur di bawah panel kontrol.

Tetapi jangan bilang begitu ke Trump. Tidak. Itu penghinaan. Itu penghujatan. Itu penistaan terhadap 14 bom raksasa seberat 13,6 ton yang dikirim dengan penuh cinta dan napalm dari tujuh pesawat B-2 Spirit seharga dua kampus Harvard. Bom-bom itu, menurut Trump, tidak hanya menghancurkan beton dan baja, tetapi juga menghancurkan semangat jihad Iran dan niat menang mereka dalam mimpi.

Trump berdiri di Air Force One seperti Kaisar Nero di balkon, memandang dunia dari ketinggian, lalu berbicara kepada jurnalis dengan nada yang hanya bisa diciptakan dari campuran testosteron, ego, dan hairspray: “Fordo sudah hancur. Saya melihatnya. Dengan mata batin saya. Anda tidak bisa berbohong kepada saya. Saya menciptakan realitas saya sendiri.”

Sementara itu, para pilot tempur yang baru mendarat, dengan wajah bingung, hanya berkata, “Pak, kami kira itu hanya latihan.” Tapi mereka segera diam. Karena kebohongan tidak diperlukan dalam dunia Trump. Yang diperlukan hanyalah narasi yang megah, suara yang lantang, dan kamera CNN yang mati.

Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, ikut berkoar di media sosial. Ia menulis seolah-olah sedang membela pasukan dari serangan alien, “14 Bom Besar. 13 Ton Masing-Masing. Pintu Tertutup = Kemenangan Telak.” Dunia akademik linglung. Logika ditikam. Fisika kuantum meleleh. Tapi Trump tersenyum. Karena baginya, jika nuan tidak bisa membunuh uranium, maka kuburlah ia dalam opini publik.

Kini, di gurun Iran, situs Fordo masih berdiri. Mungkin pintunya sedikit penyok. Mungkin kipas anginnya miring. Tapi di Washington, Trump telah menabuh genderang perang dengan simfoni halusinasi. Dalam hal itu, tidak ada yang bisa mengalahkannya. Karena dalam dunia di mana kebenaran bisa dicetak dengan huruf besar, dan realitas ditentukan oleh algoritma, maka: Fordo sudah lenyap. Meski masih ada.

Sementara itu, dunia berdiri terperangah. Iran mengecek ulang bunker mereka. Hasilnya? Semua peralatan masih menyala. Bahkan dispenser di ruang istirahat teknisi masih bisa mengeluarkan teh saffron dengan normal. Tapi tidak ada yang bisa menyangkal, Trump telah menang… dalam pikirannya sendiri. Karena dalam hukum alam semesta versi Trump, jika kau cukup keras berteriak, maka realitas akan menyerah.

Jadi inilah akhir dari drama nuklir terhebat abad ini, pintu bunker rusak, ego Trump makin besar, dan uranium tetap bersinar. Dunia tertawa getir, lalu pelan-pelan mulai mempersiapkan diri untuk babak berikutnya, kemungkinan Trump memerintahkan bom ke Antartika karena dikira ada bunker pengayaan es. (*)


#camanewak




 
Top