Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
CERITA tadi malam, Timnas diajari main bola oleh Jepang dan Malaysia secara mengejutkan kalahkan Vietnam. Sedih dan seru. Namun, saya tak bicara itu kali ini. Saya mau mengulik soal aksi pemerintah, di satu sisi kampanye nanam pohon, di sisi lain keluarkan izin tambang atau konsesi. Menarik ya, wak? Yok, kita kupas sambil seruput kopi tanpa gula.
Di negeri ini, setiap batang pohon adalah simbol cinta. Itu sebabnya ia harus ditebang, dikuliti, dilumatkan, dan dijadikan berkas laporan pembangunan berkelanjutan. Kita adalah bangsa penanam pohon paling taat, terutama di bulan Januari, saat kamera wartawan dibidik, menteri berjongkok elegan, dan seorang anak kecil diminta memegang bibit sambil tersenyum ke arah masa depan yang sudah dipagari kawat tambang.
Setiap tahun, kita tanam sejuta pohon. Luar biasa. Serius. Suatu pencapaian ekologis yang hanya bisa disaingi oleh kecepatan negara ini mengeluarkan izin tambang dan konsesi perkebunan. Di pulau-pulau yang dulu dikenal dengan nyanyian burung dan hutan hujan tropis, kini menggema suara mesin bor yang menggali perut bumi demi logam mulia yang akan menyelamatkan dunia dari perubahan iklim, katanya.
Begini logikanya, demi menyelamatkan bumi, kita perlu lebih banyak kendaraan listrik. Untuk kendaraan listrik, dibutuhkan nikel. Nikel ada di Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Sayangnya, nikel tidak tumbuh di pot bunga. Ia terkubur di bawah hutan, di dalam tanah yang dijaga leluhur, ditumbuhi rotan, dilintasi rusa, dan disiram air sungai. Maka untuk menyelamatkan bumi, hutan harus dibabat dulu. Inilah keajaiban filsafat lingkungan versi pemerintah, kita rusak sedikit demi merusak lebih besar nanti, tapi dengan nama yang lebih keren, transisi energi.
Lalu datang tambang. Membelah bukit. Menebar debu. Menyulap sungai jadi kubangan logam berat. Tapi jangan panik. Di acara peresmian smelter, menteri lingkungan berdiri tegak, tersenyum, lalu menanam pohon mangga di halaman pabrik. Media pun menulis, “Komitmen Hijau Pemerintah: Tanam Pohon, Jaga Alam.” Jelas! Alam dijaga, dari kejauhan. Dari balik meja rapat ber-AC, dari balik data yang sudah dimanipulasi agar deforestasi tampak seperti pengoptimalan tata ruang.
Pemerintah sangat cinta hutan. Bahkan terlalu cinta, sampai-sampai hutan tidak boleh dibiarkan sendirian. Harus ada perusahaan besar yang menemani. Maka diterbitkanlah izin konsesi. Ada yang untuk sawit, ada untuk kayu, ada untuk tambang, dan ada untuk proyek carbon offset agar wajah kita tetap hijau di mata dunia. Hutan yang belum terjamah segera diberi label “potensi ekonomi belum dimanfaatkan”, lalu dikawinkan dengan investor yang datang membawa janji dan buldoser.
Ketika banjir datang menelan kota, pemerintah segera bersuara, “Ini akibat perubahan iklim global!” Betul. Global. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan izin tambang di atas DAS, atau perambahan hutan lindung untuk kebun sawit. Solusinya? Tanam pohon. Lagi. Lalu unggah fotonya ke Instagram dinas dengan tagar #GreenMovement dan #IndonesiaGoHijau.
Tanam pohon di median jalan. Tanam di lahan reklamasi tambang. Tanam di depan gedung yang dulu adalah lahan gambut. Tanam sebagai simbol. Tanam sebagai bukti cinta. Lalu tinggalkan. Biarkan mati perlahan, ditumbuhi plastik dan debu, seperti idealisme yang pernah hidup di kepala para perancang kebijakan.
Beginilah cara negeri ini merawat alam. Menebang dengan satu tangan, menanam dengan tangan lainnya, lalu selfie pakai dua tangan. Kita bukan sekadar merusak alam. Kita melakukannya dengan gaya, dengan narasi, dengan konferensi, dengan sertifikasi hijau, dan dengan air mata buaya di depan layar presentasi.
Sementara dunia sibuk mencari solusi, kita sibuk mencari lahan kosong berikutnya. Siapa tahu masih ada hutan yang belum sempat kita cintai. (*)
#camanewak