Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
SAAT ia menulis, mungkin Jokowi sedang minum kopi dan tersedak. Tiba-tiba ada orang mengangkatnya sebagai nabi. Luar biasa narasi politik sekarang ni, wak.
Mari kita ungkap kenapa sampai Pakdhe asal Solo itu diangkat jadi nabi? Siapkan kopinya agar otak selalu encer dan waras.
Pada tanggal 9 Juni 2025, sebuah cuitan sederhana menggetarkan fondasi akal sehat bangsa. Cuitan itu tidak berasal dari seorang filsuf, ulama atau penyair mabuk eksistensial, melainkan dari seorang tokoh PSI Bali bernama Dedy Nur, Ketua Biro Ideologi dan Kaderisasi. Dengan jemari yang tampaknya lebih cepat dari pikirannya, ia menuliskan pernyataan yang, konon, lahir dari lubuk hati penuh cinta. “Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini sudah memenuhi syarat.” Yang dimaksud tentu saja Joko Widodo, mantan presiden yang kini, oleh sebagian kecil penggemarnya, ditarik-tarik ke ranah kenabian.
Pernyataan ini ibarat melemparkan roket ke kandang ayam, kekacauan total, bulu beterbangan dan akal sehat menyingkir mencari tempat aman. Media sosial, seperti biasa, bereaksi bak kawanan semut disiram kopi panas. Kritik mengalir bukan seperti air, tapi seperti lava, panas, marah dan siap membakar siapa pun yang masih waras.
Jokowi, yang dulunya dikenal sebagai bapak sederhana dari Solo yang doyan blusukan, masuk gorong-gorong dan senyum kepada rakyat meski anggaran defisit, kini dipromosikan naik kelas menjadi nabi. Nabi, wak! Gelar tertinggi dalam kosmologi wahyu. Sebuah status yang secara teologis hanya bisa dicapai lewat campur tangan Tuhan, bukan lewat algoritma media sosial atau loyalitas partai.
Tapi Dedy Nur tampaknya punya tafsir lain tentang kenabian. Bagi dia, cukup punya senyum tulus, suka menyapa rakyat kecil, dan mengakhiri masa jabatan dengan ‘sukses’ versi brosur partai, sudah cukup untuk dikarbit menjadi utusan Tuhan. Wahyu tampaknya tak lagi turun dari langit, melainkan dari X (sebelumnya Twitter), dikirim lewat sinyal 5G.
Sontak muncul berbagai respons. Salah satunya dari akun @ch_chotimah2, yang dengan sinis menulis, “Jokowi itu pembohong, ingkar janji, pengkhianat, dan tak tahu terima kasih. Disebut oleh kader PSI memenuhi syarat untuk jadi Nabi, manusia pilihan Tuhan? Ini penghinaan terhadap Tuhan, bukan sekadar pengultusan.”
Di situ publik mulai sadar, ini bukan sekadar pujian berlebihan. Ini sudah menjelma jadi teater kultus, tempat logika digantung di pintu dan puja-puji menggantikan doa.
Fenomena ini sebetulnya bukan baru. PSI sudah lama menjadikan Jokowi semacam ikon suci. Tapi menyebut beliau layak menjadi nabi? Itu bukan lagi glorifikasi politik, itu eskalasi teologis. Suatu bentuk absurditas yang bahkan Nietzsche pun mungkin akan geleng-geleng kepala sambil menulis ulang “The Antichrist” dengan setting di Senayan.
Lucunya, hingga kini belum ada klarifikasi. PSI memilih diam, mungkin sedang berembuk dengan tim kreatif wahyu. Atau mereka sedang mempersiapkan Kitab Suci baru, versi demokrasi digital, dengan pasal-pasal tentang selfie bersama rakyat dan mukjizat peresmian jalan tol.
Yang pasti, hari itu bangsa ini tak hanya tertawa getir, tapi juga merenung dalam absurditasnya sendiri. Ketika kenabian dijadikan alat retoris demi mendongkrak popularitas mantan presiden, maka kita patut bertanya, apakah ini negara demokrasi? Atau sinetron eskatologis dengan rating yang makin menggila?
Sebab di negeri ini, kadang lebih mudah menyebut seseorang nabi dari mengkritik tanpa dicap pembenci. Jika kelak Jokowi benar-benar diangkat menjadi “Nabi Reformasi Blusukan ke-25”, maka satu-satunya mukjizat yang bisa menyelamatkan bangsa ini adalah, kesadaran kolektif bahwa terlalu cinta pada manusia biasa, bisa berakhir pada bencana luar biasa.
Apakah ini cara untuk membesarkan partai, agar namanya selalu trending di medsos? Saya tak tahulah, wak. Namun, inilah fakta politik di negeri ini. Ente lah yang menilai, saya cuma menarasikannya saja. (*)
#camanewak