Oleh: Drs. H. Makmur, M.Ag

- Kepala Kemenag Bandar Lampung


KETIKA Nabi Yusuf as berhasil menafsirkan mimpi Raja Mesir dengan tepat, sang raja langsung memerintahkan agar beliau dibebaskan dari penjara. Namun, dengan keteguhan hati dan prinsip moral yang tinggi, Yusuf tidak serta-merta menerima pembebasan itu. Ia menolak keluar begitu saja tanpa menyelesaikan persoalan hukum yang menimpanya. Sebaliknya, ia mengajukan satu permintaan penting: keadilan harus ditegakkan, dan kebenaran harus dinyatakan. Ia ingin agar publik mengetahui bahwa dirinya dipenjara bukan karena bersalah, tetapi karena menjadi korban fitnah keji.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya, bagaimana keadaan wanita-wanita yang telah melukai tangan mereka. Sesungguhnya Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka.” (QS. Yusuf: 50)

Sudah dimaklumi bahwa Nabi Yusuf AS dipenjara selama beberapa tahun karena tuduhan palsu. Ia difitnah hendak memperkosa istri Al-Aziz—pejabat tinggi Mesir kala itu. Ketika Raja Mesir hendak memberinya kebebasan sebagai bentuk penghargaan atas kemampuannya menafsirkan mimpi, Yusuf justru menolaknya. Ia tidak ingin keluar sebagai “penerima hadiah”, melainkan sebagai pribadi yang bebas karena kebenaran telah ditegakkan.

Ia meminta agar kasus lamanya diselidiki ulang, dan pengadilan dilakukan secara terbuka agar keadilan benar-benar ditegakkan.

Permintaan ini mengejutkan sekaligus mengesankan sang raja. Ia segera memerintahkan dilakukan penyelidikan ulang terhadap kasus Yusuf. Para saksi pun dipanggil, termasuk istri Al-Aziz—perempuan yang dulu menjadi pusat fitnah terhadap Yusuf. Dalam sidang terbuka itu, akhirnya kebenaran terungkap. Allah Swt. berfirman: “Wanita itu berkata, ‘Sekarang kebenaran itu telah nyata. Akulah yang menggoda dia, dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.'” (QS. Yusuf: 51).

Akhirnya Yusuf dibebaskan, bukan karena imbalan dari kecerdasannya, tetapi karena keadilan telah ditegakkan. Ia tidak hanya memperoleh kebebasan fisik, tetapi juga mendapatkan kembali kehormatan dan nama baiknya. Ia keluar dari penjara dengan kepala tegak—sebagai sosok yang terbukti tidak bersalah, dan dihormati karena keteguhan prinsip serta integritasnya yang luar biasa.

Sikap dan keteguhan Yusuf membuka mata sang raja dan para pejabat Mesir. Mereka menyadari bahwa Yusuf bukanlah orang sembarangan. Ia bukan hanya bijak dan sabar, tetapi juga memiliki kecerdasan, jiwa kepemimpinan, dan akhlak yang luhur. Maka Yusuf pun tidak hanya dibebaskan, tetapi diangkat sebagai pejabat tinggi dan orang kepercayaan kerajaan.

Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya kamu (Yusuf) mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.” (QS. Yusuf: 54).

Yusuf kemudian diberi amanah besar: mengelola logistik dan perekonomian negara, khususnya dalam menghadapi krisis pangan yang ia prediksi melalui tafsir mimpi. Ia berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55).

Fitnah: Senjata Kejam yang Menghancurkan

Kisah ini menyadarkan kita betapa dahsyat dan berbahayanya fitnah. Ia dapat menghancurkan reputasi orang saleh, bahkan yang dikenal jujur, suci, dan bersih. Fitnah bisa membuat orang yang benar dipenjara, yang bijak terlihat jahat, yang baik dianggap hina.

Fitnah adalah senjata keji yang tak hanya melukai individu, tetapi juga dapat mengguncang ketentraman sosial. Tak heran jika Allah Swt. menegaskan: “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 191).

Fitnah melukai lebih dari satu orang. Ia dapat menciptakan kegaduhan sosial yang besar, merusak kepercayaan publik, dan menggiring opini tanpa dasar kebenaran. Di tengah masyarakat, fakta sering dikalahkan oleh framing, prasangka, atau informasi yang belum terverifikasi.

Islam mengajarkan prinsip ‘tabayun’—yakni klarifikasi dan verifikasi—sebelum menerima atau menyebarkan informasi. Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (tabayun) dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6)

Motif di balik fitnah bisa beragam: menjatuhkan lawan, memenangkan persaingan, membalas dendam, bahkan terkadang berlindung di balik dalih ingin menegakkan kebenaran. Namun dalam Islam, apa pun alasannya, menebar fitnah adalah dosa besar dan dilarang keras. Allah memperingatkan: “Janganlah suatu kaum mencemooh kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka…” (QS. Al-Hujurat: 11)

Dalam dunia kontestasi politik atau perebutan jabatan, praktik kampanye hitam kerap terjadi. Lawan dijatuhkan dengan isu pribadi atau fitnah murahan. Padahal, cara seperti ini bukan hanya melanggar etika, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keadilan.

Penulis
Rasulullah SAW bersabda: “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan harta.”

Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, puasa dan zakat, tetapi ia pernah mencaci orang ini, menuduh orang itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang itu, dan memukul orang lain.

Maka pahala-pahalanya diberikan kepada mereka. Jika habis sebelum selesai membayarnya, maka dosa-dosa mereka dipindahkan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).

Akhirnya, Kebenaran Akan Menang

Jalan menuju kebenaran memang sering terjal, penuh penderitaan dan cobaan. Namun, sebagaimana Nabi Yusuf AS, siapa pun yang sabar, jujur, dan teguh dalam prinsip, pada akhirnya akan mendapat pertolongan dari Allah. Yusuf, yang pernah dibuang ke sumur oleh saudaranya, dijual sebagai budak, dan dipenjara karena fitnah, justru akhirnya menjadi pemimpin terpercaya di negeri asing.

Kisah ini menjadi bukti bahwa kebenaran akan menemukan jalannya. Kejahatan bisa menang sementara, tetapi kebenaran akan menang selamanya.

Jauhilah fitnah dan cara-cara kotor dalam meraih tujuan. Tempuhlah jalan yang benar dan beretika. Niatkan segalanya karena Allah. Yakinlah, pertolongan-Nya selalu datang kepada orang-orang yang bersih hatinya dan lurus jalannya. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) (*)


Wallahu a’lam 

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top