Oleh: H. Wahyu Iryana
- Sejarawan UIN Raden Intan Lampung dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Sejarah Islam Lampung
DI TEPIAN Teluk Lampung yang membentang biru, di antara bukit-bukit yang mengembuskan kabut dan aroma damar, Bandar Lampung genap berusia 343 tahun pada 17 Juni 2025. Penetapan tanggal 17 Juni 1682 sebagai tonggak sejarah Bandar Lampung merujuk pada sumber-sumber primer seperti dokumen perdagangan VOC, arsip Kesultanan Banten, serta naskah-naskah kolonial yang mencatat konsesi wilayah Teluk Lampung sebagai pelabuhan strategis pasca intervensi Banten atas Palembang dan perlawanan terhadap dominasi Belanda di Selat Sunda. (Lihat: Arsip Belanda Nationaal Archief Den Haag, Resolutie van de Raad van Indie 1682).
Tanjungkarang dan Telukbetung sebagai cikal bakal kota ini tidak lahir dari fondasi beton, melainkan dari denyut pelabuhan, pertemuan etnis, dan lalu lintas rempah. Dalam laporan Kapten Johan van Der Horst tahun 1683 kepada VOC, Teluk Lampung disebut sebagai “poort van de specerijen” (gerbang rempah-rempah). Damar dari Way Lima, lada dari Abung, dan kopi dari Liwa turun dari pedalaman dibawa melalui jalur darat ke pelabuhan, menjadi primadona dagang di mata dunia Eropa yang kala itu sedang haus akan komoditas tropis.
Namun sejarah tidak hanya dibentuk oleh perdagangan. Ia dibangun pula oleh ingatan, perjumpaan, dan pertahanan terhadap kuasa. Bandar Lampung tidak pernah sepenuhnya menjadi kota koloni. Ia adalah ruang negosiasi, tempat bertemunya orang Banten, Abung, Pesisir, Semendo, dan kemudian etnis Cina, Arab, Jawa, hingga India yang membentuk simpul sosial yang kompleks. Perkampungan tua seperti Sukaraja, Gunung Kunyit, dan Kampung Rawa Laut mencatat dinamika sosial yang membentuk identitas kultural kota ini.
Tercatat dalam Rapport van het Gouvernement Hindia Belanda tahun 1803, pelabuhan Telukbetung sempat menjadi transit penting militer kolonial dalam ekspedisi ke Palembang.
Namun di sisi lain, pelabuhan ini juga menjadi pelarian para pemberontak dan ulama yang menentang penjajahan. Salah satu catatan penting adalah keberadaan ulama pelarian dari Banten yang membentuk komunitas kecil di pesisir Teluk yang kelak dikenal sebagai Ki Ajengan.
Bandar Lampung tidak pernah sekadar kota administratif. Ia adalah simpul dari banyak jejak sejarah dan trauma. Gempa besar tahun 1883 yang diakibatkan letusan Krakatau tercatat meratakan sebagian besar wilayah pesisir.
Surat kabar Javasche Courant edisi Oktober 1883 mencatat, “Telukbetung hancur dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Air laut naik seperti tembok, menenggelamkan segala yang ada.” Dari reruntuhan itu, kota ini bangkit dengan wajah baru, dan sistem perkotaan dibangun kembali oleh Pemerintah Kolonial.
Kehadiran jalur kereta api yang menghubungkan Telukbetung hingga Martapura, Sumatera Selatan, pada awal abad ke-20 menghidupkan kembali denyut niaga di kota ini.
Stasiun Tanjungkarang menjadi terminal penting distribusi hasil bumi seperti karet, kopi, dan hasil hutan. Pembangunan ini tentu bukan tanpa tujuan kolonial: membuka ruang eksploitasi lebih dalam.
Namun bagi rakyat Lampung, infrastruktur ini menjadi pintu awal pergerakan ide dan orang mulai bergerak lebih cepat.
Pada masa pendudukan Jepang, Bandar Lampung menjadi basis logistik utama militer Jepang di wilayah selatan Sumatra. Dalam Nippon Gunji Shiryō (Arsip Militer Jepang), Lampung disebut sebagai “Minami Sumatora Daiichi Butai” (Garnisun Utama Sumatera Selatan).
Banyak pekerja romusha ditarik dari wilayah pedalaman, dan kelaparan merajalela. Namun di masa gelap itu pula, bibit nasionalisme tumbuh melalui jejaring pesantren dan guru-guru agama yang diam-diam menanamkan cinta tanah air. Salah satunya adalah KH. Achmad Hanafiah yang tercatat dalam dokumen penyelidikan Pasca-Kemerdekaan sebagai tokoh yang menggalang perlawanan di wilayah Gunung Terang.
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Bandar Lampung menjadi simpul strategis dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera.
Laporan PDRI Sumatera Selatan menyebutkan Telukbetung sebagai salah satu pelabuhan logistik penting bagi suplai bahan makanan dan senjata bagi pasukan rakyat yang bertahan di Palembang dan sekitarnya. Tak sedikit pemuda Bandar Lampung yang bergabung dalam laskar rakyat dan menjadi bagian dari perang gerilya.
Kota ini menjadi saksi pergolakan ideologi pada era 1960-an, ketika ketegangan politik nasional menjalar ke daerah. Kampus-kampus dan sekolah menengah menjadi ladang diskusi politik, dari Marxisme hingga Islamisme.
Buku-buku terbitan Balai Pustaka, Pustaka Rakjat, hingga Islamika beredar luas di kalangan pemuda, membentuk generasi pemikir yang kelak menjadi pemimpin lokal.
Memasuki era Orde Baru, Bandar Lampung mengalami perluasan sebagai pusat administrasi dan urbanisasi. Pembangunan Universitas Lampung (1965) menjadi tonggak penting dalam transformasi kota ini sebagai kota pendidikan. Kampus Unila di Gedong Meneng menjadi tempat tumbuhnya intelektual Lampung dari berbagai kalangan.
Sayangnya, ekspansi kota tak selalu diikuti dengan perencanaan ekologis yang memadai. Bukit-bukit di sekitar kota mulai mengalami degradasi, sungai-sungai tercemar, dan perumahan tumbuh secara sporadis.
Kebijakan pemekaran wilayah memperluas cakupan kota hingga ke Rajabasa dan Sukarame. Sementara itu, Telukbetung yang dulu menjadi jantung pelabuhan berangsur menjadi zona administratif.
Pasar Bambu Kuning, yang dahulu dikenal sebagai pusat perdagangan etnis Tionghoa dan Arab, berubah wajah akibat kebakaran besar tahun 1994 dan berulangnya kebijakan revitalisasi yang tidak berpihak pada pedagang kecil.
Hari ini, Bandar Lampung adalah kota dengan 1,2 juta jiwa penduduk, yang hidup di antara kontradiksi: sebagai ibu kota provinsi dengan segudang potensi tetapi juga kompleksitas sosial dan ekologis. Di satu sisi, kita melihat perkembangan kota dengan mall, flyover, dan gedung-gedung vertikal. Di sisi lain, kemiskinan, kemacetan, dan krisis identitas kota masih menghantui.
Pertanyaan mendasarnya kini adalah: kota ini milik siapa?
Sebagai kota pelabuhan, Bandar Lampung memiliki sejarah keterbukaan, keberagaman, dan perjumpaan. Namun dalam dua dekade terakhir, kota ini cenderung kehilangan arah dalam membingkai identitasnya.
Narasi sejarah yang seharusnya menjadi fondasi pembangunan justru terpinggirkan oleh proyek-proyek fisik yang miskin makna. Museum Lampung merana tanpa pengunjung. Gedung juang, tempat sejarah kemerdekaan dipertahankan, terbengkalai dan terpinggirkan oleh parkir liar.
Bandar Lampung seharusnya dapat mengambil inspirasi dari sejarah panjangnya. Sejarah sebagai pelabuhan rempah, tempat diplomasi antaretnis, dan ruang perlawanan terhadap kolonialisme. Kota ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi ruang hidup yang punya ingatan, warisan, dan semangat kolektif.
Pendidikan sejarah lokal harus kembali dikuatkan. Kurikulum sekolah perlu memuat sejarah Bandar Lampung sebagai ruang hidup yang bernilai. Universitas dan lembaga penelitian bisa bekerja sama dalam menggali dan mempublikasikan naskah-naskah lama yang mengandung nilai identitas kota. Arkeologi urban pun penting dilakukan untuk memetakan situs-situs sejarah sebelum hilang ditelan beton dan komersialisasi.
Tak kalah pentingnya adalah pemulihan ruang publik yang manusiawi. Taman Gajah, Bundaran Adipura, dan Pantai Duta Wisata seharusnya menjadi ruang kebudayaan, bukan hanya tempat swafoto. Seni mural, pertunjukan terbuka, dan festival rakyat bisa menjadi cara kita menyapa kembali sejarah kota ini dalam bahasa anak muda.
Bandar Lampung juga perlu menata kembali relasi ekologisnya. Kota ini tak bisa dilepaskan dari Teluk Lampung yang menjadi nadi kehidupannya. Revitalisasi teluk tidak cukup hanya dengan reklamasi dan pembangunan wisata pesisir. Ia perlu ditangani sebagai ekosistem hidup, termasuk perlindungan terhadap mangrove, ikan, dan komunitas nelayan tradisional di Sukaraja dan Lempasing. Keberlanjutan kota hanya mungkin jika laut, bukit dan manusianya dihargai secara seimbang.
Dalam usia ke-343 ini, Bandar Lampung sesungguhnya tengah berada di persimpangan sejarah. Apakah ia ingin menjadi kota yang hanya dibangun dengan besi dan semen, atau kota yang dibangun di atas ingatan kolektif, sejarah panjang perjumpaan dan semangat gotong royong.
Di tengah gegap gempita ulang tahun, penting kiranya kita tidak hanya merayakan seremonial, tetapi juga merenung: sudah sejauh apa kita mengenal kota ini?
Apakah kita sudah cukup akrab dengan sejarah pasar tua Sukaraja, dengan kisah pelabuhan rempah yang dahulu menjadi nadi perdagangan global? Apakah kita mengenal para ulama, guru, pelaut, petani damar, dan perempuan tangguh yang membangun kota ini tanpa nama dalam prasasti?
Bandar Lampung, seperti kota-kota besar lain di Indonesia, memang harus bergerak maju. Tapi gerak maju itu akan rapuh jika tak berpijak pada akar. Sejarah adalah akar. Identitas adalah batang. Dan keberagaman warganya adalah bunga.
Saat kita menatap laut dari Bukit Kunyit atau mendengar suara azan dari Masjid Taqwa, mari kita ingat bahwa kota ini dibentuk dari peluh, darah, doa, dan impian. Ia adalah kota yang terus mencari dirinya sendiridi antara bukit, laut, dan ingatan.
Selamat ulang tahun ke-343, Bandar Lampung.
Semoga kau tak hanya tumbuh, tapi juga mengakar dan mengingat. (*)