Oleh: Nadirsyah Hosen

- Deputy Director of CILIS (Centre for Indonesian Law, Islam and Society), Melbourne Law School, University of Melbourne


SEORANG anak kecil suatu hari bertanya kepada ayahnya di sebuah toko swalayan:

“Ayah, kenapa semua produk hanya punya label halal? Kalau yang haram, kenapa tidak ditulis saja di bungkusnya?”

Sang ayah tersenyum, lalu menjawab dengan lembut, “Karena Islam mengajarkan kita untuk menyalakan pelita, bukan melempar bayangan.”

Pertanyaan itu tampak sederhana, namun menyentuh inti dari kebijakan besar: mengapa sistem sertifikasi di Indonesia dan banyak negara lainnya memilih memberi label halal, dan tidak mengeluarkan label haram?

Tulisan ini mendukung prinsip transparansi bahan demi perlindungan konsumen Muslim, namun mengajak kita menimbang secara jernih: apakah pelabelan “haram”—atau bahkan “non-halal”—merupakan solusi terbaik? Ataukah justru menimbulkan kebingungan fikih, keresahan sosial, dan problem hukum yang tidak perlu?

Antara Informasi dan Vonis

Dalam logika hukum Islam, tidak semua yang tidak bersertifikat halal otomatis haram. Para ulama usul fiqh menggariskan kaidah:

‎الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم

“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Maka yang dilakukan otoritas sertifikasi bukanlah menunjuk-nunjuk yang haram, melainkan memverifikasi yang halal. Label halal adalah afirmasi, bukan eksklusi. Karena itu, ketiadaan label halal tidak boleh langsung ditafsirkan sebagai status haram, apalagi diberi stempel teologis tanpa proses yang memadai.

Label “Haram”: Antara Niatan dan Realitas

Di tengah keinginan menjaga konsumen Muslim, ada usulan agar produk tertentu diberi label seperti “mengandung babi” atau “mengandung alkohol”. Dalam konteks informasi bahan, hal ini layak diapresiasi. Transparansi adalah bagian dari etika dan perlindungan konsumen.

Namun, jika informasi tersebut diganti atau ditambahi label “haram”, maka ia berubah makna—dari keterangan bahan menjadi vonis hukum agama. Kata haram bukan istilah netral, melainkan simbol syar‘i yang penuh beban konsekuensi. Memberikannya tanpa dasar fikih yang kuat, atau tanpa otoritas sah, bisa berujung pada kesalahan fatwa yang tersebar luas melalui label komersial.

Syaikh Taqī Usmānī mengingatkan bahwa:

“Mengharamkan sesuatu tanpa dalil qat‘i termasuk sikap ghuluw yang dapat merusak nama syariat itu sendiri.”

Menulis “mengandung babi” di kemasan tidak sama dengan menulis “produk ini haram”.

Yang pertama adalah fakta kandungan — bagian dari hak konsumen.

Yang kedua adalah vonis syariat, yang tidak semestinya ditulis produsen atau diwajibkan pemerintah karena bisa menjadi sumber konflik hukum, sosial, dan agama.

Solusi:

Cukup tulis “mengandung gelatin babi” atau “mengandung alkohol” — itu sudah cukup kuat sebagai petunjuk syariat. Tidak perlu menulis “haram”.

Risiko Sosial dan Hukum

Pelabelan “haram”, bahkan jika dimaksudkan sebagai peringatan, menyimpan tiga risiko besar:

1. Kerugian reputasi bagi pelaku usaha, terutama UMKM yang mungkin belum tersertifikasi, tetapi tidak dengan sengaja melanggar syariat.

2. Kebingungan publik karena banyak bahan yang masih diperdebatkan dalam fiqh (seperti enzim mikroba, cuka beralkohol, gelatin).

3. Stigmatisasi agama jika pelabelan itu menjadi alat tekanan sosial atau bahkan diskriminasi atas produk tertentu.

Dalam kerangka hukum modern, label bernuansa religius juga bisa menimbulkan konflik yurisdiksi: apakah itu bagian dari standar pangan, atau bentuk ekspresi teologis? Ini bukan persoalan sepele, terutama di masyarakat plural.

Alternatif Label: Non-Halal atau Haram?

Sebagai kompromi, beberapa pihak mengusulkan label “non-halal” sebagai ganti dari kata “haram”—dengan harapan terdengar lebih netral. Namun istilah ini tetap membawa problem serupa.

Pertama, kata “non-halal” tetap akan dipahami sebagai bentuk penolakan teologis implisit, apalagi dalam masyarakat Muslim yang sensitif terhadap istilah agama. Kedua, label ini tetap memerlukan penilaian fikih formal oleh otoritas, yang memakan waktu, biaya, dan berisiko salah tafsir. Ketiga, ia bisa memunculkan tekanan sosial terhadap produk yang tidak bermasalah secara legal, tapi belum diaudit.

Sebaliknya, transparansi bahan seperti “mengandung babi” atau “mengandung alkohol” bersifat faktual, netral, dan tidak menimbulkan beban hukum syar‘i. Informasi ini memadai bagi konsumen Muslim untuk menentukan pilihan berdasarkan ilmu dan bimbingan fiqh yang mereka yakini.

Belajar dari Negara Lain: Ketegasan Tanpa Stigma

Banyak negara Muslim besar telah lebih dulu menghadapi dilema ini. Di Malaysia, sistem sertifikasi halal yang ketat dijalankan oleh JAKIM. Produk non-halal tidak diberi label “haram”, tetapi diatur zona distribusinya secara ketat dan tidak boleh mencampur etalase halal.


Di Brunei, semua produk makanan di wilayah Muslim wajib halal. Produk non-halal tidak dijual bebas, namun tidak perlu diberi label “haram”—cukup dicegah dari peredaran. Negara ini menekankan pengawasan, bukan penandaan negatif.

Singapura menerapkan sistem transparansi bahan. Produk halal diberi label dari MUIS, sementara produk lain diminta mencantumkan informasi rinci seperti “pork” atau “lard”. Tidak ada label haram, dan tidak ada polemik.

Di Arab Saudi, hanya produk halal yang diizinkan masuk pasar. Tidak diperlukan label haram karena sistem penyaringan impor dan distribusi sudah efektif. Bahkan di negara-negara Barat seperti Australia, AS, dan Inggris, produsen makanan diwajibkan jujur mencantumkan bahan, tapi label “haram” justru dilarang karena berpotensi diskriminatif.

Kesimpulannya jelas: transparansi bahan dan regulasi distribusi lebih efektif daripada stigmatisasi lewat label. Dunia internasional cenderung memilih pendekatan afirmatif dan edukatif, bukan konfrontatif.

Jalan Tengah: Edukasi, Bukan Tuduhan

Jika benar tujuannya adalah melindungi umat, maka langkah yang diambil harus mencerahkan, bukan mencurigai; harus memberdayakan, bukan menakut-nakuti. Dalam konteks pelabelan produk, artinya: bukan dengan menyebarkan stempel “haram”, tetapi dengan mengedukasi konsumen Muslim agar cakap dalam membaca kandungan produk dan memahami dasar fikihnya.

Ada tiga pendekatan kunci yang lebih bijak dan sejalan dengan prinsip syariat:

1. Meningkatkan literasi halal, agar konsumen Muslim tidak bergantung sepenuhnya pada simbol, tetapi memahami makna di balik label halal, perbedaan antara bahan haram, syubhat, dan najis, serta mampu membaca komposisi dengan lebih kritis dan tenang.

2. Mewajibkan pencantuman bahan sensitif, seperti babi, alkohol, enzim hewani, dan bahan dari hewan yang tidak disembelih secara syar‘i. Ini bukan stempel agama, melainkan informasi objektif yang bisa diakses oleh semua pihak—Muslim dan non-Muslim—dan dijadikan dasar pengambilan keputusan.

3. Memperluas akses sertifikasi halal yang murah dan adil, agar pelaku UMKM tidak terjebak dalam beban administratif atau biaya tinggi yang membuat mereka enggan mengajukan sertifikasi. Edukasi tanpa inklusi hanya akan melanggengkan ketimpangan.

Langkah-langkah ini bukan hanya lebih moderat, tetapi juga lebih sejalan dengan maqāṣid al-sharī‘ah—yaitu lima prinsip agung yang menjadi jiwa dari seluruh hukum Islam:

1. Menjaga agama (ḥifẓ al-dīn)

Bukan dengan vonis sembarangan, tetapi dengan membangun kesadaran yang kuat tentang apa yang halal dan haram, berdasarkan ilmu yang shahih.

2. Menjaga jiwa dan ketenangan sosial (ḥifẓ al-nafs)

Dengan menciptakan iklim konsumsi yang aman dan tidak membingungkan, tidak membuat umat panik karena label yang belum tentu tepat.

3. Menjaga harta (ḥifẓ al-māl)

Dengan mencegah kerugian sepihak yang bisa menimpa pelaku usaha akibat pelabelan negatif tanpa proses yang adil dan ilmiah.

4. Menjaga kehormatan (ḥifẓ al-‘ird)

Dengan tidak mudah menstigma produk, pedagang, atau industri tertentu hanya karena belum bersertifikat halal, padahal mereka belum tentu melanggar.

5. Dengan demikian, pendekatan edukatif dan informatif justru lebih kokoh fondasinya, lebih bijak jalannya, dan lebih berkelanjutan dampaknya—baik untuk perlindungan agama maupun stabilitas sosial.

Karena pada akhirnya, Islam tidak hanya berbicara tentang apa yang halal dan haram, tetapi juga bagaimana cara menyampaikan dan mengatur keduanya dengan adil dan penuh rahmat.

Penutup: Cahaya, Bukan Cap

Islam tidak datang untuk menciptakan ruang publik yang penuh label dan vonis. Ia datang sebagai cahaya petunjuk. Label halal adalah pelita yang menerangi; label haram, jika dijatuhkan tanpa dasar dan otoritas, bisa menjadi bayangan yang menyesatkan.

Biarlah yang halal kita terangkan. Yang haram kita hindari dengan ilmu.

Dan yang syubhat, kita sikapi dengan hati dan hikmah.

Karena syariat dibangun di atas ilmu, bukan asumsi.

Di atas hikmah, bukan prasangka. Dan di atas rahmat, bukan cap buruk. (*) 



 
Top