Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
INI tulisan saya yang kedua tentang empat pulau yang berpindah tangan. Semula milik Aceh, lalu dikawinkan paksa dengan Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Respons netizen luar biasa, rame. Pemerintah lewat Mendagri bukannya melunak, seperti ingin menantang rakyat Aceh. Kisah empat pulau ini semakin seru, dan siapkan kopi tanpa gulanya agar otak selalu encer dan waras.
Darwis, seorang nelayan renta yang biasa menyapa ombak dengan senyum dan doa. Kini duduk termenung di pinggir perahunya yang rapuh. Ia menatap Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Lipan, dan Mangkir Ketek. Empat sahabatnya sejak bocah, empat pulau yang kini bukan lagi bagian dari Aceh. Bukan karena erosi, bukan karena gempa, tapi karena keputusan administratif selembar kertas, Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Begitulah caranya pulau bisa dipindah, seperti kursi di ruang rapat, tanpa perasaan.
Secara logika dan geografi, yang selama ini dipercaya oleh rakyat kecil tapi tidak oleh kekuasaan, empat pulau ini berjarak hanya 4,7 kilometer dari daratan Aceh. Tapi kini mereka diceraikan secara paksa dan dijodohkan dengan Sumatera Utara yang jauhnya 22 kilometer. Dalihnya, tata batas yang katanya disepakati entah oleh siapa. Peta bisa berubah, garis bisa ditarik ulang, sejarah bisa dihapus, semua tergantung siapa yang pegang spidol dan siapa yang duduk di belakang meja.
Saat rakyat Aceh masih menggigil marah, datanglah parade proyek dan kepentingan. Deposit fosfat Rp 2,3 triliun di Mangkir Gadang, menurut ESDM (2024). Terumbu karang dengan 287 spesies ikan hias (LIPI, 2023). Sumber air tawar di Pulau Panjang. Penyu belimbing yang dilindungi dunia, tapi tidak oleh negara.
Belum lagi proyek resor mewah Rp800 miliar di Mangkir Ketek, dermaga misterius di Pulau Panjang, serta desas-desus cadangan migas yang lebih harum dari aroma kopi Gayo. Semua itu kini berpindah tangan.
Siapa di balik semua ini? Silakan tanya Gubernur Sumut Bobby Nasution, menantu presiden yang tampaknya punya akses khusus ke Google Maps versi elite.
Namun drama ini mencapai klimaks baru saat Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, bertemu langsung dengan Bobby Nasution di Banda Aceh. Pertemuan yang mestinya jadi forum diplomasi, berubah jadi konten TikTok. Mualem, dengan gayanya yang tenang tapi tajam, terekam meninggalkan Bobby yang baru saja mendarat, seperti karakter utama film gangster yang menolak ajakan damai mafia rival.
Publik Aceh? Meledak tepuk tangan virtual. Banyak yang memuji sikap Mualem. “Itu baru pemimpin Aceh! Bukan pemimpin yang jual pulau seperti jual pulsa!” seru seorang warganet. Di tengah krisis legitimasi dan pengkhianatan administratif, TikTok mendadak menjadi platform diplomatik paling jujur di republik ini.
Di Jakarta? Tito Karnavian, sang Mendagri, memberikan solusi pamungkas. Silakan gugat ke PTUN. Seolah-olah rakyat Aceh punya waktu, duit, dan tim kuasa hukum layaknya perusahaan tambang. Seolah nelayan seperti Darwis bisa menyusun gugatan sambil menjahit jaring dan mengusir ombak. Seolah pengadilan administratif adalah tempat rakyat mencari keadilan, bukan tempat keadilan dikompromikan oleh waktu dan tumpukan perkara.
Sementara itu, Presiden Prabowo masih diam. Mungkin menunggu pulau-pulau itu benar-benar pindah sendiri. Atau mungkin menunggu laut mendidih, rakyat menggila dan sejarah menulis ulang dirinya sebagai penonton paling tenang di tengah badai. Karena di negeri ini, menjadi diam adalah strategi. Menjadi netral adalah seni. Membiarkan rakyat kehilangan hak atas nama “administrasi” adalah kebijakan.
Kini, empat pulau itu masih ada. Masih bisa dilihat. Tapi tidak lagi bisa diakui. Seperti sahabat lama yang diambil orang, lalu dibilang, “Kamu terlambat. Kami sudah sah di mata hukum.” Tapi rakyat Aceh tidak lupa. Sejarah tidak akan diam. Karena laut bisa tenang, tapi dendam geografis… bisa jadi gelombang yang tak terpetakan. (*)
#camanewak