Episode Tahun Baru Hijriyah 1447


Drs. H. Makmur, M.Ag

- Kepala Kemenag Kota Bandarlampung


HIJRAH Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah adalah tonggak penting dalam sejarah Islam. Ia bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi juga momentum lahirnya peradaban Islam yang baru.

Peristiwa ini sarat dengan nilai perjuangan, keteguhan iman dan strategi kenabian yang penuh hikmah. Namun di balik narasi besar yang sering kita dengar tentang hijrah, ada satu fragmen yang jarang disorot, yaitu pidato pertama Rasulullah SAW ketika tiba di Quba, Madinah.

Pidato itu begitu singkat, namun menyimpan mutiara makna yang sangat dalam. Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini berbunyi:

“Wahai sekalian manusia, sebarkan salam, sambunglah silaturahmi, berilah makan, dan sholatlah ketika manusia tertidur. Maka kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan.”

Ucapan ini disampaikan oleh Rasulullah SAW dengan penuh keyakinan dan keteduhan. Abdullah bin Salam, seorang tokoh agama Yahudi yang telah mengetahui ciri-ciri kenabian dari Taurat, segera menyatakan keimanannya setelah mendengar sabda Nabi tersebut. Ia menangkap aura kejujuran dan rahmat dari setiap kata yang disampaikan Rasulullah.

Dalam hadis tersebut, Nabi Muhammad SAW tidak langsung berbicara soal sistem pemerintahan, jihad, atau hukum—melainkan menyampaikan ajaran-ajaran yang bersifat etik, sosial dan spiritual, yang jika diamalkan akan menjadi fondasi kokoh bagi masyarakat yang damai dan beradab.

Pertama, menyebarkan salam. Secara literal, salam berarti ucapan penghormatan sekaligus doa keselamatan. Ketika seseorang mengucapkan “assalamu’alaikum,” ia sejatinya sedang mendoakan agar orang lain dilimpahi kedamaian, keselamatan dan keberkahan.

Doa ini, dalam Islam, bahkan bernilai kebaikan meskipun disampaikan kepada orang yang belum dikenal. Maka, menyebarkan salam tidak sekadar menjadi kebiasaan mulut, tetapi cerminan dari hati yang penuh kasih.

Secara maknawi, menyebarkan salam berarti menyebarkan kedamaian dalam kehidupan sosial. Nabi mengajarkan bahwa umat Islam harus menjadi pembawa keselamatan dan ketenangan di mana pun berada. Sebaliknya, Islam menolak segala bentuk ujaran kebencian, fitnah atau hoaks.

Dalam QS. Al-Hujurat ayat 12, Allah menyamakan penyebar fitnah dengan pemakan bangkai saudaranya sendiri, sebuah perumpamaan yang sangat keras, agar umat Islam tidak tergelincir dalam perilaku destruktif.

Salam juga menjadi penutup dari ibadah paling agung dalam Islam, yaitu sholat. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengagungkan Allah di dalam sholat, harus mampu membawa pesan damai dan kasih dalam kehidupan sehari-hari.

Jika seseorang gemar bertakbir tetapi lisan dan perbuatannya menciptakan perpecahan, maka jelas ia belum memahami hakikat sholat itu sendiri.

Kedua, menjalin silaturrahmi. Kata silaturrahmi berasal dari “silah” yang berarti hubungan dan “rahim” yang bermakna kasih sayang. Maka, silaturrahmi sejatinya adalah upaya untuk menyambung ikatan dengan dasar cinta dan kasih kemanusiaan.

Rasulullah tidak membatasi silaturrahmi hanya dalam lingkungan keluarga atau sesama Muslim, tetapi menjadikannya sebagai prinsip hidup universal: saling menyapa, saling menguatkan, dan saling menyayangi tanpa melihat latar belakang.

Silaturrahmi menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang inklusif. Di tengah perbedaan suku, status sosial, bahkan agama, silaturrahmi menciptakan ruang perjumpaan yang damai dan penuh penghormatan.

Nabi bersabda bahwa silaturrahmi memperpanjang umur dan melapangkan rezeki. Bahkan, beliau mengingatkan bahwa memutus silaturrahmi adalah dosa besar yang menjadi penghalang masuk surga.

“Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, memberi makan kepada orang yang membutuhkan. Ajaran ini merupakan bentuk nyata dari kesalehan sosial. Memberi makan tidak hanya berarti mengatasi lapar, tetapi juga menumbuhkan rasa empati dan solidaritas.

Dalam Islam, harta bukanlah milik mutlak individu, melainkan ada hak orang lain di dalamnya yang harus ditunaikan. Melalui sedekah, zakat, atau infak, umat Islam diajak untuk berbagi dan menebar manfaat.

Sabda Rasulullah sangat jelas dalam menggambarkan keutamaan orang yang dermawan, “Orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka.” (HR. Tirmidzi)

Lebih jauh, memberi makan adalah simbol kepedulian sosial. Tidak pantas seseorang merasa cukup dan bahagia, sementara di sekitarnya masih banyak yang kelaparan.

Inilah ajaran Islam yang sangat menyentuh: yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan yang berilmu membimbing yang tidak tahu. Dari sinilah lahir budaya saling asah, saling asuh, dan saling asih—tiga prinsip sosial Islam yang agung.

Keempat, shalatlah ketika manusia tertidur. Maksud dari pesan ini adalah anjuran untuk menunaikan shalat malam (tahajud). Inilah bentuk kesalehan individual yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Shalat tahajud dilakukan dengan penuh keikhlasan, saat sunyi malam, dan menjadi waktu terbaik untuk bermunajat kepada Allah.

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan: “Dan pada sebagian malam hari, shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79)

Shalat malam adalah ciri khas orang-orang saleh. Ia menjadi sarana membersihkan jiwa, menghapus dosa, dan meraih derajat tinggi di sisi Allah.

Dalam hadis lain disebutkan, bahwa saat sepertiga malam terakhir, Allah turun ke langit dunia dan menyeru: “Siapa yang memohon kepada-Ku, akan Aku beri; siapa yang meminta ampun, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Melalui empat pesan itu, Nabi Muhammad SAW tidak hanya membangun komunitas Muslim, tetapi menanamkan nilai-nilai universal yang menjadi fondasi peradaban: damai, kasih, empati, dan spiritualitas. Semua itu menjadi wujud nyata dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Hijrah bukan hanya tentang perpindahan fisik, tetapi juga transformasi nilai dan peradaban. Dan pidato pertama Nabi di Madinah adalah bukti bahwa Islam hadir sebagai solusi bagi krisis kemanusiaan: mengajarkan kita untuk damai dengan sesama, peduli terhadap sekitar, dan terus menjaga hubungan dengan Allah.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu menjaga salam, merawat silaturrahmi, ringan tangan memberi, dan senantiasa bangun di sepertiga malam. Semoga kita menjadi bagian dari mereka yang akan memasuki surga dengan penuh kesejahteraan, sebagaimana pidatonya Rasulullah SAW. (*)


Wallahu a‘lam




 
Top