Catatan Satire; Rizal Pandiya

- Sekretaris Satupena Lampung


ANDAI Bung Hatta masih hidup, mungkin beliau akan mendadak migrain melihat anak kandung koperasi yang kini lahir bukan dari rahim rakyat, tapi dari rahim rezim – lengkap dengan bidan berseragam dan akta kelahiran yang ditandatangani pejabat.

Namanya gagah “Koperasi Desa Merah Putih”. Identik dengan warna bendera, agar mendapat berkah semangat perjuangan para pendahulu kita.

Koperasi Desa ini, hadir seperti petir di siang bolong tanpa disiram hujan keringat usaha atau iuran anggota sedikit pun dari warga desa. Rakyat seperti dibuai mimpi dan janji bahwa setiap jengkal tanah akan memiliki mesin ekonomi. Bukan satu, bukan dua, tapi puluhan ribu. Sebanyak jumlah kepala desa yang dulu pernah berkumpul di suatu tempat saat menjelang Pilpres.

Mereka kini mulai mematut diri, siap berseragam batik koperasi edisi khusus, lengkap dengan kartu anggota. Tapi, tunggu dulu. Ada yang mengganjal di hati ini – yang bahkan tak bisa dihaluskan dengan amplas grit 5000.

Koperasi, menurut kitab suci ekonomi kerakyatan, adalah organisasi dari, oleh, dan untuk anggota. Tapi KMP bukan dari siapa-siapa. Ia ujuk-ujuk muncul, seperti admin grup WhatsApp RT yang tiba-tiba memasukkan anggota tanpa diminta.

Kalau semua warga desa wajib masuk, maka kita telah menciptakan sesuatu yang luar biasa, yaitu negara dalam bentuk koperasi. Bayangkan, suatu hari nanti, kita tak perlu lagi KTP. Cukup kartu anggota koperasi. Bisa buat pinjam duit, ikut musyawarah, dan kalau perlu sekalian untuk dukungan pilpres, supaya pembagian bansosnya nggak dibilang money politics.

Yang lebih dahsyat lagi, bank-bank negara siap menyuntik dana hingga Rp5 miliar per desa! Lebih besar dari dana desa yang bersumber APBN, apa lagi alokasi dana desa yang dari APBD. Syaratnya? Mungkin cukup modal percaya dan stempel basah.

Lalu, bagaimana nasib koperasi-koperasi lokal yang sudah ada? Yang lahir dari gotong royong warga. Yang bangkrut karena nasabah ngemplang, tapi tetap hidup karena semangat tetangga. Apakah mereka akan bersinergi dengan KMP? Atau malah berseteru rebutan nasabah, rebutan proposal, rebutan spanduk?

Kita tak ingin melihat dua koperasi saling pandang di jalan desa: yang satu pakai seragam dari kementerian, yang satu lagi pakai kaos oblong bekas pelatihan lima belas tahun lalu.

Siapa yang akan mengelola KMP? Orang desa yang paham sawah dan berternak, atau pejabat kabupaten yang paham SPJ dan SPTJM, atau yang ahli membuat proposal?

Apakah suara adat akan didengar, atau akan tenggelam oleh suara program pusat yang dikirim lewat PowerPoint? Apakah nanti musyawarah akan diganti dengan rapat zoom dari Jakarta?

Kita perlu ingat: desa bukan laboratorium ekonomi. Ia bukan tempat menanam proyek dan memanen laporan. Ia adalah rumah yang bukan cuma dibangun. Ia harus dijaga oleh orang yang tahu letak dapur, tahu siapa yang dulu pernah utang beras tapi dibayarnya pakai ayam atau terong.

Kalau koperasi adalah wujud dari cinta rakyat kepada kemandirian, maka KMP jangan sampai jadi pacar yang posesif. Manis di awal, tapi mulai mengatur semuanya dari siapa yang boleh ngutang sampai siapa yang pantas jadi pengurus.

Bung Hatta pernah bilang, koperasi adalah alat untuk memperjuangkan keadilan sosial. Tapi kalau tiba-tiba berubah jadi alat kekuasaan, maka jangan salahkan rakyat kalau suatu saat mereka lebih percaya ke tukang sayur keliling daripada koperasi resmi negara.

Karena kadang, yang benar-benar koperatif… justru bukan koperasi. Dan tak bisa dipungkiri, di tengah euforia program KMP yang dibalut jargon “kebangkitan ekonomi desa”, banyak warga justru memandang sinis. Mereka tak melihat koperasi, tapi mencium aroma kekuasaan yang disemprot parfum subsidi.

Ada bisik-bisik di warung kopi, ada sindiran di grup WhatsApp, “Ini bukan koperasi desa, ini koperasi kekuasaan.” Sebab, yang terlihat bukan semangat demokrasi ekonomi, tapi proyek besar yang bisa dipakai untuk mendeteksi, mengelola, bahkan mengarahkan suara.

Bayangkan, satu desa, satu koperasi dengan ribuan anggota yang masing-masing mendapat satu kartu anggota. Dan satu kartu… bisa jadi tiket suara lima tahunan.

KMP, kalau ditarik garis lurusnya, bisa lebih canggih dari DPT. Ia bukan hanya tahu siapa yang jadi anggota, tapi juga siapa yang ngutang, siapa yang dapat bantuan, siapa yang aktif datang rapat, siapa yang layak diajak jadi tim sukses.

Dan tentu saja, ini semua bukan suudzon. Ini hanya observasi rakyat kecil yang terlalu sering dibohongi. Karena di negeri ini, dimana ada dana digelontorkan, di situ biasanya korupsi tumbuh sehat tanpa pupuk.

Lima miliar per desa, cuy! Kalau dikali puluhan ribu desa, bukan sekadar angka – itu ladang. Ladang untuk panen proyek, panen markup, dan kalau musimnya tepat, panen suara.

Maka tak heran kalau koperasi ini hadir dengan gegap gempita, spanduk besar, dan jargon kemakmuran. Padahal di belakang layar, ada kalkulator yang sibuk menghitung berapa yang bisa ‘disunat’ sebelum audit datang – atau sebelum pejabatnya dipindah ke tempat yang lebih strategis.

Lalu rakyat dapat apa? Mereka tetap seperti biasa. Dilibatkan difoto, disebut di laporan, dan dijadikan tameng untuk menjustifikasi program. Kalau program gagal? Salah warga yang malas ikut rapat. Kalau program berhasil? Sukses pemimpin visioner.

Ironis memang. Bung Hatta dulu membayangkan koperasi sebagai jalan keluar dari ketimpangan ekonomi. Tapi kini, koperasi malah jadi jalan tol bagi kepentingan politik. Tanpa hambatan, tanpa batas kecepatan.

Koperasi ini mungkin memang lahir dari niat baik. Tapi kita tahu, jalan menuju korupsi juga seringkali diaspal oleh niat yang katanya baik. (*)


Bandarlampung, 10 Juni 2025


#MakDacokPedom 



 
Top