Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
KEMBALI ke perang Iran vs Israel. Belum ada mengaku kalah. Begitu juga belum ada deklarasi menang. Sama-sama saling membunuh. Kali ini saya mau membahas cara kerja spionase kedua negara beda ideologi dan keyakinan itu. Narasi kali ini sangat seru, seseru ngopi ngopi tanpa gula, wak!
Tanggal 13 Juni 2025 bukanlah sekadar angka di kalender Persia. Hari itu, Iran tidak hanya kehilangan 78 nyawa dan 4 jenderal top, tapi juga kehilangan sesuatu yang lebih berharga, ilusi bahwa sistem keamanannya masih punya gigi. Mossad datang tanpa pengumuman, tanpa drum marching band, tanpa seremoni. Mereka datang sebagai sinyal di udara, sebagai notifikasi kematian. Dan boom! Rapat strategis yang seharusnya membahas pertahanan berubah jadi sesi terakhir para jenderal.
Di antara korban, ada Mayor Jenderal Mohammad Bagheri, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Jenderal Hossein Salami, panglima tertinggi IRGC, serta dua tokoh militer senior, Gholam Ali Rashid dan Amir Ali Hajizadeh, komandan Pasukan Dirgantara. Bersama mereka, sembilan ilmuwan nuklir, termasuk Fereydoon Abbasi dan Mohammad Mehdi Tehranchi, ikut terpanggang bersama diagram reaktor nuklir yang belum sempat dibackup ke cloud.
Ini bukan kebetulan. Bukan juga drone nyasar. Ini operasi bedah militer presisi tinggi. Hanya satu nama yang bisa melakukan ini, Mossad, badan intelijen Israel yang konon bisa membaca pikiran dari cermin spion mobil. Mereka tak menyerang dari luar. Mereka menyusup dari dalam. Seperti WiFi tetangga yang diam-diam masuk ke jaringan rumah sampeyan dan menyalakan kompor saat ente tidur.
Iran yang terkenal dengan gaya reaksioner dan kemarahan teatrikalnya, tak tinggal diam. Mereka umumkan penangkapan 28 agen Mossad, lengkap dengan penyitaan 200 kg bahan peledak, 23 drone bunuh diri, dan peluncur rudal yang disembunyikan dalam kardus “mesin cuci rusak.” Sebuah pabrik drone di pinggiran Teheran digerebek. Seakan dunia ini adalah serial Netflix berjudul “Breaking Tehran.”
Tapi yang bikin mual bukan cuma jumlah korban, tapi bagaimana Mossad bisa tahu persis siapa, kapan dan di mana mereka berkumpul. Iran sendiri akhirnya mengakui, ini akibat pengkhianatan tiga lapis. Militer bocor. Intelijen bocor. Politikus bocor. Kalau Iran adalah ember, maka bocornya sudah seperti jala nelayan yang pensiun.
Beberapa sumber dalam bahkan menyebut bahwa sejumlah jenderal dipancing ke dalam rapat palsu. Rapat palsu! Ini bukan sekadar infiltrasi. Ini plot Mission Impossible versi Timur Tengah, tapi diperankan oleh orang dalam sendiri yang dibayar dengan Bitcoin, visa luar negeri, dan janji bahwa anak mereka bisa sekolah di Kanada.
Sementara itu, jaringan intelijen Iran sebenarnya tidak buruk. Mereka punya Kementerian Intelijen (MOIS) dan unit khusus IRGC yang beroperasi di luar negeri, menyamar sebagai penerjemah, diplomat, atau barista. Mereka memantau oposisi, mengirim dana tunai lewat koper diplomatik, bahkan pernah kedapatan membawa bom ke rapat oposisi di Paris, versi ekstrem dari “unjuk rasa damai.” Tapi dibanding Mossad, pendekatan Iran masih terlalu ideologis, terlalu simbolik, terlalu “revolusi” dan kurang “efisiensi.”
Mossad bukan hanya membunuh. Mereka menari di atas protokol keamanan. Mereka membangun basis drone di dalam Iran, ya, bukan di perbatasan, tapi di wilayah musuh sendiri. Seperti membuka warung kopi di halaman rumah Ayatollah dan memasang CCTV ke kantor IRGC dari balik pot bunga.
Di tengah semua ini, satu hal jadi jelas, Israel bermain catur di papan tiga dimensi. Sementara Iran masih ribut soal siapa yang megang bidak putih duluan. Dalam perang yang dimainkan dalam bayang-bayang, pemenangnya bukan yang paling keras berteriak. Tapi yang paling tenang menekan tombol “hapus riwayat.” (*)
#camanewak